Sejumput Asa Dinegeri Antah Berantah

Sejumput Asa Dinegeri Antah Berantah *Oleh: Randy Prima Alumni FE Universitas Muhammadiyah Malang Indonesia merupakan negara berkembang yang “sukses” mengadopsi system demokrasi. Demokrasi yang berasaskan Pancasila dan bersandar pada Undang-Undang Dasar 1945. Semua diatur dalam butir-butir Pancasila termasuk dalam bermasyarakat dan bernegara, bahkan dari lingkungan terkecil yakni keluarga. Negara ini memang menjunjung tinggi nilai norma adat dan agama, sehingga butir demi butir dalam butir Pancasila menyesuaikan dengan budaya Indonesia yang memiliki tepa slira (baca: saling menghormati) dan sopan santun. Tak heran jika Pendidikan Moral Pancasila (PMP) saat itu dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Tujuannya adalah untuk memberikan pengertian kepada siswa/i tentang pentingnya menjaga sikap dan perilaku dalam bermasyrakat. Indonesia identik dengan budaya ketimuran yang ramah dan murah senyum. Keanekaragaman bahasa,agama dan budaya merupakan keunggulan negeri ini yang konon katanya gemah ripah loh jinawi, jer basuki mawa beya. Asas bhineka tunggal ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua seakan menjadi “identitas” Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa imperialisme, bumi pertiwi sempat menjadi primadona kaum penjajah. Daya tariknya yang luar biasa seperti kekayaan alam dan letaknya strategis menjadi alasan kaum kapitalis pada masa itu. Kekayaan berupa rempah-rempah dan hasil bumi lainnya merupakan komoditas yang paling diincar, ditambah letaknya yang diapit oleh dua samudra yang merupakan jalur perdagangan dunia. Tanah air ini bak secuil tanah surga yang diturunkan Tuhan ke bumi. Bukan tak beralasan jika nenek moyang dan pejuang kemerdekaan kita begitu bangga dan ingin mempertahankan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, agar anak cucu sebagai generasi penerus bisa menikmati kekayaan alam dan hidup dalam damai berdampingan. Namun seiring berjalannya waktu, Bangsa Indonesia yang usianya memasuki lebih dari tujuh dasawarsa ini mulai mendapatkan tantangan, bukan berasal dari luar, namun dari dalam negeri. Sebut saja korupsi, ketimpangan sosial, SARA dan gejolak sosial. Jika merunut dari sejarah negeri ini, istilah korupsi ini mengemuka ketika rakyat Indonesia menginginkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dibumihanguskan. Masa kepemimpinan Orde Baru (Orba) disebut-sebut penuh dengan praktik KKN, sehingga diperlukan reformasi disegala bidang, baik ekonomi, sosial dan politik. Tumbangnya Orba ditandai dengan lengsernya Mantan Presiden Soeharto dari jabatannya.Presiden kedua di Republik ini berkuasa selama 32 tahun. “Jasmerah..Jangan sekali-kali melupakan sejarah . Adagium popular ini muncul dalam pidato Presiden RI Pertama, Ir Soekarno. Ya, setiap kepemimpinan selalu memiliki kekurangan dan kelebihan dalam menjalankan roda pemerintahan. Tantangan dan hambatan yang dihadapi pun berbeda. Dimasa Orba, hambatan utama yang dihadapi yakni kemerosotan ekonomi yang terjadi pada saat peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto. Kemerosotan ekonomi dikarenakan porak porandanya sarana dan prasarana umum karena konflik dalam negeri. Memang diawal kepemimpinannya, Indonesia masih menghadapi ancaman perpecahan. Muncul pemberontakan didaerah yang menginginkan kemerdekaan atas NKRI. Sikap pemerintah yang sigap mampu membendung tindakan makar yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Bisa dibilang pada masa Orba, keamanan dan kenyamanan warga begitu terjamin. Kontrol pemerintah terhadap media dan organisasi kemasyarakatan sangat ketat, sehingga hak individu untuk mengemukakan pendapat didepan umum juga terbatas. Harga pangan saat itu sangat terjangkau, maklum Indonesia berjaya dengan swasembada pangannya. Program yang ngehits dan cukup popular dimasyarakat “klompen capir”. Tayangan cerdas cermat yang menampilkan para petani diseluruh nusantara untuk berkompetisi dibidang pertanian. Sederhana, namun penuh makna. Pendekatan pemerintah Orba terhadap petani sangat intens, sehingga petani sangat termotivasi untuk bersaing dan berkompetisi menggenjot hasil buminya. Bukan hanya itu, sokongan dana dan subsidi pupuk hal yang terpenting agar lumbung padi terus terisi. Melimpahnya stok beras dipasar membuat harganya cukup terjangkau. Bukan hanya petani, peternak sapi perah juga sangat diperhatikan. Hampir disetiap desa, pemerintah memfasilitasi warga untuk memelihara sapi perah. Koperasi pun disebar untuk menampung literan susu segar dari warga. Ekonomi kerakyatan memang sangat kentara dijamannya, Namun fakta ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi saat ini! Bukan bermaksud mencibir pemimpin saat ini, namun faktanya memang seperti itu. Negeri ini penuh mafia, cukong, koruptor dan rente yang berpesta pora dengan kebebasan yang kebablasan. Banyak pemimpin negeri ini memanfaatkan jabatan dengan menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Benar adanya bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga kesempatan. White Collar Crime sangat marak akhir-akhir ini, bak jamur dimusim penghujan. Bahkan yang terbaru, Ketua DPD RI diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sang Ketua DPD terbukti menerima suap terkait kuota impor gula dari pengusaha swasta. Ironi nya, masih ada pembelaan yang terlontar dari simpatisan, uang suapnya hanya “ratusan juta”!. Tidak semua dapat dinilai dengan materi, termasuk nominal rupiah, suap merupakan tindakan illegal yang salah dan harus diproses hukum. Bahaya laten korupsi salah satu “penyakit” yang harus segera “disembuhkan”, jika tidak virus ini akan terus menyebar dan menggerogoti kekayaan negeri tercinta ini, hingga mengancam kebangkrutan sebuah negara. Koruptor kelas kakap hingga teri sekalipun harus dihukum seberat-beratnya. Selain merugikan negara, kejahatan korupsi juga menyebabkan permasalahan sosial dimasyarakat bawah. Jika semua sama dihadapan hukum, mengapa koruptor bebas melenggang kemanapun dia mau? Sementara pencuri sebatang singkong harus mendekam dibalik jeruji besi. Semoga materi tidak akan mengalahkan keadilan yang hakiki.Bukan menghujat, tapi untuk meluruskan yang ‘tersesat’. Kaum proletar sudah jemu dengan sandiwara “lakon dinegeri antah berantah” yang selalu menang diakhir cerita karena hukum yang lemah karena banyaknya celah. Semoga pemimpin negeri ini senantiasa diberikan kekuatan untuk menjalankan amanah rakyat, bukan pribadi dan golongan. Bukankah cinta tanah air adalah sebagian dari iman? On progress :-)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?