Menyoal Pelanggaran Undang-undang Perindustrian

Oleh:Randy Prima
Aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat, LABraK Pasuruan
Cukup menarik membaca berita di Radar Bromo, Minggu 29 Januari 2012 yang berjudul 99 Persen Pabrik Langgar UU. Itu artinya hanya satu persen di Kabupaten Pasuruan yang bisa dikatakan taat terhadap peraturan pemerintah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 05 tahun 1984, tentang Perindustrian, setiap badan usaha/ perusahaan wajib melaporkan perkembangannya ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag). Jika merujuk pada data tahun 2010 jumlah perusahaan kecil, menengah dan besar berjumlah 1.876, secara matematis dapat disimpulkan bahwa jumlah perusahaan yang patuh terhadap UU kurang lebih sekitar 18-19 perusahaan saja. Selanjutnya, pertanyaan yang mungkin muncul adalah, Pertama  bagaimana hal ini bisa terjadi? Kedua, apa solusi yang tepat untuk menuntaskan permasalahan ini, sehingga pemilik badan usaha/ perusahaan secara sadar melaporkan perkembangan usaha mereka? Ketiga, perlukah reward and punishment diterapkan? Mengingat peraturan ini sudah di Undang-kan.
Kabupaten Pasuruan sendiri bisa dikategorikan sebagai salah satu kawasan industri yang memiliki andil dalam mengatrol pertumbuhan ekonomi regional Jawa Timur. Indikatornya adalah banyaknya investasi baik asing maupun domestic yang masuk di Kabupaten Pasuruan. Bidang garapnya pun bervariasi, mulai dari industri manufaktur, jasa, maupun trading. Bagaimana pemerintah Kabupaten Pasuruan menilai dan menganalisis perkembangan daerahnya, jika hanya ada kurang lebih satu persen perusahaan yang melaporkan perkembangan hasil produksinya? Padahal Pasuruan memiliki peran yang cukup signifikan bagi perkembangan ekonomi di Jawa Timur. Jika menyimak hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur pada triwulan IV tahun 2011, pertumbuhan produksi manufaktur secara umum mengalami peningkatan disemua tingkatan, baik manufaktur besar, sedang, kecil dan mikro, kecuali manufaktur besar dan sedang yang bergerak dalam industri barang-barang dari logam, itupun tidak termasuk mesin dan peralatan.
Peraturan dibuat untuk dilanggar mungkin kalimat ini cukup untuk mewakili sekitar 1800-an perusahaan yang bercokol di Kabupaten Pasuruan, bagaimana tidak, kewajiban untuk melaporkan perkembangan usahanya, para pelaku bisnis ini terkesan ogah-ogahan. Ada beberapa hal yang mungkin saja melatarbelakangi suatu perusahaan untuk mengabaikan Undang-undang ini.
Pertama, kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap Undang-undang No.05 Tahun 1984. Informasi mengenai kewajiban perusahaan untuk menyampaikan hasil usahanya sangat dibutuhkan, seperti halnya penyampaian ataupun pelaporan pajak. Selama ini, sosialisasi mengenai perpajakan lebih sering dilakukan ketimbang sosialisasi mengenai Undang-undang ini. Padahal, jika dirunut, seharusnya posisi UU No.05 Tahun 1984 ini sangat krusial dan strategis, mengapa?. Karena dari laporan inilah, sebenarnya Disperindag dan dinas-dinas terkait terutama Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) dapat menganalisa kemajuan suatu perusahaan.Selanjutnya Disperindag bisa mengkomunikasikan tentang potensi pajak yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Fakta inilah yang seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah, jangan hanya memperhatikan hilir-nya (baca: pajak) saja, lantas mengesampingkan hulu-nya (red: UU No.05 1984).
Kedua, belum banyak perusahaan yang paham tentang pengimplementasikan UU  tentang perindustrian ini. Padahal, secara jelas termaktub dalam pasal 14 UU No.05 tahun 1984 ini disebutkan bahwa perusahaan industri wajib menyampaikan informal industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya kepada pemerintah. Apabila perusahaan secara rutin melaporkan hasil produksinya, pemerintah akan lebih mudah  memonitor perkembangan industri di masing-masing daerah. Secara logis, semakin tinggi hasil produksi suatu perusahaan, bisa disimpulkan semakin besar potensi pendapatan perusahaan tersebut. Akan tetapi, angka hasil produksi tidak mutlak bisa dijadikan sebagai pedoman pemerintah untuk melakukan justifikasi mengenai potensi atau tidaknya sebuah industri ditinjau dari tax-nya. Selain turn over ( perputaran) persediaan, hal yang perlu diperhatikan adalah kewajaran laporan yang disajikan kepada Disperindag, sehingga diperlukan penelusuran dan  pemeriksaan lebih lanjut.
Ketiga, pemerintah masih terkesan berkutat pada proses administratif perijinan perusahaan industri. Padahal, lebih dari itu, selain sebagai fungsi kontrol, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengembangan industri, seperti yang tercantum pada bab 4 UU No.05 tahun 1984 yang dijelaskan dalam pasal per pasal. Dampak yang cukup signifikan yang bisa dirasakan masyarakat apabila aturan ini berjalan adalah, pemerataan ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan, yang notabene pengangguran saat ini masih banyak. Selain itu, untuk melindungi pasar dalam negeri dari dampak perdagangan bebas yang secara perlahan mulai masuk ke Indonesia.
Win Win Solution
Adalah cara yang pas untuk mencari jalan tengah atau solusi antara pemerintah dan pengusaha. Kebijakan dan peraturan pemerintah tidak seharusnya menguntungkan salah satu pihak, baik pemerintah sendiri maupun industri. Pemerintah tidak hanya mengutamakan haknya sebagai pengatur, tetapi juga harus berperan aktif dalam pembinaan dan pengembangan industri. Misalkan, pemerintah membantu industri untuk mengembangkan pasar diluar negeri. Komoditi dalam negeri yang layak ekspor harus mendapatkan sokongan penuh dari pemerintah, termasuk kemudahan industri untuk mengurus perijinan dsb. Bukan rahasia umum beberapa oknum pemerintah terkesan mempersulit perusahaan dalam proses ekspor.
Selain itu, untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah hendaknya melakukan pendekatan kepada industri sekaligus mensosialisasikan UU tersebut. Pendekatan bisa dilakukan ketika melakukan pembinaan ataupun penyuluhan. Sesekali turba ke perusahaan, adalah hal yang konkret, jelas dan tepat sasaran. Jika memungkinkan, pemerintah juga perlu memperhatikan dan mempertimbangkan sosialisasi melalui mass media, buku panduan, baik berupa brosur ataupun baliho, seperti halnya sosialisasi pajak. Dengan demikian, industri akan secara sadar melaporkan perkembangan hasil produksi mereka.
Apabila setelah dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tersebut masih ada perusahaan yang mbalelo, sudah sepantasnya pemerintah bertindak tegas, seperti yang tercantum pada bab X pasal 24 UU No.05 tahun 1984 dengan ancaman hukuman Lima tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan tambahan pencabutan Ijin Usahanya. Hanya dengan cara inilah, pemerintah dapat meminimalisir pelanggaran oleh industri nakal.


Tulisan terpublikasi Radar Bromo, Pasuruan (Jawa Pos Group)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?