Kantong Plastik (tak) Berbayar
Oleh : Randy Prima
Alumni Prodi Akuntasi, Alumni FE Universitas Muhammadiyah Malang
Kurang lebih delapan bulan
lamanya pemerintah menetapkan kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB), itu
berarti selama itu pula “umur” dari kebijakan tersebut. Kebijakan pemerintah
untuk menekan penggunaan kantong berbahan plastik memang cukup beralasan,
mengingat dari tahun ke tahun penggunaan kantong plastik cenderung terus
meningkat dan merupakan penyumbang sampah yang paling dominan, seiring
bertambahnya populasi penduduk di negeri ini. Awalnya kebijakan ini belum
menemui hambatan yang berarti, mengingat hampir semua kalangan mendukung niat
baik pemerintah untuk mengurangi sampah, terutama sampah plastik yang notabene
kurang ramah lingkungan. Namun seiring berjalannya waktu, permasalahan mulai
muncul. Diantaranya kriminalisasi atas kebijakan ini yang disebabkan oleh
“mahal” nya harga kantong plastik yang harus dibayarkan konsumen kepada retailer. Atas dasar inilah kemudian
Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO) menolak kebijakan ini.
Bukan saja masyarakat umum sebagai konsumen yang dirugikan, tetapi
juga pengusaha retailer di Indonesia.
Belum jelasnya payung hukum juga mendasari APRINDO menolak untuk melanjutkan
program plastik berbayar. Terhitung per 1 Oktober, seluruh pusat perbelanjaan
modern se-Indonesia secara resmi tidak lagi memungut biaya sepeser pun alias menggratiskan kembali kantong
plastik. Pengusaha retail cenderung wait
and see untuk melanjutkan program pemerintah ini, hingga terbit regulasi
yang jelas sebagai dasar hukumnya. Memang sejak diberlakukannya kantong plastik
berbayar, informasi mengenai implementasi dan pelaksanaan dilapangan hampir
tidak pernah dipublikasikan. Padahal masyarakat luas juga mempunyai kepentingan,
termasuk diantaranya peruntukan dana yang telah dibayarkan atas KPB. Jika
merunut awal mula diberlakukannya kebijakan KPB ini, setiap tanggal 21 Februari
diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Bahkan saat itu, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berbaur dengan masyarakat dalam gelaran car free day di Jakarta untuk
menyosialisasikan Indonesia bebas sampah tahun 2020. Bahkan berita ini sempat
dikorankan di Jawa Pos, pada Hari Senin tanggal 22 Februari 2016 yang berjudul “Kantong Plastik Tak Gratis Lagi”. Tujuannya
tak lain adalah untuk membantu pemerintah menginformasikan programnya hingga ke
masyarakat luas.
Keputusan pemerintah untuk menerapkan KPB memang tentunya “sedikit”
membebani masyarakat pada umumnya. KLHK menetapkan harga minimal standar
Rp.200,- per kantong plastik. Bahkan pemerintah DKI Jakarta berani mematok
harga per kantong plastik Rp.5.000,- (Lima Ribu Rupiah) diseluruh pusat
perbelanjaan maupun pasar tradisonal. Besaran harga kantong plastik setiap daerah
memang bervariasi. Pemerintah berdalih dana yang terkumpul dari penjualan
kantong plastik ini digunakan sebagai dana CSR (Corporate Social Responsibility). Program ini akan diuji coba
selama enam bulan kedepan dan akan dievaluasi secara berkala setiap tiga bulan
sekali. Klaim dari Pemerintah melalui KLKH jumlah sampah kantong plastic
menurun cukup signifikan dibandingkan dengan sebelum dikeluarkannya kebijakanKPB.
namun bagi rakyat merupakan pos pengeluaran baru, yang artinya harus
memperhitungkan ulang budget
belanjanya.
