Apakah selamanya politik itu kejam?Apakah selamanya dia datang tuk menghantam?

Sepenggal lirik dari sang maestro Iwan Fals yang kala itu sangat rajin mengkritik pemerintah. Cara “elegan dan santun” untuk mengkritisi pengendali Negara dari seorang seniman yang berkelas. Tak perlu darah bercucuran, tak guna ada permusuhan, Politik itu kejam, politik itu sadis, politik itu penuh intrik, politik itu tak berperikemanusiaan, politik itu sampah, politik itu kotor, politik itu busuk..lebih busuk dari tumpukan sampah di TPA (red: Tempat Pembuangan Akhir)
Bagi orang awam bisa jadi kata-kata tersebut yang keluar dari mulut (secara spontan) ketika ditanya apa itu politik. Tak heran memang jika banyak dari masyarakat kita begitu antipati jika berbicara politik. Indonesia memang Negara berkembang yang sedang “belajar” tentang begitu pentingnya peran politik untuk membangun sebuah bangsa. Jika melihat sejarah Indonesia, memang perkembangan politik ditanah air cenderung lamban jika dibandingkan dengan Negara tetangga seperti Malaysia maupun Singapura. Masa lalu yang kelam memang memiliki andil besar terhadap kemajuan dalam berpolitik di negeri ini.
Politik itu tentang kepentingan, bukan pertemanan.
Bisa jadi politikus negeri ini masih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan masyarakat. Berbagai cara dilakukan untuk mencapai “tujuan”, entah itu dengan cara “kotor” atau “bersih”. Namun kotor dan bersih itu relative dalam perpolitikan, semua serba semu, tanpa ada batasan toleran. Pada era sekarang, politikus “karbitan” sangat banyak bermunculan. Hanya mengandalkan popularitas, entah itu sebagai artis, penyanyi maupun pengusaha adalah modal yang cukup untuk berpolitik. Tanpa ada minat sekalipun, kalau yang meminang partai kelas kakap, kemungkinan besar siapapun akan tertarik. Sudah menjadi rahasia umum, partai sekaliber nasional pun kini tak sungkan untuk meminang artis untuk mendongkrak popularitasnya  di gelaran Pemilu. Politik praktis memang mengancam keberlangsungan demokrasi di negeri ini. Betapa tidak, tanpa pengalaman pun seseorang bisa melenggang menjadi anggota dewan dan kepala daerah. Walhasil, kinerjanya pun amburadul tanpa ada arah dan tujuan. Visi dan misi sering digemakan ketika masuk masa kampanye, namun nol  ketika usai dilantik.
Bahkan tak jarang program seratus hari pertama sebagai kepala daerah maupun wakil rakyat hasilnya nihil. Gebrakan untuk kepentingan rakyat cenderung stagnan dan hanya copy paste dari pejabat periode sebelumnya. Inilah preseden buruk dalam bernegara saat ini. Kada dan DPR kurang kreatif dalam bertindak dan membuat kebijakan. Padahal permasalahan yang ada dimasyarakat cukup kompleks dan butuh penanganan yang cepat dan tepat.
Misalnya saja dalam bidang pendidikan:
1.       Pertama, permasalahan yang “biasa” terjadi adalah siswa/i putus sekolah. Pendidikan merupakan modal yang sangat penting bagi generasi muda, sebab merekalah yang akan meneruskan tongkat estafet keberlangsungan negeri tercinta ini. Namun, tak jarang anak bangsa  yang terpaksa putus sekolah bahkan belum pernah mengenyam dunia pendidikan. Banyak factor yang menyebabkan APS (Anak Putus Sekolah), akan tetapi mayoritas dikarenakan factor ekonomi keluarga. Mahalnya biaya pendidikan mengakibatkan orang tua/ wali murid memilih untuk memberhentikan anaknya dari sekolah. Banyak diantara APS yang akhirnya membantu orang tua mereka memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Rata-rata usia APS di negeri ini didominasi usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Ya,usia mereka baru belasan tahun, namun sudah dibebani untuk membantu perekonomian keluarga. Padahal anak seusia mereka adalah masa emas untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal kelak dihari tua. Disinilah seharusnya pemerintah bersama DPR ikut andil dalam membuat kebijakan pendidikan.
2.       Kedua, kualitas pendidikan yang masih rendah. Jika dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, dunia pendidikan Indonesia masih tertinggal. Ini terbukti dari besarnya minat putra dan putri bangsa ini yang lebih memilih pendidikan diluar negeri ketimbang belajar di negeri sendiri. Celaka nya lagi setelah lulus, kebanyakan dari mereka enggan untuk kembali ke Indonesia. Alasannya pun bervariatif, mulai dari kenyamanan hingga jaminan pekerjaan yang lebih menjanjikan. Jika keadaan ini berlanjut, bukan tidak mungkin secara berangsur rasa memiliki dan nasionalisme terhadap NKRI anak negeri akan terus tergerus. Pentingnya pemerintah untuk ikut mengawal pendidikan memang tidak  bisa dipungkiri. Menumbuhkan rasa kecintaan kepada NKRI sejak dini dirasa sangat perlu dan mendesak. Misalkan dengan memasukkan mata pelajaran nasionalisme kedalam buku ajar.
3.       Ketiga, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tepat sasaran. Ya, pemerintah melalui Mendiknas memang tidak hanya berpangku tangan untuk mengatasi semakin meningkatnya jumlah APS. Pemerintah mengeluarkan kebijakan BOS untuk siswa/i kurang mampu, agar dapat terus melanjutkan pendidikan, minimal setingkat sekolah kejuruan (SMK). Tujuannya tak lain, kedepan, putra putri bangsa dapat terus menggali potensi serta berkarya untuk bangsa. Namun, pada kenyataannya angka APS masih tinggi sampai saat ini. Sehingga, patut diduga penyaluran BOS tidak tepat sasaran. Pengawasan terhadap distribusi BOS masih lemah, sehingga pemerintah seharusnya bekerja sama dengan lembaga professional atau membentuk satuan tugas yang fungsinya untuk melakukan control serta evaluasi terhadap penyaluran bantuan tersebut.
4.       Keempat, kurikulum yang jelas. Bukan rahasia umum didunia pendidikan negeri ini masih karut marut dan acak kadul, bagaimana tidak, setiap pergantian menteri maka kurikulum pun diubah sesuai “selera” sang menteri. “Penyakit” yang dari tahun ketahun terus berulang. SEhingga tenaga pendidik yang ada dibawah pun mengalami kesulitan ketika harus mengaplikasikan kurikulum lama ke kurikulum yang baru. Ibarat orang berjalan yang tak tahu arah dan tujuannya. Pengaplikasian kurikulum membuthkan waktu, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seharusnya, kementerian pendidikan memonitor pelaksanaan kurikulum yang sebelumnya, kemudian melakukan evaluasi. Dengan begitu, bisa diambil kesimpulan dari evaluasi tersebut,. Jika memang ditemukan kekurangan dari kurikulum yang sedang dijalankan, maka tugas menteri yang baru adalah menyempurnakan kurikulum yang ada.

5.       Kelima, pendidikan berbasis teknologi dan berperikemanusiaan. Pesatnya perkembangan teknologi akhir-akhir ini memang tidak dapat dihindari. Pengaplikasian teknologi dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) harus ditingkatkan, agar generasi muda tidak gagap teknologi. Bahkan pemerintah talah meng-amini PBM dilakukan tanpa tatap muka!!! Program pengajaran jarak jauh (PJJ) bahkan telah diterapkan tahun 2007, meski terhitung sebagai trial and error alias uji coba. Hanya berbekal computer jinjing dan sambungan internet, mahasiswa bisa berkomunikasi dengan dosen didunia maya. Pengintegrasian teknologi memang tengah getol digarap pemerintah. Tujuannya tak lain adalah untuk mempermudah siswa/i dalam belajar. Namun, penggunaan teknologi yang kurang tepat bisa berakibat fatal. Marak dimedia sosial akhir-akhir ini, APS hanya dikarenakan diolok-olok (bullying) teman sekelas, parahnya ada yang sampai bunuh diri karena aib nya dibongkar di media sosial. Peran media internet memang sangat berpengaruh, kemudahan untuk mengakses berbagai informasi dari mesin browsing segampang mengambil air di samudera. Disinilah peran pemerintah untuk mengambil kebijakan terkait teknologi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?