#saveDahlanIskan

Cukup banyak cerita negeri ini yang sangat sayang jika terlewatkan. Terakhir penetapan Pak Dahlan Iskan (PDI) sebagai tersangka dalam dugaan penjualan aset BUMD PT. Panca Wira Usaha (PT.PWU) yang dipimpin beliau selama sepuluh tahun lamanya (periode 2.000 s/d 2010), tepat sehari sebelum hari sumpah pemuda, Kamis, 27 Oktober 2016. Mengejutkan memang, tapi alurnya pun bisa ditebak dari awal. Kalau tidak salah kasus ini mencuat ketika Wishnu Wardhana (WW) ditetapkan sebagai tersangka penjualan aset PT.PWU yang ada di Kediri dan Tulungagung. Kepemilikan tanah yang semula atas nama Pemprov Jatim berpindah tangan kepada pengembang swasta. Singkatnya, setelah menjalani pemeriksaan intensif di Polda Jatim, akhirnya WW resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Menurut kepolisian, WW dinyatakan bersalah karena menjual aset negara tidak sesuai dengan prosedur dan dijual dibawah NJOP tanah, dan hasil penjulannya pun disinyalir tidak masuk ke kas negara. Dalam hal ini, kapasitas WW adalah sebagai Kepala Biro Aset PT.PWU. Dari sinilah akhirnya kepolisian melalui Polda Jatim terus mendalami kasus ini. Bisa ditebak, secara struktural, di PT.PWU, posisi WW dibawah Direktur Utama (Dirut). WW memang anak buah dari PDI ketika menjadi Kepala Biro Aset PT.PWU Jatim. Alhasil, “cuitan” yang “diharapkan” pun akhirnya keluar dari mulut WW. Dengan tegas WW mengatakan bahwa penjualan 33 aset PT.PWU semuanya diketahui oleh PDI sebagai Dirut. Mantan Menteri BUMN RI ini pun akhirnya dipanggil Kajati Jatim sebagai saksi dalam kasus ini. Saya pun mulai mengikuti alur “cerita” pilu ini melalui ponsel pintar. Beberapa hari PDI diperiksa sebagai saksi. Bapak dua anak yang pernah “ganti hati” ini pun sampai sempat drop karena serangkaian pemeriksaan yang sangat lama dan berjam-jam. Puncaknya, ketika PDI dinaikkan statusnya menjadi tersangka, karena terbukti secara sah menandatangani dokumen pelepasan aset yang dibuat oleh anak buahnya, WW. Adakah unsur kesengajaan WW untuk menjebak PDI, sosok yang kharismatik ini? Seseorang dikatakan sebagai koruptor apabila merugikan Negara dan bertujuan untuk memperkaya diri sendiri. Sedangkan PDI, tak sepeser pun menerima uang hasil penjualan aset tersebut. Secara kemapanan ekonomi pun tak perlu diragukan, beliau adalah big boss dari puluhan usahanya. PDI merupakan pebisnis ulung yang mampu mengubah Jawa Post yang mati suri, menjadi salah satu media cetak terbesar di Indonesia. Begitu pun ketika beliau menjabat sebagai Dirut PT.PWU. Seharusnya pemerintah tidak perlu gegabah untuk tergesa-gesa menetapkan PDI sebagai tersangka. Perlu dihitung ulang antara kerugian yang timbul dengan laba yang dihasilkan sebelum dan sesudah PDI menjadi pucuk pimpinan PT.PWU. Dari situ pemerintah bisa menyimpulkan dan mengambil keputusan terkait kasus ini. Satu lagi putra terbaik bangsa harus mendekam dibalik jeruji besi! Saya khawatir hukum negeri ini sedang “dipermainkan” oleh makelar kasus (markus), mengingat perpolitikan dan demokrasi dinegeri ini masih jauh dari kata demokratis. Hukum bisa dibeli disini. Kita sebagai rakyat biasa hanya bisa menyaksikan karut marutnya bangsa ini. Tetapi bukan hanya pasrah, setidaknya kita mau dan harus mampu melawan “musuh” dalam selimut bangsa ini. Seperti dalam hadist Rasul, “mengalahkan musuh didepan mata lebih mudah jika dibandingkan dengan melawan hawa nafsu”. Hawa nafsu merupakan sesuatu yang abstrak, yang kasat mata, tidak bisa dilihat, akan tetapi memiliki pengaruh yang besar terhadap diri manusia. Apakah akan berbuat baik ibarat malaikat, atau berbuat buruk sejalan dengan setan?. Indonesia telah melewati masa perang mengusir penjajah, dan saat ini tugas rakyat hanyalah mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Tiga setengah abad lamanya Indonesia berada dibawah bayang-bayang penjajahan kolonialisme Belanda. Selama itu pula pribumi berinteraksi dengan bangsa Hindia Belanda, akulturasi budaya pun tak terelakkan. Kearifan lokal bisa jadi sirna karena “pengkondisian” yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. Tak pelak, hukum pun tak luput dari intervensi mereka. Dan salah kaprahnya lagi, sampai saat ini bahasa hukum yang ada dinegeri ini masih banyak diadopsi dari Bahasa Belanda. Sosok PDI adalah orang yang njawani. Lihat saja penampilannya, sederhana, bersahaja dan jauh dari pencitraan. Bahkan tag line Kerja..Kerja..Kerja..!! sudah ada, jauh sebelum pemimpin negeri yang berkuasa saat ini. Belum lagi set..set..wet..wet.. Istilah jawa kalau di Indonesiakan kurang lebih berarti cekatan. Mantan CEO Koran Jawa Pos ini merupakan teladan bagi kaum jurnalis, maklum background beliau memang tak jauh dari dunia jurnalistik. Akan tetapi PDI juga banyak menginspirasi banyak orang untuk terus berkarya dan sukses. Sejalan dengan Choirul Tanjung (CT) si Anak Singkong, PDI pun juga demikian. Dibesarkan dari keluarga kurang berada di Magetan, Jawa Timur, kini menjadi bos dari puluhan ribu karyawannya. Pria alumni pesantren ini memang dikenal disiplin dan tipe orang yang berani ambil resiko dalam bekerja. Pernah suatu saat saya membaca tulisan beliau tentang kegagalan beliau berbisnis, tak tanggung kerugiannya mencapai 100 miliar rupiah. Mantan Dirut PLN ini mengungkapkan bahwa, beliau punya karyawati yang mempunyai ide untuk mengembangkan bisnis. Akhirnya beliau memberikan pinjaman kepada manajer keuangan sebesar 10 M. Namun seiring berjalannya waktu, perusahaan mengalami kebangkrutan hingga menanggung beban 100 M. Akhirnya si Manajer ini memilih untuk keluar dari perusahaan tersebut, namun PDI mempunyai pemikiran beda. PDI tetap mempekerjakan si karyawati dengan harapan bisa mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Sejauh kebangkrutan tersebut bukan karena modus kepentingan pribadi dan korupsi. (bukan) Karena nila setitik, rusak susu sebelanga..!!! Kisah ini mengingatkan saya dengan kasus yang sedang dihadapi PDI. Selama sepuluh tahun memimpin PT.PWU beliau rela untuk tidak digaji sepeser pun, tujuannya tak lain untuk mengembangkan bisnis perusahaan pelat merah itu. Bukan rahasia umum, BUMD kita sangat lemah dan bergantung subsidi dari APBN. Sudah tak terhitung jumlah uang yang harus digelontorkan untuk BUMN/D hanya untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Sebelumnya, PDI juga pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan gardu listrik yang mencatut nama PT yang didirikan oleh beliau. Beliau dituduh menyalahgunakan wewenang selama menjabat sebagai Dirut PLN. Menjadi pejabat publik saat ini bisa dikatakan ngilu ngilu sedap. Ngilu ketika harus mengambil kebijakan yang berhubungan dengan proyek Negara, dan sedapnya adalah ‘vitamin’ yang diterima setiap bulannya. Bahkan saat ini daya serap anggaran didaerah cenderung stagnan karena kekhawatiran kepala daerah untuk mengalokasikan dana yang ada, akan bermasalah dikemudian hari. Pada tulisan beliau di kolom manufacturing hope, mengenai hidup segan mati tak mau PT.Merpati, ternyata permasalahannya diantaranya terlalu “gemuknya” manajemen di tubuh perusahaan Negara itu. Antara pendapatan dengan biaya operasionalnya sangat jomplang. Besarnya biaya yang ditanggung menjadi permasalahan serius saat itu, hingga akhirnya PDI melakukan perampingan di tubuh PT.Merpati. Dan beliau sengaja melontarkan tantangan semacam sayembara kepada jajaran manajemen Merpati, bagaimana cara Merpati bisa menggenjot pendapatan untuk menutup biaya operasionalnya? Hadiahnya tak tanggung-tanggung, mobil Avanza! Dari situ kemudian ide-ide gila muncul dan diperdebatkan oleh masing-masing karyawan. Adu argument terjadi dalam diskusi saat itu, hingga sang menteri akhirnya menghentikan debat “kusir” yang terjadi. Setiap argument terbaik kemudian ditampung untuk diuji coba diterapkan dilapangan. Dan diputuskan hadiah Avanza diberikan ketika Merpati sukses dari bengkaknya biaya operasional dan hutang yang menumpuk. Benar saja, diakhir diskusi para peserta yang hadir saat itu tertawa lepas mendengar kata yang terlontar dari PDI. Dengan usia dan pengalaman yang bejibun, PDI mampu hadir ditengah-tengah rakyatnya. Tulisan beliau di media, entah itu manufacturing hope atau gardu dahlan, cukup ringan, “renyah” dan mudah dipahami. Sehingga, entah karena sangking nyamannya, sampai-sampai bibir ini komat kamit ketika sependapat dengan beliau, komentar terlontar begitu saja. Belum lagi kepala ini terus mengangguk, ketika meng-iya-kan pendapat yang beliau sampaikan melalui tulisan. Puncaknya ketika beliau harus “terpaksa” melakukan pencangkokan hati di negeri tirai bambu. Setiap detail apa yang terjadi dan beliau rasakan begitu rapi disajikan dalam bentuk tulisan. Hingga akhirnya tulisan beliau dikumpulkan dan dijadikan buku, Ganti Hati. Angkat dua jempol buat beliau, bahkan dalam kondisi sakitpun beliau masih tetap produktif! Ketika lisan tak mampu tersampaikan, tulisan adalah jurus ampuh untuk menyampaikan pesan. Semoga Bapak Dahlan Iskan selalu sehat, dan selalu dilindungi Allah SWT dari orang-orang munafik. Aamiin.. #SaveDahlanIskan Penghujung Oktober, 2016 Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tanpa ada tendensi dan kepentingan apapun. Karena saya pun hanya kaum awam akan politik dan perpolitikan, jadi slow aja ya… (

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?