Pemerintah sendiri telah mengatur kewenangan
pengelolaan sampah dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008. Dalam UU itu
disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertugas menjamin pengelolaan
sampah yang baik dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan dan menjadikan sampah sebagai
sumber daya. Pengelolaan sampah yang baik akan berdampak pada lingkungan sosial
maupun ekonomi. Dampak sosial yang bisa dirasakan secara nyata diantaranya
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, dan bisa mencegah munculnya
“kampung kumuh”. Sampah tidak saja menjadi ancaman, tapi juga bisa menjadi
peluang. Menjadi ancaman apabila tidak ditangani secara serius dan benar, dan
akan menjadi pundi-pundi uang (red:manfaat ekonomi) jika disikapi secara bijak
dan cerdas.
Langkah konkret untuk meminimalisir sampah tidak seharusnya
dibebankan kepada masyarakat .Beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan
diantaranya:
Pertama, memberikan pemahaman tentang pentingnya membuang sampah pada
tempatnya. Pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan dari sampah perlu
dilakukan sejak dini, bahkan sejak usia pra-sekolah.
Anak-anak wajib diberikan pengertian dan wawasan oleh orang tua dan juga
lingkungan sekitar. Misalnya membuang sampah ditempat sampah, tentunya harus
dilakukan secara disiplin dan sustainable.
Jika dari lingkungan keluarga sudah mendukung, maka ketika anak mulai mengenyam
dunia pendidikan, tugas guru sebagai pendidik mungkin akan jauh lebih ringan.
Kedua, pemberdayaan masyarakat melalui Bank Sampah, disinilah poin yang
menjadi tumpuan pemerintah untuk “mengendalikan” sampah mengingat sisi edukasi
tentang sampah bisa langsung disosialisasikan ke masyarakat. Misalnya dimulai
dari memilah sampah organik dan an organik. Sampah organik bisa diolah menjadi
pupuk kompos sedangkan sampah an organik bisa dijual ke Bank Sampah sebagai
pengkoordinir ke pihak ketiga (red:pabrik) untuk proses daur ulang. Penanggungjawab/anggota
Bank Sampah bisa saja dibentuk melalui karangtaruna atau dari perkumpulan
ibu-ibu PKK. Dari sisi ekonomis, masyarakat diuntungkan, dan pemerintah juga
tidak dirugikan.
Ketiga, memberikan training atau pelatihan secara berkesinambungan kepada
masyarakat untuk membuat produk kreatif dari sampah. Dengan begitu, jiwa
wirausaha akan terpupuk dari kebiasaan sehari-hari. Misalkan celengan dari
kaleng bekas, vas bunga dari botol bekas, tas dari kemasan sabun dll.
Pemerintah bisa berperan aktif untuk memasarkan produk-produk kreatif yang ada untuk
menunjang keberlangsungan home industry tersebut.
Keempat, mendirikan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah (BUMN/D) yang mempunyai
spesialisasi atau kemampuan untuk mendaur ulang sampah. BUMN/D bisa bersinergi
dengan Bank Sampah serta swasta untuk melakukan proses pendaur ulangan. Dengan me recycle sampah an organic, berarti pemerintah juga
mengurangi potensi pencemaran lingkungan.
Sampah merupakan bagian dari hidup manusia yang tidak dapat
dipisahkan, mengingat keberadaan sampah sendiri bermula dari kegiatan manusia.
Sampah tidak dapat dihindari, tapi dapat dikendalikan. Menjaga kebersihan
lingkungan adalah kewajiban kita semua, karena lingkungan yang bersih adalah
cermin budaya sebuah bangsa. Kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap sampah
memang perlu ditingkatkan untuk mewujudkan Indonesia
Zero Waste 2020. Membuang sampah pada tempatnya adalah kebutuhan, bukan
tuntutan. Tag line “Buanglah Sampah pada Tempatnya” mungkin sudah
sering kita temui, akan tetapi akan tumpul dan tak berguna jika kita hanya
membaca, tanpa ada kemauan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Bukankah agama telah mengajarkan? Bahwa kebersihan adalah sebagian
dari iman.
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz