Capo dan Pandemi

Capo dan PandemiPandemi covid 19 yang melanda hampir diseluruh penjuru dunia, memang sudah lebih dari setahun. Namun, hingga saat ini tampaknya masalah ini belum benar-benar bisa teratasi, meskipun vaksin telah didistribusikan ke seluruh dunia. Munculnya varian baru membuat scientist berpacu dengan waktu, untuk mengendalikan persebarannya. Bahkan negeri ini, kasus hariannya melonjak tajam. Dibulan Juli 2021 ini saja beberapa "rekor" terpecahkan!!! Tercatat pada tanggal 13 Juli 2021, angka positif rate dikisaran 48.000 kasus, mengerikan! Dengan tingkat kesembuhan "hanya" 50 persen dari total harian saat itu. 

Hal ini berbanding lurus dengan berita atau time line di media sosial. Banyak sharing permintaan donor plasma konvalesen, penolakan dibeberapa rumah sakit yang kapasitasnya overload, hingga langkanya tabung oksigen. Ya, keadaan ini memang cukup berat, mengingat PPKM yang digalakkan pemerintah sepertinya tidak "mempan". Sudah hampir dua minggu  PPKM darurat diterapkan, namun angka positif rate tidak ada penurunan, bahkan cenderung "meledak". 

Sepertinya jurus PPKM ini kurang ampuh, meskipun penyekatan dilakukan, tetap saja jalanan macet. Ibarat orang sakit, pemerintah sedang kebingungan mencari obatnya. Konsep pengendalian massa tidak pada tempatnya. Bagaimana dengan kebutuhan hidup orang-orang yang berpenghasilan dari berjualan? Atau mereka yang penghasilannya harian? Memang tak seluruhnya harus ditanggung pemerintah, namun setidaknya negara hadir ditengah serba sulitnya keadaan ini. 

Prinsip gotong royong negeri ini perlahan memang mulai terkikis. Negeri ini sedang digiring kearah paham kapitalis, tidak percaya diri dengan negeri sendiri. Kalau sudah demikian, menumpuk harta adalah solusi. Namun satu yang perlu dicatat, harta tak akan menolongmu ditengah musibah seperti sekarang. Sudah berapa banyak orang yang berkantong tebal harus berjuang mendapatkan ruang perawatan? Tak jarang berakhir ke liang lahat. Pandemi ini banyak memberikan pelajaran, sudah seharusnya instrospeksi diri dan memperbaikinya.

Masa pandemi ini mengingatkan pada buku "man search for meaning", buku yang mengisahkan perjuangan tawanan nazi pada eranya, bagaimana seleksi alam hanya dilihat dari bahasa tubuh. Tawanan nazi dikumpulkan dalam satu tempat, kemudian diangkut menggunakan kereta, sesuai tujuan kamp yang sudah ditentukan sebelumnya. Satu kamp yang terkenal "menyeramkan", Auschwitz. Tempat ribuan tawanan nazi dibantai. Ada ruang gas untuk mengeksekusi para tawanan yang dianggap melawan atau tidak bisa bekerja.

Para tawanan di kamp ini diseleksi secara ketat. Begitu tiba di Auschwitz, semua tawanan di cukur rambutnya, sebelum mengikuti seleksi tahap awal. Seleksi ini sangat menentukan antara hidup dan mati. Capo, manusia yang didesain seperti iblis, menyeleksi tawanan dengan ketat. Mereka memisahkan tawanan yang siap bekerja dan siap dieksekusi!!! Sang Capo hanya memainkan telunjuk ke kanan atau ke kiri, tanpa diketahui apa maksud dan tujuannya. Namun setelah malam tiba, perlahan teka-teki itu terbuka, tawanan yang berada disebelah kanan dianggap siap bekerja, sedangkan yang disebelah kiri dinilai sakit dan tidak siap bekerja, dan dipastikan akan dikirim ke ruang gas atau pembakaran mayat!!!

CAPO adalah seperti kepala pada camp rahasia, tugasnya mengerikan, seperti malaikat pencabut nyawa! Tawanan diperlakukan seperti budak, setiap tawanan yg dinilai tak bisa bekerja langsung masuk ruang gas! Namun yang menarik, salah satu tawanan yang juga seorang Doktor lolos dari tragedi maut itu

Ahli neurology itu mengamati setiap gerak gerik tawanan, dia mampu "menerawang" kapan seseorang itu akan mati dengan sendirinya atau masuk ruang gas! Bagaimana dia memotivasi dirinya dan temannya selama di kamp rahasia, tak sedikit pun dia kehilangan harapan hidup.

Dikisahkan sang Doktor, betapa mirisnya keadaan kamp Auschwitz. Kondisi Capo dan tawanan bak bumi dan langit. Capo berpakaian bersih dan rapi, berbanding terbalik dengan tawanan, tubuhnya lusuh dan penuh luka bekas siksaan, baju yang melekat ditubuh pun compang camping. Selama enam bulan para tawanan tidak berganti baju, bisa dibayangkan kondisinya seperti apa?

Setiap jam, setiap detik bayangan kematian selalu menghinggapi perasaan mereka. Kamp yang digambarkan tak lebih dari sekedar kandang hewan ternak, bagaimana kondisi kotoran dan tanah yang berlumpur. Lingkungan yang seperti ini rupanya membuat para tawanan kebal terhadap penyakit. Ya, manusia adalah makhluk yang mudah beradaptasi dengan lingkungan, termasuk dibawah tekanan sekalipun. Hal ini berbanding lurus dengan teori Dostoevski bahwa manusia akan bisa terbiasa dengan kondisi apapun. 

Bahkan disaat psikologis mereka tertekan hebat, mereka masih memikirkan cara berpenampilan, agar lolos dari jeratan ruang kremasi. Kebugaran fisik tawanan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mereka, karena para Capo berprinsip, mereka yang tidak bisa bekerja pasti dimusnahkan.

Fakta di kamp sangat berbanding terbalik dengan realitas dunia pada umumnya. Bagaimana tawanan harus bertahan hidup dengan makanan yang sangat terbatas, setengah ons roti untuk makan lima hari. Sedangkan "kerja paksa" yang cukup berat harus mereka jalani. Kemampuan untuk berpikir objektif dilingkungan seperti itu akan sangat mustahil. 

Ada hal yang membuat Anda kehilangan akal sehat, atau Anda sama sekali tidak punya akal sehat yang bisa hilang, begitu sang Doktor mengutip ungkapan Lessling. Bagaimana fase-fase yang dialami para tawanan ini sungguh berat. Dari fase pertama ketika "seleksi" tawanan, pasti mereka akan syok dengan keadaan diluar bayangan mereka. Betapa mengerikannya perlakuan Capo terhadap tawanan, hanya dari sikap tubuh mereka "mengadili", mati atau kerja paksa. Siksaan emosional sangat berat membuat mereka harus melenyapkannya. Termasuk ketika rindu tak terhingga terhadap rumah dan keluarga. Mereka akan berusaha menghapus memori itu dan mengubahnya menjadi kebencian.

Ajaibnya dia selalu berpikir positif dan selalu berbaik sangka pada sang maha segala Nya, selalu berdoa setiap malam, agar hari-hari yang berat dapat ia jalani. Bahkan dalam kondisi terpuruk pun dia tak pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Padahal jika mau, dia hanya butuh menyentuh kawat berduri yang teraliri listrik di sekeliling Kamp Auschwitz. Kekuatan pikiran memang perlu diimbangi dengan tindakan, karena hidup adalah sebuah anugerah dari Nya..

Dimasa pandemi ini Capo ini tak ubahnya virus yang bisa mengancam keselamatan siapa saja. Sementara berita yang tersebar diberbagai platform media sosial maupun media online ibarat cambuk bagi masyarakat yang enggan menerapkan protokol kesehatan. 




Komentar

  1. Selalu ada cara untuk menemukan kebahagiaan, menciptakan harapan baru dalam hidup, dan melanjutkan perjuangan untuk hidup dengan sebaik-baiknya. Meski tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil untuk melakukannya

    BalasHapus

Posting Komentar

Besongol.xyz

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?