INDONESIA, “Surganya” Koruptor
Belum kering
luka negeri ini oleh ulah para “tikus” liar, muncul kasus korupsi lagi. Kali
ini kasus mega proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau E-KTP yang merugikan
negara hingga 5,9 Triliun. Dugaan korupsi proyek negara ini terendus sejak
September 2011, sebelum akhirnya “mangkrak” karena Kejaksaan tidak memiliki
cukup bukti untuk melanjutkan proses penyelidikan. Mirisnya, orang-orang yang
terlibat dalam kasus ini adalah mereka yang mempunyai posisi strategis
dilembaga negara yakni di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementrian Dalam Negeri dan dilegistlatif, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI). Bahaya laten korupsi memang tidak bisa begitu saja hilang
dari negeri tercinta ini, terlebih hukumannya yang cukup “meringankan” bagi Si
Pelaku alias koruptor.
Hukuman
puluhan tahun tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi. Pemotongan
masa tahanan dan pemberian remisi bagi koruptor merupakan angin segar.
Pengemplang uang negara sudah sepantasnya untuk dihukum seberat-beratnya,
karena tidak hanya merugikan negara secara materiil, namun juga sosial. Upaya penegak hukum untuk “memiskinkan”
koruptor masih jauh dari kenyataan. Tengok saja kasus pejabat pajak yang
namanya sempat mencuat, Gayus Tambunan. Alih-alih miskin, keluar masuk tahanan
adalah hal yang ‘lumrah’. Maklum, Gayus termasuk tahanan yang ‘berduit’.
Pertanyaannya, bagaimana perlakuan hukum terhadap ‘konglomerat’ yang tersandung
masalah pidana? Apakah diperlakukan sama dengan maling singkong, maling pisang,
maling ‘cacing’? Seharusnya, Iya!!!. Namun, sudah menjadi rahasia umum,
perlakuan ‘eksklusif’ terhadap narapidana berduit dinegeri ini memang bukan
isapan jempol. Jika anda pernah menyimak berita mengenai fasilitas wah yang diberikan Lembaga
Pemasyarakatan (LP) kepada pelaku korupsi Artalyta Suryani. Pengusaha yang
namanya mencuat karena melakukan suap terhadap jaksa itu, menempati sel yang
tak jauh beda dengan rumah pribadi. Mantan penghuni rutan wanita Pondok Bambu
itu kedapatan menempati sel lengkap dengan sofa, lemari es, televisi dan masih
banyak fasilitas luxury lainnya.
Terlibatnya
pejabat dan wakil rakyat baik yang masih aktif maupun purna tugas dalam
berbagai kasus korupsi seolah sudah menjadi hal yang wajar dan biasa.
Pemberitaan media yang gencar turut memberikan andil yang besar terhadap
penyampaian informasi kepada masyarakat. Ketegasan penegak hukum terhadap pengembat uang negara sudah sepantasnya
dilakukan. Jangan hanya kasus kecil yang
kemudian menjadi ‘besar’ hanya untuk mencari sensasional dan menjadi pengalihan
isu. Bila perlu sidang kasus korupsi di blow
up kepada masyarakat luas melalui media, agar masyarakat teredukasi dan
akhirnya mengerti tentang bahaya korupsi. Secara teori pemberian sanksi dan
hukuman terhadap koruptor sudah terbilang cukup baik. Upaya penegak hukum untuk
memiskinkan koruptor dan secara paksa mengambil seluruh harta hasil korupsi untuk
dikembalikan ke negara. Akan tetapi kemudian pertanyaan muncul, seberapa miskinkah
mantan pelaku korupsi? Dan bagaimanakah definisi miskin menurut hukum? Terkait
harta, jika dalam ekonomi ada istilah ‘entitas ekonomi’, apakah dalam hukum
akan ada ‘entitas ekonomi menurut hukum’? Pemisahan antara harta milik pribadi yang bukan diperoleh dari hasil korupsi dengan harta yang bersumber dari korupsi.
Beberapa bulan
yang lalu, organisasi yang begitu getol memonitor kasus-kasus korupsi dinegeri
ini, Indonesian Corruption Watch (ICW) memberikan masukan kepada
pemerintah untuk mencabut hak politik
bagi pelaku korupsi. Hal ini untuk menghindari koruptor untuk mengulangi
perbuatannya, mengingat, masa kurungan para koruptor ‘hanya’ beberapa tahun
saja. Bisa jadi koruptor kelas teri akan naik tingkat menjadi kelas kakap
setelah ‘lulus’ dari tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lama tidak nya
masa tahanan tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku, justru akan timbul
kemungkinan untuk mengulangi perbuatan yang sama. Harapannya, tidak akan ada
istilah residivis kasus korupsi. Apa kata
dunia? J
Bobroknya penegakan hukum dinegeri ini
dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak sosial dimasyarakat bawah. Lembaga dan
aparat penegak hukum merupakan benteng terakhir negara untuk memberikan rasa
aman, nyaman dan keadilan bagi setiap warga negaranya. Penegakan dan perlakuan
hukum terhadap setiap warga negara harus sama, tidak terkecuali pejabat, wakil
rakyat, dan konglomerat. Do’a tiada henti untuk negeriku, Indonesia.
“Tegakkan hukum, setegak-tegakny, Adil dan Tegas Tak Pandang Bulu”
(Iwan Falls)
#JayalahIndonesiaku#tendangkoruptor#bahayalatenkorupsi#saynotocorruption
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz