Perlukah “Superioritas” Orang Tua Terhadap Anak?

Anak merupakan symbol kebahagiaan keluarga. Kehadiran anak sangat dinantikan oleh pasangan yang telah mengikat janji setia dalam pernikahan. Tak pelak perlakuan pada sang anak terkadang over, sehingga apapun dilakukan demi kebahagiaan sang buah hati. Akan tetapi, tak jarang perlakuan terhadap anak berakhir dengan kekerasan, baik kekerasan secara fisik maupun psikologis. Salah satu kekerasan fisik yang kerap kali terjadi dalam masyarakat, misalnya anak dipukul jika tidak menuruti kemauan orang tua. Pendidikan ala “militer” yang tidak tepat dan tidak pada tempatnya sudah menjadi hal yang lumrah. Bagaimana dengan kondisi psikis seorang anak yang mendapatkan perlakuan seperti itu?
Menurut Sigmund Freud ada tiga prinsip fundamental yang mempunyai peran untuk mengatur dan menguasai dalam proses psikis, yakni prinsip konstansi (the principal of constancy), prinsip kesenangan (the pleasure principal), dan prinsip realitas (the reality principal). Menurut prinsip konstansi, hidup psikis cenderung mempertahankan kwantitas ketegangan psikis pada taraf yang serendahnya atau setidaknya pada taraf yang sedapat mungkin stabil. Sedangkan menurut prinsip kesenangan, hidup psikis cenderung untuk menghindari ketidaksenangan dan memperoleh kesenangan sebanyak-banyaknya. Dan prinsip yang terakhir adalah prinsip realitas, yang merupakan prinsip kesenangan yang disesuaikan dengan kejadian sebenarnya (fakta).
Dari ketiga prinsip tersebut,  pada awal hidup psikis (pada anak kecil), prinsip kesenangan dan prinsip konstansi menguasai semua proses psikis. Akan tetapi keadaan ini, tidak berlangsung secara konstan, ada suatu masa dimana seseorang mulai mencari kesenangan diluar, atau yang diterima oleh orang lain (realitas). Ketidaksenangan bertalian erat dengan ketegangan, kuantitas ketegangan akan naik apabila ketidaksenangan juga naik. Sebaliknya kesenangan bertalian dengan berkurangnya kuantitas ketegangan.
Adanya paradigma dalam masyarakat yang menyatakan bahwa “anak merupakan milik orang tua”, menyebabkan kekerasan terhadap anak dibawah umur. Diskriminasi orang tua pada anaknya ini hanya akan menimbulkan problem baru dalam perkembangan anak selanjutnya.
Maraknya violence (kekerasan) terhadap anak akhir-akhir ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti masalah financial keluarga, sosial, dan lain sebagainya. Seringkali anak dijadikan sebagai sasaran pelampiasan emosi orang tuanya, sehingga muncul kasus seperti penganiayaan, pelecehan seksual, dan menelantarkan anak yang buntutnya menjadi anjal (anak jalanan). Sikap “otoriter” orang tua pada anak memang perlu dilakukan, tentunya dengan proporsi yang pas. Artinya, orang tua tidak harus semaunya sendiri dan “menang sendiri” selama itu positif kenapa harus dilarang? Anak berbeda dengan orang tua, yang mempunyai keinginan, kepribadian dan pemikiran sendiri.
Sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap fenomena tersebut, pemerintah membuat kebijakan dengan mengesahkan UU No 23 Thn 2002 tentan Perlindungan Anak (UUPA). Didalam UUPA ini diatur mengenai hak-hak anak serta kewajibannya.
Dalam rangka untuk menciptakan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, pemerintah mengamanatkan untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).  Dengan kata lain, KPAI merupakan lembaga yang mempunyai peran dalam teknis pelaksanaan UUPA.

Kurangnya sosialisasi mengenai UUPA, membuat pelaksanaannya kurang efektif, salah satu indikatornya adalah masih tingginya angka kekerasan terhadap anak. Selain penegakan UUPA, ada hal yang perlu diubah dalam paradigm dalam masyarakat yang berpandangan bahwa anak merupakan orang dewasa kecil yang tidak mengetahui apa-apa. Jika “strata” ini terus bertahan dan tetap ada dalam masyarakat, mustahil kekerasan terhadap anak bisa diminimalisir.


Dimuat di Koran Kampus Bestari No.228/TH. XX/JULI/2007




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?