Kantong Plastik Berbayar, Efektifkah?
Oleh : Randy Prima
Cukup menarik membaca Jawa Pos, Senin tanggal 22 Februari 2016 yang berjudul “Kantong Plastik Tak Gratis Lagi”. Artinya setiap konsumen wajib mengeluarkan dana “lebih”, pasalnya Pemerintah telah menerapkan uji coba kantong plastik berbayar dibeberapa daerah ditanah air. Ya, tepat hari minggu tanggal 21 Februari 2016 diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Di Ibukota Jakarta, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berbaur dengan masyarakat dalam gelaran car free day untuk menyosialisasikan Indonesia bebas sampah tahun 2020. Dan dibeberapa daerah di Indonesia bahkan secara serentak mengadakan acara untuk memperingati sekaligus mengampanyekan betapa sampah menjadi masalah serius dimasyarakat kita. Berbagai kegiatan gotong royong mengumpulkan sampah disepanjang jalan secara massal hingga bersih-bersih sungai menjadi “symbol” perayaan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
Seperti yang kita ketahui bersama, perayaan HPSN sendiri bermula dari tragedi longsornya sampah di Cimahi, Jawa Barat sebelas tahun silam, ratusan nyawa melayang dalam musibah tersebut, Cukup ironis, tapi memang faktanya seperti itu. Bahkan dari penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Science, Jum’at (13/2/2016), Indonesia menempati urutan nomor 2 di dunia penyumbang sampah yang dibuang ke laut setelah China. Realita bahwa saat ini plastik menjadi kebutuhan “pokok” bagi kehidupan manusia memang tidak terbantahkan. Sehingga untuk menghilangkan penggunaan plastik dalam waktu dekat merupakan hal yang mustahil. Sampah plastik bisa menjadi ancaman, tapi juga bisa menjadi peluang. Menjadi ancaman apabila tidak ditangani secara serius dan benar, dan akan menjadi peluang jika disikapi secara bijak dan cerdas.
Menggunungnya sampah diberbagai daerah ditanah air didominasi oleh sampah plastik yang notabene tidak dapat diurai secara alami. Keberadaan sampah plastik ini sangat mengganggu, tapi sekaligus menjadi kemasan primadona bagi produk baik dalam maupun luar negeri. Selain ringan,simpel dan tahan lama, kemasan plastik cukup ekonomis, sehingga mendorong perusahaan lebih memilih plastik sebagai pembungkus produk mereka. Sampah plastik sangat mudah dijumpai, mulai dari makanan ringan, produk kosmetik, obat-obatan, air minum dalam kemasan semuanya menggunakan plastik sebagai pembungkusnya. Belum lagi ketika kita berbelanja disupermarket maupun toko kelontong, kantong plastik diberikan secara cuma-cuma alias gratis untuk bawaan belanjaan. Dari sinilah pemerintah mulai berpikir ulang untuk menerapkan kantong plastik berbayar. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah apakah peraturan ini akan efektif? Akankah berdampak signifikan terhadap kuantitas sampah plastik secara nasional?
Keputusan pemerintah untuk menerapkan kantong plastik berbayar memang tentunya “sedikit” membebani masyarakat pada umumnya. KLHK menetapkan harga minimal standar Rp.200,- per kantong plastik. Bahkan pemerintah DKI Jakarta berani mematok harga per kantong plastik Rp.5.000,- (Lima Ribu Rupiah) diseluruh pusat perbelanjaan maupun pasar tradisonal. Besaran harga kantong plastik setiap daerah memang bervariasi. Pemerintah berdalih dana yang terkumpul dari penjualan kantong plastik ini digunakan sebagai dana CSR (Corporate Social Responsibility). Program ini akan diuji coba selama enam bulan kedepan dan akan dievaluasi secara berkala setiap tiga bulan sekali. BIsa dikalkulasi total pendapatan pemerintah dari “berjualan” kantong plastik. Bagi pemerintah, kebijakan ini bisa menjadi sumber pendapatan baru, namun bagi rakyat merupakan pos pengeluaran baru, yang artinya harus memperhitungkan ulang budget belanjanya.
Langkah konkret untuk meminimalisir sampah tidak seharusnya dibebankan kepada masyarakat .Beberapa hal yang bisa ditindaklanjuti diantaranya: Pertama, memberikan edukasi mengenai sampah, untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan akibat sampah perlu dilakukan sejak dini, bahkan sejak usia pra-sekolah anak-anak wajib diberikan pengertian dan wawasan oleh orang tua dan juga lingkungan sekitar. Misalnya membuang sampah ditempat sampah, tentunya harus dilakukan secara disiplin dan sustainable. Jika dari lingkungan keluarga sudah mendukung, maka ketika anak mulai mengenyam dunia pendidikan, tugas guru sebagai pendidik mungkin akan jauh lebih ringan. Kedua, pemberdayaan masyarakat melalui Bank Sampah, disinilah poin yang menjadi tumpuan pemerintah untuk “mengendalikan” sampah mengingat sisi edukasi tentang sampah bisa langsung disosialisasikan ke masyarakat. Misalnya dengan memilah sampah organik dan anorganik. Sampah organik bisa diolah menjadi pupuk kompos sedangkan sampah anorganik bisa dijual ke Bank Sampah sebagai pengkoordinir ke pihak ketiga (red:pabrik) untuk proses daur ulang. Dari sisi ekonomis, masyarakat diuntungkan, dan pemerintah juga tidak dirugikan. Ketiga, memberikan training atau pelatihan kepada masyarakat untuk membuat produk kreatif dari sampah. Misalkan celengan dari kaleng bekas, vas bunga dari botol bekas, tas dari kemasan sabun dll. Pemerintah bisa berperan aktif untuk memasarkan produk-produk kreatif yang ada untuk menunjang keberlangsungan home industry tersebut. Keempat, mendirikan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah (BUMN/D) yang mempunyai spesialisasi atau kemampuan untuk mendaur ulang sampah. BUMN/D bisa bersinergi dengan Bank Sampah untuk melakukan penggolongan sampah yang ada sebelum masuk proses pendaur ulangan.
Sampah merupakan bagian dari hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan, mengingat keberadaan sampah sendiri bermula dari kegiatan manusia. Sampah tidak dapat dihindari, tapi dapat dikendalikan. Menjaga kebersihan lingkungan adalah kewajiban kita semua, karena lingkungan yang bersih adalah cermin budaya sebuah bangsa. Kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap sampah memang perlu ditingkatkan untuk mewujudkan Indonesia Zero Waste 2020. Membuang sampah pada tempatnya adalah kebutuhan, bukan tuntutan. Tag line “Buanglah Sampah pada Tempatnya” mungkin sudah sering kita temui, akan tetapi akan tumpul dan tak berguna jika kita hanya membaca, tanpa ada kemauan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah agama sudah mengajarkan? Bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.
Cukup menarik membaca Jawa Pos, Senin tanggal 22 Februari 2016 yang berjudul “Kantong Plastik Tak Gratis Lagi”. Artinya setiap konsumen wajib mengeluarkan dana “lebih”, pasalnya Pemerintah telah menerapkan uji coba kantong plastik berbayar dibeberapa daerah ditanah air. Ya, tepat hari minggu tanggal 21 Februari 2016 diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Di Ibukota Jakarta, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berbaur dengan masyarakat dalam gelaran car free day untuk menyosialisasikan Indonesia bebas sampah tahun 2020. Dan dibeberapa daerah di Indonesia bahkan secara serentak mengadakan acara untuk memperingati sekaligus mengampanyekan betapa sampah menjadi masalah serius dimasyarakat kita. Berbagai kegiatan gotong royong mengumpulkan sampah disepanjang jalan secara massal hingga bersih-bersih sungai menjadi “symbol” perayaan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
Seperti yang kita ketahui bersama, perayaan HPSN sendiri bermula dari tragedi longsornya sampah di Cimahi, Jawa Barat sebelas tahun silam, ratusan nyawa melayang dalam musibah tersebut, Cukup ironis, tapi memang faktanya seperti itu. Bahkan dari penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Science, Jum’at (13/2/2016), Indonesia menempati urutan nomor 2 di dunia penyumbang sampah yang dibuang ke laut setelah China. Realita bahwa saat ini plastik menjadi kebutuhan “pokok” bagi kehidupan manusia memang tidak terbantahkan. Sehingga untuk menghilangkan penggunaan plastik dalam waktu dekat merupakan hal yang mustahil. Sampah plastik bisa menjadi ancaman, tapi juga bisa menjadi peluang. Menjadi ancaman apabila tidak ditangani secara serius dan benar, dan akan menjadi peluang jika disikapi secara bijak dan cerdas.
Menggunungnya sampah diberbagai daerah ditanah air didominasi oleh sampah plastik yang notabene tidak dapat diurai secara alami. Keberadaan sampah plastik ini sangat mengganggu, tapi sekaligus menjadi kemasan primadona bagi produk baik dalam maupun luar negeri. Selain ringan,simpel dan tahan lama, kemasan plastik cukup ekonomis, sehingga mendorong perusahaan lebih memilih plastik sebagai pembungkus produk mereka. Sampah plastik sangat mudah dijumpai, mulai dari makanan ringan, produk kosmetik, obat-obatan, air minum dalam kemasan semuanya menggunakan plastik sebagai pembungkusnya. Belum lagi ketika kita berbelanja disupermarket maupun toko kelontong, kantong plastik diberikan secara cuma-cuma alias gratis untuk bawaan belanjaan. Dari sinilah pemerintah mulai berpikir ulang untuk menerapkan kantong plastik berbayar. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah apakah peraturan ini akan efektif? Akankah berdampak signifikan terhadap kuantitas sampah plastik secara nasional?
Keputusan pemerintah untuk menerapkan kantong plastik berbayar memang tentunya “sedikit” membebani masyarakat pada umumnya. KLHK menetapkan harga minimal standar Rp.200,- per kantong plastik. Bahkan pemerintah DKI Jakarta berani mematok harga per kantong plastik Rp.5.000,- (Lima Ribu Rupiah) diseluruh pusat perbelanjaan maupun pasar tradisonal. Besaran harga kantong plastik setiap daerah memang bervariasi. Pemerintah berdalih dana yang terkumpul dari penjualan kantong plastik ini digunakan sebagai dana CSR (Corporate Social Responsibility). Program ini akan diuji coba selama enam bulan kedepan dan akan dievaluasi secara berkala setiap tiga bulan sekali. BIsa dikalkulasi total pendapatan pemerintah dari “berjualan” kantong plastik. Bagi pemerintah, kebijakan ini bisa menjadi sumber pendapatan baru, namun bagi rakyat merupakan pos pengeluaran baru, yang artinya harus memperhitungkan ulang budget belanjanya.
Langkah konkret untuk meminimalisir sampah tidak seharusnya dibebankan kepada masyarakat .Beberapa hal yang bisa ditindaklanjuti diantaranya: Pertama, memberikan edukasi mengenai sampah, untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan akibat sampah perlu dilakukan sejak dini, bahkan sejak usia pra-sekolah anak-anak wajib diberikan pengertian dan wawasan oleh orang tua dan juga lingkungan sekitar. Misalnya membuang sampah ditempat sampah, tentunya harus dilakukan secara disiplin dan sustainable. Jika dari lingkungan keluarga sudah mendukung, maka ketika anak mulai mengenyam dunia pendidikan, tugas guru sebagai pendidik mungkin akan jauh lebih ringan. Kedua, pemberdayaan masyarakat melalui Bank Sampah, disinilah poin yang menjadi tumpuan pemerintah untuk “mengendalikan” sampah mengingat sisi edukasi tentang sampah bisa langsung disosialisasikan ke masyarakat. Misalnya dengan memilah sampah organik dan anorganik. Sampah organik bisa diolah menjadi pupuk kompos sedangkan sampah anorganik bisa dijual ke Bank Sampah sebagai pengkoordinir ke pihak ketiga (red:pabrik) untuk proses daur ulang. Dari sisi ekonomis, masyarakat diuntungkan, dan pemerintah juga tidak dirugikan. Ketiga, memberikan training atau pelatihan kepada masyarakat untuk membuat produk kreatif dari sampah. Misalkan celengan dari kaleng bekas, vas bunga dari botol bekas, tas dari kemasan sabun dll. Pemerintah bisa berperan aktif untuk memasarkan produk-produk kreatif yang ada untuk menunjang keberlangsungan home industry tersebut. Keempat, mendirikan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah (BUMN/D) yang mempunyai spesialisasi atau kemampuan untuk mendaur ulang sampah. BUMN/D bisa bersinergi dengan Bank Sampah untuk melakukan penggolongan sampah yang ada sebelum masuk proses pendaur ulangan.
Sampah merupakan bagian dari hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan, mengingat keberadaan sampah sendiri bermula dari kegiatan manusia. Sampah tidak dapat dihindari, tapi dapat dikendalikan. Menjaga kebersihan lingkungan adalah kewajiban kita semua, karena lingkungan yang bersih adalah cermin budaya sebuah bangsa. Kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap sampah memang perlu ditingkatkan untuk mewujudkan Indonesia Zero Waste 2020. Membuang sampah pada tempatnya adalah kebutuhan, bukan tuntutan. Tag line “Buanglah Sampah pada Tempatnya” mungkin sudah sering kita temui, akan tetapi akan tumpul dan tak berguna jika kita hanya membaca, tanpa ada kemauan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah agama sudah mengajarkan? Bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz