Otonomi Daerah dan Tantangannya
*Oleh : Randy Prima
Alumni Universitas Muhammadiyah Malang
Tanggal 25 April diperingati sebagai hari Otonomi Daerah (Otoda), tahun ini genap delapan belas tahun pelaksanaan Otoda, artinya 18 tahun sudah seluruh daerah di Indonesia dituntut untuk mandiri dalam mengelola kekayaan (potensi) daerah masing-masing untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Seperti diketahui sejak dikeluarkannya Undang-undang No 22 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiscal merupakan era baru bagi daerah untuk mengelola daerah masing-masing, baik mulai dari tingkat propinsi, kabupaten/ kota, hingga desa. Dalam perkembangannya kebijakan/ policy tersebut diperbarui dengan di-sah-kannya UU No 32 dan 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Otonomi berarti daerah diberi kebebasan untuk mengelola secara maksimal sumberdaya yang dimiliki. Tujuan otonomi daerah sendiri adalah untuk pemerataan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan,meningkatkan pelayanan publik dan membentuk daerah otonomi yang mandiri dan berdaya saing, baik secara nasional maupun internasional. Pengelolaan keuangan daerah secara tepat guna dan berdaya guna akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan roda pemerintahan suatu daerah. Desentralisasi daerah memunculkan tantangan tersendiri bagi sebuah daerah, karena beban yang selama ini ditanggung oleh Pemerintah Pusat akan beralih menjadi beban bagi daerah otonom. Mulai dari beban pegawai, pemeliharaan asset, hingga belanja barang dan jasa.
Tentunya beban ini tidak akan berdampak pada peningkatan pendapatan yang dikelola daerah, tetapi akan mengurangi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tuntutan kepada daerah untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin tinggi karena adanya pelimpahan wewenang dari Pempus yang disertai pengalihan personil, peralatan dan dokumentasi (P3D) dalam jumlah yang besar. Sementara, dana perimbangan yang merupakan dana transfer keuangan dari Pempus kepada daerah untuk menyokong pelaksanaan otonomi daerah cukup memadai, sekurang-kurangnya dua puluh lima persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun Pemda harus meningkatkan PAD nya seiring tingginya expense yang harus dikeluarkan Pemda. Disamping itu, Pemerintah Daerah dihadapkan pada tiga factor yang dapat mempengaruhi keputusan pemda untuk membelanjakan APBD nya yakni akuntabilitas, proporsionalitas dan efektivitas dan efisiensi.
Pertama, akuntabilitas. Merupakan salah satu bentuk tanggung jawab Pemda kepada pemerintah pusat dan masyarakat atas penggunaan dana APBD. Pengelolaan sumberdaya yang akuntabel akan berimbas positif pada peningkatan hajat hidup masyarakat. Indikator Pemda dikatakan akuntabel apabila dalam penyajian laporan tahunannya mendapatkan opini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Transparansi anggaran kepada publik merupakan bentuk tindakan preventif terhadap oknum korup. Pemda saat ini bisa dikatakan menjadi sorotan publik, sebab dibeberapa daerah di pelosok tanah air, penyelenggara pemerintahan disinyalir terlibat kasus korupsi. Di Kabupaten Pasuruan sendiri beberapa kasus korupsi seperti kasus Kasda, Konsinyasi lahan tol, hingga Dana Rehabilitasi Sekolah, kerugian negara pun ditafsir hingga miliaran rupiah. Bahaya laten korupsi memang menjadi “musuh” nomor wahid dinegeri ini.
Kedua¸ proporsionalitas, adalah bentuk kejelian pemerintah daerah dalam penggunaan/pengalokasian dana APBDnya. Besarnya Dana Alokasi Umum (DAU) tidak serta merta dialokasikan untuk belanja tidak langsung (belanja pegawai) atau belanja langsung (barang dan jasa). Pemda harus memperhatikan kepentingan daerahnya secara jangka panjang dan berkesinambungan. Jika melihat laporan APBD Kabupaten Pasuruan tahun 2014, kurang lebih 54 % dari total pengeluaran (langsung maupun tidak langsung) dialokasikan untuk belanja pegawai. Sementara besarnya DAU yang diterima dari pusat juga sebesar kurang lebih 54,33 % dari total penerimaan secara keseluruhan (PAD, Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah). Artinya, hampir separuh anggaran Pemerintah Kabupaten Pasuruan diperuntukkan belanja pegawai. Alasan logis Pemda untuk mengalokasikan dananya ke sector yang lebih produktif (belanja modal) berdampak pada tingginya partisipasi publik yang akan berimbas pada pada peningkatan PAD. Selain itu, belanja modal (pembangunan tol, jembatan dan fasilitas umum lainna) secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Ketiga, efektifitas. Berlandaskan pada tujuan Otoda, Pemda diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerahnya. Dengan anggaran yang ada, Pemda harus selektif dan seefisien mungkin dalam memanfaatkannya. Ketergantungan wilayah tertentu terhadap DAU akan menjadi boomerang bagi pemerintah pusat. Tujuan Otoda terancam gagal apabila ketergantungan daerah terhadap pusat cukup tinggi. Sasaran penggunaan dana APBD dalam perkembangannya lebih dispesifikkan lagi oleh Pempus yang mengatur tentang alokasi dana desa (ADD) sebesar 10 % dari total dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten/ Kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Peraturan ini tertuang dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 72 ayat (4).
Meskipun pada awalnya Undang-Undang tentang desa ini menjadi perdebatan, akhirnya disahkan pada tanggal 15 Januari 2014. Dari sinilah bisa disimpulkan bahwa pemerintah serius dalam menerapkan otonomi daerah. Dari tingkat terendah (desa) diberikan kewenangan untuk menjalankan pemerintahan secara penuh, tujuannya tidak lain adalah menggali potensi desa yang ada. Meningkatkan partisipasi masyarakat, memelihara keberagaman adat istiadat yang dapat menopang identitas daerah secara khusus, dan bangsa Indonesia secara umum. Akulturasi budaya yang begitu cepat akibat perdagangan bebas lambat laun akan menggerus kearifan budaya lokal, sehingga pelestarian budaya dan adat istiadat mutlak dibutuhkan. Disamping itu, perekonomian nasional akan terkerek ketika suatu daerah mampu mengembangkan inovasi dan kreativitasnya. Sebagai contoh, penetapan Kecamatan Bangil sebagai kota bordir. “Bangkodir” begitu umumnya dikenal masyarakat. Respon positif pemerintah dalam mengakomodir pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat diperlukan, selain sebagai Pembina UKM, pemerintah mempunyai peran sebagai “marketing” produk asli daerah.
Beberapa tahun lalu Kabupaten Pasuruan menggelar hajatan akbar untuk mempromosikan pariwisatanya, tag line ditetapkan “Pasuruan, City of Mountain”. Sayangnya hingga sampai saat ini, gaung nya kurang begitu terdengar lagi. Meskipun kawasan wisata hiking di bumi Suropati ini sudah dikenal oleh wisatawan domestic dan mancanegara, tak ada salahnya pemerintah melakukan promosi dan inovasi untuk terus mengembangkan potensi tersebut. Semakin banyak wisatawan yang berkunjung, maka semakin besar pula kesempatan untuk meningkatkan PAD. Semoga cita-cita Otoda untuk menciptakan daerah yang mandiri bisa terwujud, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur..amin..
Tulisan belum terpublikasi (failed) :-)
Alumni Universitas Muhammadiyah Malang
Tanggal 25 April diperingati sebagai hari Otonomi Daerah (Otoda), tahun ini genap delapan belas tahun pelaksanaan Otoda, artinya 18 tahun sudah seluruh daerah di Indonesia dituntut untuk mandiri dalam mengelola kekayaan (potensi) daerah masing-masing untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Seperti diketahui sejak dikeluarkannya Undang-undang No 22 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiscal merupakan era baru bagi daerah untuk mengelola daerah masing-masing, baik mulai dari tingkat propinsi, kabupaten/ kota, hingga desa. Dalam perkembangannya kebijakan/ policy tersebut diperbarui dengan di-sah-kannya UU No 32 dan 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Otonomi berarti daerah diberi kebebasan untuk mengelola secara maksimal sumberdaya yang dimiliki. Tujuan otonomi daerah sendiri adalah untuk pemerataan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan,meningkatkan pelayanan publik dan membentuk daerah otonomi yang mandiri dan berdaya saing, baik secara nasional maupun internasional. Pengelolaan keuangan daerah secara tepat guna dan berdaya guna akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan roda pemerintahan suatu daerah. Desentralisasi daerah memunculkan tantangan tersendiri bagi sebuah daerah, karena beban yang selama ini ditanggung oleh Pemerintah Pusat akan beralih menjadi beban bagi daerah otonom. Mulai dari beban pegawai, pemeliharaan asset, hingga belanja barang dan jasa.
Tentunya beban ini tidak akan berdampak pada peningkatan pendapatan yang dikelola daerah, tetapi akan mengurangi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tuntutan kepada daerah untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin tinggi karena adanya pelimpahan wewenang dari Pempus yang disertai pengalihan personil, peralatan dan dokumentasi (P3D) dalam jumlah yang besar. Sementara, dana perimbangan yang merupakan dana transfer keuangan dari Pempus kepada daerah untuk menyokong pelaksanaan otonomi daerah cukup memadai, sekurang-kurangnya dua puluh lima persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun Pemda harus meningkatkan PAD nya seiring tingginya expense yang harus dikeluarkan Pemda. Disamping itu, Pemerintah Daerah dihadapkan pada tiga factor yang dapat mempengaruhi keputusan pemda untuk membelanjakan APBD nya yakni akuntabilitas, proporsionalitas dan efektivitas dan efisiensi.
Pertama, akuntabilitas. Merupakan salah satu bentuk tanggung jawab Pemda kepada pemerintah pusat dan masyarakat atas penggunaan dana APBD. Pengelolaan sumberdaya yang akuntabel akan berimbas positif pada peningkatan hajat hidup masyarakat. Indikator Pemda dikatakan akuntabel apabila dalam penyajian laporan tahunannya mendapatkan opini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Transparansi anggaran kepada publik merupakan bentuk tindakan preventif terhadap oknum korup. Pemda saat ini bisa dikatakan menjadi sorotan publik, sebab dibeberapa daerah di pelosok tanah air, penyelenggara pemerintahan disinyalir terlibat kasus korupsi. Di Kabupaten Pasuruan sendiri beberapa kasus korupsi seperti kasus Kasda, Konsinyasi lahan tol, hingga Dana Rehabilitasi Sekolah, kerugian negara pun ditafsir hingga miliaran rupiah. Bahaya laten korupsi memang menjadi “musuh” nomor wahid dinegeri ini.
Kedua¸ proporsionalitas, adalah bentuk kejelian pemerintah daerah dalam penggunaan/pengalokasian dana APBDnya. Besarnya Dana Alokasi Umum (DAU) tidak serta merta dialokasikan untuk belanja tidak langsung (belanja pegawai) atau belanja langsung (barang dan jasa). Pemda harus memperhatikan kepentingan daerahnya secara jangka panjang dan berkesinambungan. Jika melihat laporan APBD Kabupaten Pasuruan tahun 2014, kurang lebih 54 % dari total pengeluaran (langsung maupun tidak langsung) dialokasikan untuk belanja pegawai. Sementara besarnya DAU yang diterima dari pusat juga sebesar kurang lebih 54,33 % dari total penerimaan secara keseluruhan (PAD, Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah). Artinya, hampir separuh anggaran Pemerintah Kabupaten Pasuruan diperuntukkan belanja pegawai. Alasan logis Pemda untuk mengalokasikan dananya ke sector yang lebih produktif (belanja modal) berdampak pada tingginya partisipasi publik yang akan berimbas pada pada peningkatan PAD. Selain itu, belanja modal (pembangunan tol, jembatan dan fasilitas umum lainna) secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Ketiga, efektifitas. Berlandaskan pada tujuan Otoda, Pemda diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerahnya. Dengan anggaran yang ada, Pemda harus selektif dan seefisien mungkin dalam memanfaatkannya. Ketergantungan wilayah tertentu terhadap DAU akan menjadi boomerang bagi pemerintah pusat. Tujuan Otoda terancam gagal apabila ketergantungan daerah terhadap pusat cukup tinggi. Sasaran penggunaan dana APBD dalam perkembangannya lebih dispesifikkan lagi oleh Pempus yang mengatur tentang alokasi dana desa (ADD) sebesar 10 % dari total dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten/ Kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Peraturan ini tertuang dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 72 ayat (4).
Meskipun pada awalnya Undang-Undang tentang desa ini menjadi perdebatan, akhirnya disahkan pada tanggal 15 Januari 2014. Dari sinilah bisa disimpulkan bahwa pemerintah serius dalam menerapkan otonomi daerah. Dari tingkat terendah (desa) diberikan kewenangan untuk menjalankan pemerintahan secara penuh, tujuannya tidak lain adalah menggali potensi desa yang ada. Meningkatkan partisipasi masyarakat, memelihara keberagaman adat istiadat yang dapat menopang identitas daerah secara khusus, dan bangsa Indonesia secara umum. Akulturasi budaya yang begitu cepat akibat perdagangan bebas lambat laun akan menggerus kearifan budaya lokal, sehingga pelestarian budaya dan adat istiadat mutlak dibutuhkan. Disamping itu, perekonomian nasional akan terkerek ketika suatu daerah mampu mengembangkan inovasi dan kreativitasnya. Sebagai contoh, penetapan Kecamatan Bangil sebagai kota bordir. “Bangkodir” begitu umumnya dikenal masyarakat. Respon positif pemerintah dalam mengakomodir pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat diperlukan, selain sebagai Pembina UKM, pemerintah mempunyai peran sebagai “marketing” produk asli daerah.
Beberapa tahun lalu Kabupaten Pasuruan menggelar hajatan akbar untuk mempromosikan pariwisatanya, tag line ditetapkan “Pasuruan, City of Mountain”. Sayangnya hingga sampai saat ini, gaung nya kurang begitu terdengar lagi. Meskipun kawasan wisata hiking di bumi Suropati ini sudah dikenal oleh wisatawan domestic dan mancanegara, tak ada salahnya pemerintah melakukan promosi dan inovasi untuk terus mengembangkan potensi tersebut. Semakin banyak wisatawan yang berkunjung, maka semakin besar pula kesempatan untuk meningkatkan PAD. Semoga cita-cita Otoda untuk menciptakan daerah yang mandiri bisa terwujud, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur..amin..
Tulisan belum terpublikasi (failed) :-)
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz