Media dan Komunikasi Politik

*Oleh : Randy Prima
Tinggal di randy.herlambang@gmail.com
Pemilu merupakan wadah demokrasi bagi rakyat untuk menyampikan aspirasi politiknya untuk memilih pemimpin yang diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pemilu sendiri bisa dijadikan sebagai salah satu indikator atau tolok ukur pelaksanaan demokrasi sebuah negara. Pileg (pemilihan legislatif) 2014 kurang dari sepekan, artinya seluruh partisipan (caleg) akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendongkrak “popularitas” nya agar lebih dikenal masyarakat. Menjelang masa tenang, partai politik begitu intens berkampanye baik melalui media cetak maupun elektronik, lengkap dengan kader partai yang akan maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) periode 2014-2019.
Begitu “semangat” nya parpol peserta pemilu, sampai-sampai harus melanggar batas tayangan iklan berkampanye ditelevisi. Seperti yang diberitakan Jawa Pos (29/3), empat parpol tersebut meliputi, satu partai baru dan tiga diantaranya adalah peserta pemilu 2009. Berdasar ketentuan, batas maksimal dalam satu hari, parpol boleh beriklan sepuluh spot iklan dimedia televisi. Dari pantauan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) selama sepekan, tanggal 16 sd 23 Maret 2014, empat parpol tersebut bisa menayangkan 12 hingga 21 spot iklan dalam sehari, maklum background beberapa capres dan cawapres adalah pemilik media televisi swasta skala nasional. Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan media (televisi dan surat kabar) turut memiliki andil dalam sosialisasi sekaligus memberikan pengaruh terhadap khalayak.  Ketika pemilik media  tersebut terjun kedunia politik, hal tersebut akan berdampak munculnya asumsi-asumsi masyarakat terhadap kinerja televisi swasta di Indonesia.
 Adapun materi kampanye yang mereka lakukan nampak terlihat seperti mengadakan kegiatan bakti sosial, melakukan blusukan  ke pasar tradisonal, ke kampung nelayan hingga ke pelosok desa atau mengadakan panggung hiburan rakyat yang semata-mata mereka lakukan untuk mengenalkan serta melakukan strategi mendekatkan partai mereka ke masyarakat luas dan menyampaikan janji-janji ataupun visi misi yang akan mereka realisasikan jika terpilih menjadi wakil rakyat atau bahkan menjadi Presiden. Secara tidak langsung kampanye sendiri juga bertujuan untuk mempersuasi masyarakat yang pada akhirnya tertarik untuk turut andil dalam menyukseskan Pemilu. Disamping itu,  tentunya “promo” parpol tersebut diharapkan akan membuat masyarakat untuk lebih berpihak pada partai tersebut yang pada akhirnya memutuskan menjadi bagian dari Parpol tertentu.
Di Indonesia sendiri kampanye yang dilakukan penuh propaganda, sindiran-sindiran atau isu-isu yang menyinggung dan menjatuhkan citra partai lain (black campaign). Manuver politik yang dilakukan oleh parpol menjelang pencoblosan semakin gencar, berbagai cara dilakukan untuk mencapai tujuan, yakni memenangkan pemilu. Oleh sebab itu, untuk merebut simpati rakyat,  dalam berkampanye seorang caleg atau capres harus menyampaikan ide-ide yang bersih, cita-cita dan tujuan. Tujuan yang dimaksud yaitu berisi tentang alasan mengapa ia bersedia mencalonkan diri dan apa yang ingin diperbuat untuk masyarakat ketika terpilih menjadi pemimpin negara maupun wakil rakyat.
Dalam kampanyenya, para politikus mencari dukungan menggunakan media massa sebagai “senjata” utama, karena media massa dapat mempengaruhi opini publik. Salah satu teori komunikasi massa yang menjadi acuan dalam hal ini yaitu teori Analisis Kultivasi (Garbner dalam West dan Turner, 2007:81) yang menyatakan bahwa semakin sering seseorang menonton televisi maka orang tersebut akan menganggap bahwa apa yang mereka tonton ditelevisi sama dengan yang terjadi di dunia nyata. Masyarakat yang selalu menonton acara di sebuah stasiun televise selama berjam-jam, kemudian ditiap acara tersebut terdapat spot iklan berupa tayangan kampanye politik yang menayangkan tentang sisi positif sebuah parpol, maka masyarakat menganggap di dunia nyata juga demikian. Dan juga teori komunikasi massa lainnya yaitu teori Spiral Keheningan (Elisabeth Noelle-Neumann dalam Richard West dan Iynn H Turner, 2007:119). Dalam teori ini dijelaskan bahwa isi pesan (berita) yang disampaikan oleh media massa dapat membentuk opini individu. Individu-individu yang memiliki opini yang sama akan membentuk opini publik dan dari opini tersebut akan membentuk kelompok mayoritas dan minoritas.
Blusukan dan Psikologi Sosial
Salah satu bentuk komunikasi yang terbilang efektif  untuk melakukan pendekatan ke masyarakat secara langsung adalah dengan cara blusukan. Blusukan memang saat ini menjadi perhatian publik, karena masyarakat bisa berinteraksi secara langsung dengan seorang  pemimpin. Blusukan menjadi kata yang populer akhir-akhir ini, ketimbang turba (turun ke bawah) meskipun secara maknanya sama. Tujuan utama turba adalah dapat meninjau secara langsung fakta yang terjadi dilapangan, sehingga secara otomatis komunikasi yang terjalin bersifat interaktif dan dua arah. Artinya akan ada feed back  atau umpan balik dari komunikan (masyarakat) dari pesan yang disampaikan oleh komunikator (sumber berita). Harapannya ketika ada masalah, bisa diselesaikan secara tuntas.
Menurut McLeod dan Chaffee (1973) proses komunikasi politik secara sederhana dapat dijabarkan menjadi tiga komponen utama dalam kaitannya dengan opini (issue) yang meliputi elite, media dan publik. Elite merupakan kekuatan politik yang ada dimasyarakat. Kelompok elite inilah yang menjadi “otak” dari sebuah parpol, mulai dari apa yang akan disampaikan? siapa yang akan menyampaikan? Melalui apakah pesan akan disampaikan? Siapakah yang menjadi sasaran pesan? Teori psikologi sosial ini lebih menekankan pada proses penyampaian pesan yakni berdasarkan pengalaman pribadi, sumber informasi (elite), media atau kombinasi dari ketiga komponen tersebut. Secara umum, pendekatan teori ini relevan di lingkungan masyarakat yang dinamis.
Netralitas media
Meskipun suhu politik bangsa ini semakin memanas, akan tetapi situasi dan kondisi diharapkan tetap terkendali. Disinilah peran media sangat dibutuhkan. Kualitas dan kuantitas iklan yang akan ditayangkan harus menjadi perhatian khusus bagi awak media. Selain sebagai lembaga profit, media juga mempunyai tanggungjawab social terhadap masyarakat. Netralitas media sangat diperlukan untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan negara. Untuk itu media harus selektif sebelum menayangkan iklan yang berbau kampanye, untuk meminimalisir konflik yang mungkin bisa terjadi dilingkungan masyarakat. Semoga pemilu 2014 berjalan sesuai dengan harapan, yakni pemilu yang damai, aman dan terkendali…Amin…!!!!


Tulisan belum terpublikasi :-)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?