Muhasabah di Negeri "Surga" Dunia, Indonesia
*Opini pribadi
Bukan hal baru, seorang kepala daerah maupun mantan pejabat yang masih aktif dan sudah purna tugas akhirnya harus berurusan dengan hukum. Kisah itu pun berulang setiap tahunnya, tentu dengan cerita yang hampir sama, tersandung korupsi! Ironinya tak jarang dari mereka akibat “kriminalisasi” penegak hukum. Istilah kriminalisasi ini sudah mencuat sejak ada kasus cicak vs buaya, dan terus popular hingga pelengseran ketua lembaga anti rasuah (KPK), Abraham Samad. Sungguh menjadi tanda tanya besar ketika seorang pimpinan lembaga terhormat seperti KPK harus ditahan karena kasus pemalsuan tanda tangan, jauh sebelum akhirnya terpilih menjadi ketua KPK bersama Bambang Wijoyanto. Meski langkah nya terbilang cukup berani dalam memberantas korupsi, bukan berarti mereka kebal hukum. Terbukti mereka lengser “hanya” gara-gara tandatangan palsu. Tentu kita semua masih ingat betul, bagaimana KPK begitu tertekan setelah mereka menetapkan salah satu kandidat Kapolri sebagai tersangka korupsi kala itu. Pimpinan KPK terus diusik dengan sengaja melontarkan isu ke publik tentang masa lalu para pimpinannya.
Jika menyimak dari berbagai media, opini yang berkembang saat itu ketua KPK memang jadi “incaran” kelompok tertentu dan ada unsur balas dendam, bukan balas budi. Lucunya negeri ini, hukum kok dibuat mainan (. Sejak kasus ini mencuat, kedua belah pihak yang sedang “bertikai” jarang tampil didepan publik. Secara tiba-tiba presiden saat itu memberhentikan sementara dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto dengan alasan keduanya masih dalam proses hukum karena dua kasus yang berbeda. Calon Kapolri saat itu sengaja “disembunyikan” untuk meredam isu yang berkembang di masyarakat, harapannya mereka “lupa” dengan “pertikaian” yang sedang terjadi. “Mendinginkan” situasi dan kondisi ditengah kontroversi saat ini menjadi jurus “ampuh” pemerintah untuk mencegah meluasnya opini yang berkembang dimasyarakat. Hampir dua tahun setelah kejadian ini, akhirnya Sang Presiden tetap melantik eks Calon Kapolri sebagai orang penting dinegeri ini. Tak tanggung, Mantan Calon Kapolri itu akhirnya dilantik menjadi Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), menggantikan Sutiyoso. Luar biasanya negeri ini, Calon Kapolri yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK bisa melenggang menjadi bagian dari pemerintah.
Pertanyaannya adalah mengapa mereka yang notabene tersangkut masalah hukum masih bisa maju menjadi kandidat/calon pimpinan sebuah lembaga negara dan bisa lolos proses seleksi? Hingga akhirnya bisa dilantik dengan mengisi pos strategis tertentu. Apakah pemerintah mulai abai dalam menentukan calon pimpinan sebuah lembaga Negara tanpa melihat profil dan terbebas dari masalah hukum? Adakah aturan baku yang dijalankan dalam proses seleksi calon pimpinan lembaga negara? Padahal anggota dewan juga terlibat dalam recruitment calon pimpinan lembaga negara. Sering kita memperoleh informasi dari media, bahwa anggota DPR komisi X (baca: ex)sedang melakukan fit and proper test si Anu untuk mengisi pos ini dan pos itu. Bahkan berjam-jam calon abdi negara harus mengikuti tahapan tersebut. Lantas pertanyaannya, masih perlukah tahapan test itu dilanjutkan? Jika ya, seharusnya pemerintah bersama DPR melakukan evaluasi terhadap setiap tahapnya. Sederhananya, calon pimpinan lembaga Negara harus bersih, dan tidak sedang dalam terlibat proses hukum. Syarat administratif yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Kekhawatiran masyarakat terhadap implementasi hukum dinegeri ini akan digerogoti kelompok atau golongan tertentu memang sangat wajar. Sangat banyak kasus yang sebenarnya ‘sederhana’ namun menjadi rumit ketika publik angkat bicara. Ini pertanda bahwa masyarakat Indonesia mulai melek hukum. Mereka peduli tentang keadilan yang saat ini mulai tergerus dengan kekuatan material, uang. Bukan rahasia umum, hukum dinegeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tidak sedikit kaum proletar yang berurusan dengan hukum akhirnya harus menelan pil pahit hanya karena kalah “modal”. Koruptor kelas kakap lebih “terhormat” dimata hukum, dibanding dengan copet misalnya. Kerugian Negara yang ditimbulkan karena Tipikor tidak terhitung jumlahnya, namun mereka mendekam dengan “nyaman” dibalik jeruji besi, tidak ada resiko fisik yang diterima. Misalnya babak belur dihajar massa. Berbeda dengan “penjahat” kelas teri seperti copet atau maling ayam,maling sepeda motor, selain resiko kehilangan nyawa, mereka juga sangat beresiko babak belur ketika tertangkap massa.
Peran media sosial memang sangat strategis, termasuk pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah, diantaranya kebijakan dibidang hukum. Menjamur nya portal berita online maupun jejaring sosial mempermudah pengguna telpon pintar untuk selalu meng-update berita maupun informasi yang sedang hangat terjadi. Sementara, yang menjadi sorotan adalah konten yang disajikan tak jarang tidak sesuai dengan realita yang ada. Berita maupun informasi yang disampaikan telah dibumbui demi rating yang ujungnya adalah urusan rupiah. Tanggungjawab sosial media saat ini memang perlu dipertanyakan. Profesionalitas, kredibilitas, integritas dan netralitas tak jarang terpaksa dikesampingkan demi kepentingan segelintir orang, demi mendapatkan keuntungan, ketenaran dan kekuasaan. Atas latar belakang tersebut, kemudian pemerintah mengesahkan UU ITE.
Lihat saja, belakangan media sosial begitu semarak menyajikan berita-berita yang menjurus ke SARA. Pertanggungjawaban Medsos terhadap penggunanya memang tidak mengikat. Penyedia layanan hanya memberikan arahan atau himbauan tentang konten yang “mestinya” dan “patut” untuk dikonsumsi public. Mereka tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan filter/ penyaringan informasi, apakah itu sesat atau menyesatkan. Sehingga kembali ke pengguna Medsos itu sendiri, harus bisa memilih dan memilah informasi yang mereka terima dari portal berita maupun dari pertemanan didunia maya. Isu yang beredar tentunya tidak begitu saja dishare ke publik, tentu ditambah dengan bumbu politik. Sebagian besar masyarakat tentunya sudah tahu persis ketika hukum dijadikan senjata untuk menjerat sebagian tokoh yang dianggap menghalangi kepentingan kelompok tertentu. Bukan bermaksud untuk mengkerdilkan pikiran kita tentang hukum di negeri tercinta ini. Namun pemerintah harus hadir ditengah karut marutnya negeri ini.
Semoga bangsaku tercinta ini terus maju, aman dan damai. Tak ada pelangi jika hanya ada satu warna, tak ada Indonesia jika hanya ada satu suku bangsa.
**Bahagia itu sederhana, cukup ucapkan “Om Telolet Om”(**
Bukan hal baru, seorang kepala daerah maupun mantan pejabat yang masih aktif dan sudah purna tugas akhirnya harus berurusan dengan hukum. Kisah itu pun berulang setiap tahunnya, tentu dengan cerita yang hampir sama, tersandung korupsi! Ironinya tak jarang dari mereka akibat “kriminalisasi” penegak hukum. Istilah kriminalisasi ini sudah mencuat sejak ada kasus cicak vs buaya, dan terus popular hingga pelengseran ketua lembaga anti rasuah (KPK), Abraham Samad. Sungguh menjadi tanda tanya besar ketika seorang pimpinan lembaga terhormat seperti KPK harus ditahan karena kasus pemalsuan tanda tangan, jauh sebelum akhirnya terpilih menjadi ketua KPK bersama Bambang Wijoyanto. Meski langkah nya terbilang cukup berani dalam memberantas korupsi, bukan berarti mereka kebal hukum. Terbukti mereka lengser “hanya” gara-gara tandatangan palsu. Tentu kita semua masih ingat betul, bagaimana KPK begitu tertekan setelah mereka menetapkan salah satu kandidat Kapolri sebagai tersangka korupsi kala itu. Pimpinan KPK terus diusik dengan sengaja melontarkan isu ke publik tentang masa lalu para pimpinannya.
Jika menyimak dari berbagai media, opini yang berkembang saat itu ketua KPK memang jadi “incaran” kelompok tertentu dan ada unsur balas dendam, bukan balas budi. Lucunya negeri ini, hukum kok dibuat mainan (. Sejak kasus ini mencuat, kedua belah pihak yang sedang “bertikai” jarang tampil didepan publik. Secara tiba-tiba presiden saat itu memberhentikan sementara dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto dengan alasan keduanya masih dalam proses hukum karena dua kasus yang berbeda. Calon Kapolri saat itu sengaja “disembunyikan” untuk meredam isu yang berkembang di masyarakat, harapannya mereka “lupa” dengan “pertikaian” yang sedang terjadi. “Mendinginkan” situasi dan kondisi ditengah kontroversi saat ini menjadi jurus “ampuh” pemerintah untuk mencegah meluasnya opini yang berkembang dimasyarakat. Hampir dua tahun setelah kejadian ini, akhirnya Sang Presiden tetap melantik eks Calon Kapolri sebagai orang penting dinegeri ini. Tak tanggung, Mantan Calon Kapolri itu akhirnya dilantik menjadi Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), menggantikan Sutiyoso. Luar biasanya negeri ini, Calon Kapolri yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK bisa melenggang menjadi bagian dari pemerintah.
Pertanyaannya adalah mengapa mereka yang notabene tersangkut masalah hukum masih bisa maju menjadi kandidat/calon pimpinan sebuah lembaga negara dan bisa lolos proses seleksi? Hingga akhirnya bisa dilantik dengan mengisi pos strategis tertentu. Apakah pemerintah mulai abai dalam menentukan calon pimpinan sebuah lembaga Negara tanpa melihat profil dan terbebas dari masalah hukum? Adakah aturan baku yang dijalankan dalam proses seleksi calon pimpinan lembaga negara? Padahal anggota dewan juga terlibat dalam recruitment calon pimpinan lembaga negara. Sering kita memperoleh informasi dari media, bahwa anggota DPR komisi X (baca: ex)sedang melakukan fit and proper test si Anu untuk mengisi pos ini dan pos itu. Bahkan berjam-jam calon abdi negara harus mengikuti tahapan tersebut. Lantas pertanyaannya, masih perlukah tahapan test itu dilanjutkan? Jika ya, seharusnya pemerintah bersama DPR melakukan evaluasi terhadap setiap tahapnya. Sederhananya, calon pimpinan lembaga Negara harus bersih, dan tidak sedang dalam terlibat proses hukum. Syarat administratif yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Kekhawatiran masyarakat terhadap implementasi hukum dinegeri ini akan digerogoti kelompok atau golongan tertentu memang sangat wajar. Sangat banyak kasus yang sebenarnya ‘sederhana’ namun menjadi rumit ketika publik angkat bicara. Ini pertanda bahwa masyarakat Indonesia mulai melek hukum. Mereka peduli tentang keadilan yang saat ini mulai tergerus dengan kekuatan material, uang. Bukan rahasia umum, hukum dinegeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tidak sedikit kaum proletar yang berurusan dengan hukum akhirnya harus menelan pil pahit hanya karena kalah “modal”. Koruptor kelas kakap lebih “terhormat” dimata hukum, dibanding dengan copet misalnya. Kerugian Negara yang ditimbulkan karena Tipikor tidak terhitung jumlahnya, namun mereka mendekam dengan “nyaman” dibalik jeruji besi, tidak ada resiko fisik yang diterima. Misalnya babak belur dihajar massa. Berbeda dengan “penjahat” kelas teri seperti copet atau maling ayam,maling sepeda motor, selain resiko kehilangan nyawa, mereka juga sangat beresiko babak belur ketika tertangkap massa.
Peran media sosial memang sangat strategis, termasuk pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah, diantaranya kebijakan dibidang hukum. Menjamur nya portal berita online maupun jejaring sosial mempermudah pengguna telpon pintar untuk selalu meng-update berita maupun informasi yang sedang hangat terjadi. Sementara, yang menjadi sorotan adalah konten yang disajikan tak jarang tidak sesuai dengan realita yang ada. Berita maupun informasi yang disampaikan telah dibumbui demi rating yang ujungnya adalah urusan rupiah. Tanggungjawab sosial media saat ini memang perlu dipertanyakan. Profesionalitas, kredibilitas, integritas dan netralitas tak jarang terpaksa dikesampingkan demi kepentingan segelintir orang, demi mendapatkan keuntungan, ketenaran dan kekuasaan. Atas latar belakang tersebut, kemudian pemerintah mengesahkan UU ITE.
Lihat saja, belakangan media sosial begitu semarak menyajikan berita-berita yang menjurus ke SARA. Pertanggungjawaban Medsos terhadap penggunanya memang tidak mengikat. Penyedia layanan hanya memberikan arahan atau himbauan tentang konten yang “mestinya” dan “patut” untuk dikonsumsi public. Mereka tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan filter/ penyaringan informasi, apakah itu sesat atau menyesatkan. Sehingga kembali ke pengguna Medsos itu sendiri, harus bisa memilih dan memilah informasi yang mereka terima dari portal berita maupun dari pertemanan didunia maya. Isu yang beredar tentunya tidak begitu saja dishare ke publik, tentu ditambah dengan bumbu politik. Sebagian besar masyarakat tentunya sudah tahu persis ketika hukum dijadikan senjata untuk menjerat sebagian tokoh yang dianggap menghalangi kepentingan kelompok tertentu. Bukan bermaksud untuk mengkerdilkan pikiran kita tentang hukum di negeri tercinta ini. Namun pemerintah harus hadir ditengah karut marutnya negeri ini.
Semoga bangsaku tercinta ini terus maju, aman dan damai. Tak ada pelangi jika hanya ada satu warna, tak ada Indonesia jika hanya ada satu suku bangsa.
**Bahagia itu sederhana, cukup ucapkan “Om Telolet Om”(**
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz