Delman, Moda Transportasi yang Kian Terpinggirkan

Kumandang adzan subuh belum menggema, mentari juga belum menampakkan sinarnya, namun suara kokok ayam bersahutan menyambut pagi dengan riang. Suara katak pun tak kalah “lantang”, maklum semalam hujan mengguyur. “Raja malam” masih mengepakkan sayapnya, seolah enggan pulang ke peraduan. Pancaran sinar bulan cukup untuk menerangi pagi yang masih gelap. Sesekali “ringikan” kuda  sayup-sayup terdengar, entah lapar atau sedang di “treatment” sang Empunya. Dinginnya pagi itu bukan menjadi penghalang bagi si Kusir (1), yang terpenting hari ini rejeki tetap mengalir dan dapur tetap mengepul. Sebut saja Pak Kusir, beliau adalah salah satu dari sekian banyak “masinis” nya delman yang masih bertahan hingga kini. Andong, delman atau dokar (kata orang Jawa) merupakan moda transportasi andalan dijamannya. Mungkin bagi buyut, kakek, nenek atau orang tua kita, delman  adalah salah satu kebutuhan primer dalam hal transportasi. Dokar menjadi moda transportasi primadona bagi masyarakat dahulu kala, bahkan sejak jaman kerajaan.
Dokar atau delman merupakan alat transportasi tradisional yang bertenaga kuda, yang dikendalikan oleh seorang kusir. Dibagian belakang, merupakan kereta roda dua yang  berisi penumpang dan Pak Kusir lengkap dengan penutup semacam “atap” sebagai pelindung dari sengatan matahari dan hujan. Bentuk dan model dari andong cukup bervariasi, mulai dari yang sederhana, seperti ‘angkutan umum’ sampai yang super VIP, seperti kereta kerajaan.
Didaerah pelosok atau pinggiran, mungkin sangat mudah dijumpai hingga kini. Maklum, moda transportasi ini perlahan mulai ditinggalkan masyarakat. Kalah dengan tunggangan besi yang akhir-akhir ini menyerbu tanah air. Selain lebih aman, cepat dan handal, keberadaan sepeda motor dan mobil cukup mendukung mobilitas masyarakat yang akhir-akhir ini terbilang tinggi. Hanya berbekal bahan bakar beberapa liter saja, seseorang bisa berkeliling kota dan tiba ditujuan dengan waktu yang tepat. Berbeda dengan andong. Berbekal kuda sebagai “mesin” utamanya, andong sangat bergantung pada “kekuatan” kuda untuk menjangkau wilayah tertentu. Namun, beberapa kelebihan transportasi andong dibanding angkutan modern saat ini, yakni ramah lingkungan. “Bahan bakar” nya berasal dari alam, sehingga tidak mencemari udara dan lingkungan sekitar. Andil andong sebagai penyebab kerusakan alam bisa dikatakan “nol” alias ramah lingkungan karena kotorannya berasal dari alam kembali ke alam.
Hal unik yang bisa kita jumpai ketika naik andong diantaranya:
1.     Andong dikemudikan oleh Pak Kusir, peralatan “kemudinya” pun sangat simple, cukup dengan tali sekira 2 meteran, kanan dan kiri yang ditambatkan pada kepala kuda yang telah didesain sedemikian rupa sehingga Pak Kusir hanya perlu tarik kekanan untuk belok/ arah kanan dan sebaliknya. Untuk berhenti, cukup dengan menarik dua tali tersebut kearah belakang, dan andong pun berhenti. Keren kan? Meskipun terkesan jadul, namun andong masih tetap melekat dihati
2.     Bunyi dari keempat kaki kuda ketika sedang berjalan cukup khas “tuk,tik,tak,tik,tuk,tik,tak,tik,tuk,tik,tak,tik,tuk” seakan berirama dan bersahut-sahutan satu sama lain. Ternyata, bunyi tersebut ditimbulkan oleh “sepatu” atau tapal kuda yang dipasang dikedua pasang kaki kuda. “Klenik” yang beredar dimasyarakat Jawa, bagi siapa saja yang menemukan tapal kuda menghadap kearah tertentu dengan cara tidak disengaja, maka orang tersebut akan diliputi keberuntungan dalam hidup. Aneh bukan?
3.     Jika pada kendaraan modern seperti mobil atau sepeda memerlukan oper perseneling dan gas untuk menambah kecepatan, andong hanya cukup dengan cemeti sakti sang kusir, kuda pun lari kencang. Asyik pokoknya.
4.     Seperti halnya mesin, kuda juga memerlukan istirahat untuk bepergian dengan jarak tertentu. Biasanya, sang kusir berbekal rumput dan katul, sebagai bahan bakar si Kuda. Namun jika tidak, cukup parkir diarea persawahan dan tegal, bahan bakar pun siap sedia dialam bebas. Dan tak jarang pula mereka menepi dialiran sungai hanya “nyuci” sang Kuda untuk menyiapkan tenaga yang fresh.
5.     Laiknya mobil, dengan naik andong, kita tak perlu berpanas-panasan atau kehujanan, karena andong telah dilengkapi dengan fitur yang cukup futuristik yang “anti” air dan terik matahari.
6.       Anda akan teringat lagu masa kecil "naik delman" dan anda akan mulai tersenyum bahagia, ternyata delman memang sudah terpatri jauh didalam hati. Berbahagialah bagi anda yang lahir ditahun 80-90'an, karena anda masih bisa menikmati sensasi naik delman

Kini keberadaan andong dikota besar hanya bisa dijumpai dititik keramaian, itu pun berada disekitar kawasan wisata. Kalau dulu biaya untuk naik andong cukup murah, kini mahal karena berada diwilayah wisata dan peruntukannya juga beda. Disamping itu, pemilik andong juga terbatas.
Dikutip dari Wikipedia
Delman adalah kendaraan transportasi tradisional yang beroda dua, tiga atau empat yang tidak menggunakan mesin tetapi menggunakan kuda sebagai penggantinya. Variasi alat transportasi yang menggunakan kuda antara lain adalah kereta perang, kereta kencana dan kereta kuda.
Nama kendaraan ini berasal dari nama penemunya, yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur pada masa Hindia Belanda.[1] Orang Belanda sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama dos-à-dos (punggung pada punggung, arti harfiah bahasa Perancis), yaitu sejenis kereta yang posisi duduk penumpangnya saling memunggungi. Istilah dos-à-dos ini kemudian oleh penduduk pribumi Batavia disingkat lagi menjadi 'sado'.[

*) 1) Kusir merupakan orang yang mengendalikan (mengemudikan) delman/dokar/ andong. Laiknya sopir, Kusir juga duduk didepan agar mudah untuk mengontrol kuda sesuai keinginan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?