Mimpi lewat PT Favorit
Setiap menjelang tahun ajaran baru, orang tua yang anaknya akan
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sering dipusingkan oleh
berbagai pilihan perguruan tinggi (PT). Tentu, orang tua mengharapkan anaknya
bisa menempuh pendidikan di PT favorit berkualitas, baik secara akademik maupun
“nilai jualnya” setelah menyelesaikan studi.
Dengan kata lain, bisa menghasilkan para sarjana yang mampu
memberikan sumbangsih kepada masyarakat umumnya, termasuk menciptakan lapangan
kerja baru.
Berbagai usaha dilakukan sekolah agar anak didiknya bisa lulus dalam
ujian akhir nasional (unas). Apalagi, dalam lima tahun belakangan pemerintah
telah menerapkan standar kelulusan minimal (SKM) bagi siswa dan siswi yang
mengikuti ujian akhir.
Program intensif belajar (PIB) atau bimbingan belajar (bimbel)mulai diterapkan diseluruh pelosok
tanah air. Tujuannya menekan angka ketidaklulusan yang hampir setiap tahun
meningkat, mengingat SKM yang ditetapkan dari tahun ke tahun selalu naik.
Unas merupakan “babak awal” yang harus dihadapi siswa menengah
maupun kejuruan sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Pasca
unas, para siswa harus menghadapi seleksi penerimaan mahasiswa baru, terutama
jika ingin masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN).
Mereka yang mempunyai prestasi selama duduk dibangku sekolah bisa
direkomendasikan sekolah untuk mengikuti penerimaan mahasiswa melalui jalur
tanpa tes, PMDK. Selain itu, ada jalur yang bisa diikuti seperti SPMB (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru) yang biasanya dilaksanakan serentak di seluruh
Indonesia.
Keinginan dan tuntutan orang tua terhadap anaknya terkadang menjadi
polemic yang sulit diselesaikan, termasuk dalam memilih perguruan tinggi. Di
satu pihak, anak ingin masuk ke PT yang
menurut mereka mempunyai nilai plus dibandingkan PT yang lain. Dilain pihak,
orang tua ingin anaknya masuk ke PT yang
telah dikehendaki. Perbedaan tersebut sering terjadi karena adanya perbedaan
sudut pandang masing-masing individu
Jika melihat keadaan itu, apakah seorang anak tidak mempunyai hak
untuk menentukan PT yang diinginkan? Pada dasarnya, masuk di PT merupakan
sebuah proses belajar yang berkesinambungan dari jenjang pendidikan sebelumnya.
Belajar di PT merupakan pilihan strategis untuk mencapai tujuan individual bagi
mereka yang menyatakan belajar melalui jalur formal (Suwardjono, 1991)
Jika menilik realitas, kebanyakan orang tua masih menganggap dan
memosisikan perguruan tinggi sebagai jalur untuk menuju sebuah pekerjaan, status sosial,
serta bentuk afeksi diri. Tampaknya, PT bisa dikatakan sebagai institusi yang
mampu memenuhi berbagai komunitas masyarakat untuk menentukan masa depan.
Mereka yang tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi merasa yakin
kehilangan haknya atas pekerjaan atau status sosial yang semestinya mereka
peroleh seandainya bisa belajar di perguruan tinggi. Meski, kenyataannya banyak
bukti ketidakberhasilan PT dalam mewujudkan keinginan para konsumennya.
Fenomena tersebut bisa dilihat dari besarnya angka drop
out, baik dari PT maupun setelah memasuki dunia kerja sejalan dengan
program studi yang telah diambil. Orang yang mampu survive dalam dunia kerja ternyata tidak harus dari lulusan PT,
tapi mereka yang bisa mengikuti perkembangan, termasuk perubahan teknologi yang
selalu dinamis
Adanya perbedaan level dalam PT membuat adanya kesenjangan atau gap antara PT favorit dengan PT yang
biasa-biasa saja. Kebanyakan PT favorit di Indonesia merupakan PTN yang
mempunyai nama besar
Untuk menghadapi problematika tersebut, diperlukan kerjasama agar
PTN dan PTS non-negeri bisa sejajar
untuk mencetak sarjana professional serta menciptakan kehidupan bangsa yang
cerdas.
Memperkuat Budaya Akademis
Budaya akademis adalah cara hidup komunitas ilmiah dalam perguruan
tinggi yang sepenuhnya mendasarkan diri pada nilai-nilai kebenaran,
rasionalitas, dan objektivitas (Ihya’ul Ulum, 2002).
Budaya akademis harus berprinsip pada kebebasan berpikir atau cara
pandang mahasiswa terhadap pemecahan suatu kasus dalam belajar mengajar. Kemudian,
bisa didiskusikan secara terbuka, objektif, yang akhirnya dievaluasi secara
bersama-sama. Dengan kata lain, dosen menjadi penengah jika terjadi perbedaan
pendapat.
Dengan metode pembelajaran seperti itu, diharapkan mahasiswa bisa
menyelesaikan problem secara mandiri sebagai bekal sebelum terjun langsung ke
masyarakat.
Dimuat di Jawa Pos, Kolom Prokon Aktivis, Sabtu 10 Maret 2007
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz