Magis Idul Fitri!
Idul FitriJam masih menunjukkan pukul 03:30 pagi, namun suara kokok ayam mulai bersahutan. Lirih terdengar tarhim Subuh berkumandang dari corong masjid. Udara cukup dingin, hujan turun semalam, meskipun sebentar, tapi sudah membuat hawa sejuk dikampungku. Rasanya baru saja mata terpejam, namun terbangun karena janji yang ku buat bersama teman-temanku. Aku habis begadang bersama mereka, menikmati malam takbiran, Idul Fitri. Semangat untuk bermain, berkumpul, bersenda gurau dan momen hari raya Idul Fitri menjadi pembeda pagi itu. Tak seperti hari-hari biasanya, bangun pagi adalah ritual terberat dan penuh perjuangan. Spesial hari ini, alarm otomatis muncul dari otak untuk membangunkan tuannya, percaya atau tidak, tapi itu sering terjadi. Buru-buru aku turun dari tempat tidur, sembari mengumpulkan tenaga, aku merapikan bantal, guling dan sprei yang terlihat berantakan dan acak-acakan. Rupanya tidurku pulas, meskipun hanya tiga jam, yang terpenting bagiku tidurku berkualitas. Sayup-sayup ku dengar suara penggorengan dari arah dapur, tampaknya Emak ku sedang memasak, persiapan untuk dibawa ke masjid seusai Sholat Id nanti. Aroma bumbu yang sedang ditumis, membuat perut jadi keroncongan.
Ku intip dari balik jendela, kabut pagi masih menyelimuti desaku. Bahkan kaca jendela sedikit berembun, menghalangi pandanganku melihat situasi sekitar rumah. Tak lama berselang, kubuka jendela kamar, saat itu pula kesejukan udara pagi menerobos masuk ke dalam tulang, kerongkongan, otak dan menerpa semua anggota tubuhku. “Terimakasih ya Allah atas rahmat-Mu yang tiada habisnya ini” dalam hatiku berkata. Daun dan ranting pohon jambu air di depan rumah, sesekali meneteskan embun, seolah ingin menyampaikan salam, salam dihari yang Fitri ini. Kicau Burung Tengkek cukup memekakkan telinga, memecah kesunyian pagi itu. Sepertinya dia tahu, hari spesial umat muslim akan dirayakan hari ini. Bukan sekali, dua kali, beberapa kali burung ini mondar-mandir diseputaran rumah. Temaram lampu neon tak cukup untuk menerawang rumah kawanku, meskipun jaraknya hanya beberapa puluh meter dari rumahku.
Dengan langkah seribu, ku buka pintu kamarku , mengambil perlengkapan mandi sambil menenteng baju ganti yang kupilih untuk merayakan hari kemenangan ini, setelah tiga puluh hari lamanya puasa di Bulan Ramadhan. “Mau kemana, Le? Kok kelihatannya kamu tergesa-gesa, kamu tidak sedang ngelindur kan?”, tanya Emak ku. “Mau ke sungai, Mak. Kyan sudah janjian sama teman-teman, mau mandi di sungai, Kyan gak ngelindur kok” jawabku. “Mak, coba noleh ke kanan” pintaku. “Mmmmuuaach…terimakasih Mak dah mau noleh, Kyan pamit ke sungai dulu ya!” ucapku sambil berlari. “Hati-hati ya Le, semalam abis hujan”, lirih nasihat emak ku dengar dari kejauhan.
Nasihat itu ibarat angin, selalu dibutuhkan, dan tak perlu diragukan.
Dengan hati riang gembira aku lari kecil menuju rumah si Gio dan si Eko, sahabat sejak kecil yang agak bandel, manja dan semaunya sendiri. Oia, aku dan si Gio hanya terpaut sekira dua tahunan, aku lebih tua. Sedangkan aku dan Eko hanya selisih hitungan bulan, alias beda bulan. Usia kami yang tak terpaut jauh, membuat hobi dan kesukaan kami tak jauh beda. Hidup di desa pedalaman membuat kami begitu akrab dengan alam. Desaku terletak di lereng Gunung Penanggungan, gunung yang dikenal masyarakat masih keramat dan banyak menyimpan misteri di dalamnya. Ditengah desa ada saluran irigasi yang dibangun di masa kerajaan, sampai saat ini sungai ini masih dimanfaatkan oleh warga kampungku. Gio merupakan anak kedua dari dua bersaudara, sehingga sedikit banyak memengaruhi cara berpikir dan bertindak.
“Gio, Gio, ayo berangkat, keburu Subuh nih” teriakku persis di jendela kamarnya. Tak ada jawaban, aku mencoba mengetuk pintu rumahnya. “Tok..Tok..Tok..Assalamualaikum..Gio, jadi gak kita mandi bareng?”, tapi tetap saja tak ada yang menyahutnya. Tiba-tiba otak iseng ku muncul, aku coba pukul bedhug yang tergeletak di teras rumahnya. “Dung..Dung..Dung..Dung...”, tak lama kudengar suara seseorang sedang membuka pintu. Sepertinya caraku cukup efektif memberikan “efek kejut” untuk membangunkan seisi rumah. Sejurus kemudian ku lihat remang-remang wajah ibu si Gio, “Bulek, ini Kyan, Gio sudah bangun belum?” tanyaku sembari membuka percakapan. “Oh, Kyan, sebentar ya, sepertinya Gio masih pulas tuh tidurnya” jawab ibunya Si Gio. “Memang Gio tidur dimana Bulek? Tadi Kyan coba bangunkan dia dari jendela kamar, tapi tak ada respon” tanyaku lagi. “Selepas takbiran dia rebahan di ruang tengah, di depan TV, mungkin kecapekan dia ketiduran di situ” timpal Bulek. Sudah ku duga sebelumnya, pasti butuh waktu lama untuk membangunkan si Boss yang satu ini. Ya, begitulah si Gio jika membuat janji, tak pernah tepat waktu alias molor! Belum lagi kalau pas gak enak hati, ingkar janji pun bagi dia biasa saja, seperti tidak ada beban. Gio, Gio, semoga seiring berjalannya waktu, kamu bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik, gumamku dalam hati.
Sambil berjalan agak sempoyongan dan mengucek matanya dia berseloroh, “Maaf Kyan, berat banget mataku, kamu berangkat dulu saja ya sama Eko, nanti aku nyusul deh”. “Rumah Eko kan lumayan jauh, masa kamu tega aku jemput kerumah dia sendirian?” sergah ku. “Daripada aku memaksakan diri gabung sama kalian sekarang, kalau terjadi apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab?” kilah si Gio. “Ya sudah kalau begitu, aku pamit dulu” ucapku, sambil kulempar bedhug yang sempat ku pangku saat menunggu Gio bangun tadi. Rasa kesal dan emosi ku seketika memuncak, bagaimana tidak, janji yang kami buat bertiga kacau balau! Si Gio yang seenak udelnya dewe (seenaknya sendiri), mendadak mengurungkan niatnya untuk mandi bareng. Perlahan rasa emosi ini redah ketika menuju rumah si Eko, pagi yang dingin dan sedikit berkabut membuat handuk yang awalnya ku tenteng, akhirnya ku selimutkan di dada hingga perut, lumayan untuk menghangatkan badan. Jarak rumah si Eko dari rumah si Gio sekitar 1 kilometeran, namun aku harus melalui jalan yang tak terlalu mulus. Akses jalan menuju rumah Eko belum dicor alias makadam atau setapak. Masih rimbunnya pohon bambu, membuat angin yang berembus terasa sangat dingin. Masih jarang rumah berdiri, angin langsung berhembus dengan kencangnya menerpa tubuhku yang sedikit kuyup karena keringat. Tekad dan kemauanku yang kuat, membuat rasa dingin ini seperti angin lalu.
Rasa takut harus surut, atau paling tidak keberanianmu terus pasang. Agar tujuan hidup tak pernah hilang.
Nyaringnya bunyi kodok, jangkrik dan Burung Prenjak mengiringi langkahku menuju rumah Eko. Sesekali ku tengok ke arah Gunung Penanggungan masih berselimut kabut. Redup cahaya rembulan pagi itu masih bisa ku manfaatkan untuk penerangan. Do’a, sholawat dan takbir bergantian terucap dari mulut, berharap sampai di rumah Eko dengan selamat. Aku harus melewati sungai dan pematang sawah, khawatir ada hewan buas seperti ular yang setiap saat bisa saja mengancam keselamatanku. Dikejauhan kupandang bintang kelap kelip, seolah ingin menghiburku pagi itu, menyapaku untuk selalu ingat bahwa dunia ini luas dan indah yang patut untuk disyukuri. Pohon padi yang mulai menguning, terlihat bergoyang mengikuti ritme alam. Luasnya hamparan sawah membuat hati ini berbungah, takjub akan lukisan alam yang tersaji pagi ini. Gubrak!!! tak terasa tubuhku terjerembab ke tanah. Beruntung perlengkapan mandi dan baju ganti ku baik-baik saja, hanya sandal jepit yang kupakai talinya putus dan noda lumpur pada baju dan celana yang kukenakan. Tak sengaja, ternyata kaki kanan ku nyangkut lubang yang ada di pematang sawah. Baju ganti dan perlengkapan mandi memang kutaruh di tas kresek, kupisah antara baju dan perlengkapan mandi mengingat medan yang ku lalui tak mudah. Terlalu asyik menikmati pemandangan pagi membuat mata ini meleng, bahkan lubang selebar mata kaki ku tak terlihat.
Tak terasa jalan kaki sudah sekitar 15 menitan, dan aku pun sampai dirumah si Eko. Eko merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dia adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, menjadikan dia bertumbuh dengan kepribadian yang tangguh dan pemberani. Perawakannya yang tegap dan gempal, membuat orang yang mau berbuat “jahil” kepada kami harus berpikir dua kali. Namun, dibalik tampilan fisiknya, dia adalah orang yang sopan santun dan sangat menjunjung tinggi norma serta tata karma. Dibesarkan dari keluarga petani, keterampilan bercocok tanam patut diacungi jempol. Rumahnya yang sederhana ditengah-tengah persawahan, banyak dikelilingi aneka macam bunga, buah dan bonsai. Rumah mungil itu disulap bak rumah mewah lengkap dengan tamannya. Konsep rumah si Eko cukup unik, jika dibandingkan luas tanah antara rumah dan taman, jauh lebih luas taman. Bahkan dipojok taman dipasang gazebo dan ada kolam ukuran mini untuk ikan hias. Disinilah biasanya kami berkumpul menghabiskan waktu ketika libur sekolah tiba. Banyak hal yang kami pelajari disini, mulai dari cara bercocok tanam hingga cara membuat bonsai, bonsai pohon serut yang lagi booming dan diburu kolektor. Kami bertiga memang senang belajar dirumah si Eko, selain suasananya yang nyaman, udaranya sejuk, keluarga si Eko juga sangat welcome dengan keberadaan kami.
Sebelum masuk ke teras rumah, aku menyempatkan diri membasuh kaki ku yang berlumuran lumpur. “Assalamu’alaikum”, ku lempar salam sambil mengetuk pintu. “Wa’alaikumussalam, siapa ya?” tanya Bapaknya Eko. Rupanya Bapak belum hafal dengan suaraku, “Kyan ini Pak” jawabku. “Oh iya Le, sebentar saya panggilkan”. Sembari menunggu Eko datang, kulihat-lihat lagi seputar rumahnya. Sepertinya ada sesuatu yang baru dibeli oleh si Eko dan keluarganya. Sepintas mirip sepeda motor yang sedang ditutupi terpal. Namun, belum sempat membuka terpalnya, si Eko sudah teriak dari ruang tamu dan memanggilku “Hai Kyan, sini masuk sebentar, aku mau nyiapin baju dan perlengkapan mandi ku”. Rupanya si Eko tadi sedang membantu ibunya memasak, terlihat dari lusuh wajahnya. Ya, Eko memang anak yang pekerja keras dan penurut. Tak segan membantu teman yang sedang membutuhkan.
Tak berselang lama, dia sudah menenteng dua tas kresek, sama sepertiku berisi baju ganti dan perlengkapan mandi. Pertama kali yang dia lihat dari ku adalah celana dan baju, yang sedari tadi belepotan lumpur. Dengan seksama dia memperhatikan, kemudian bertanya kepadaku “Kamu kenapa Yan, kok celana sama bajumu kotor, sepertinya kamu habis jatuh ya?”. “Iya nih Ko, aku tadi terjatuh ketika lagi asyik-asyiknya melamun” jawabku. Mendengar jawabanku dia tersenyum. “Tapi kamu gak kenapa-kenapa kan? Gak ada luka maksudku?” tandas Eko. “Alhamdulillah aman Ko, cuma sandal jepitku talinya putus, tadi dah ku buang, jadi nyeker deh kesini” ungkapku sambil tersenyum. Seketika itu, dia menuju gudang, lebih tepatnya lumbung padi. Kampungku memang terkenal penghasil padi kelas super, selain bersih dan punel, aroma wanginya yang khas, membuat beberapa tengkulak datang ke desaku ketika musim panen raya tiba, untuk memborong hasil tani. “Nih, Yan, pakai sandalku ini”, pungkas nya. Ternyata si Eko ke gudang hanya untuk mengambilkan ku sandal jepit, masih tampak bersih tak ada noda, sepertinya baru, gumamku dalam hati. “Wah, terimakasih banyak ya Ko, sandalnya” sahut ku.
Kami pun berpamitan ke keluarga Eko, yang sedari tadi juga lagi sibuk mempersiapkan makanan untuk kenduri di masjid nanti. Langkah kami begitu tegap, menyambut perayaan hari raya yang kami nantikan, momen yang sakral dan pernuh suka cita, momen tahunan yang dinantikan oleh anak-anak kampung seperti kami. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 03:55, artinya kumandang Adzan Subuh sekitar 25 menit lagi. Kami mempercepat langkah menuju sungai, agar bisa berjamaah sholat Subuh di masjid. Ditengah jalan si Eko baru teringat, bahwa Gio tak bersama ku, spontan dia bertanya kepada ku, “si Gio mana Yan? Kita kemarin janjian bertiga kan?”. “Tadi aku sudah mampir ke rumahnya, cuma dia tadi memintaku berangkat duluan, matanya masih berat, yang membuat aku sedikit emosi ketika dia balik nanya, semisal dia ku paksa ikut, siapa yang akan tanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada nya”, dengan nada tinggi aku menjawab. Namun, dasar si Eko yang memang penyabar, mencoba menenangkan aku yang mulai terpancing dengan suasana tadi. “Sabar, Yan. Karakter si Gio kan memang begitu, kamu gak perlu menyikapi dengan emosi kalau berurusan dengan si Gio, seperti baru kenal kemarin aja kau dengan dia” imbuhnya. “Oh ya, dirumah mu kue lebarannya ada berapa macam? Pasti banyak kan? nanti setelah unjung-unjung ke sanak famili sekitar kampung, aku mampir ke rumahmu ya”, si Eko mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku yang masih emosi, tak langsung menggubris pertanyaan Eko. Masih tak habis pikir dengan ucapan Gio tadi, mengapa pertanyaan konyol bisa terlontar dan keluar dari mulutnya? Benar kata orang, jika lisan harus dijaga sebaik mungkin, untuk menghindari luka yang mungkin tak bisa langsung pulih, menusuk dihati. Aku masih ber khusnudzon, mungkin si Gio dalam posisi setengah sadar berucap seperti itu, maklum, dia memang tak terbiasa dengan begadang. Mentok, paling-paling jam sepuluh malam dia sudah bermimpi ke negeri awan alias tidur. Di desa, ada istilah moto yuyu (baca: mata yuyu), istilah yang pas untuk disematkan ke Gio. Mata yuyu biasanya diperuntukkan bagi mereka yang gampang ngantuk dan mudah tertidur, entah itu dalam posisi duduk, berbaring, atau sandar. Gio paling bisa seperti itu. Bahkan, ketika kami belajar kelompok pun, dia sering tertidur pulas pada posisi duduk!
“Hoi, Yan, jawab pertanyaanku, kamu sedang melamun?” gertaknya. “Coba ulang pertanyaanmu, maaf aku tadi sedang gak fokus”, imbuhku. “Sudahlah nanti kita lanjut ngobrolnya”, pungkas Eko. Tak terasa kami pun sampai di sungai. Ternyata sudah banyak warga desa disepanjang aliran sungai, menikmati karunia Tuhan yang luar biasa ini. Warga desa menyebutnya Sungai Toyowening. Hulu sungai Toyowening ini berasal dari mata air dikaki Gunung Arjuna, Sumber Dandang. Sumbernya yang sangat melimpah, menjadi berkah bagi petani sepanjang aliran sungai. Tak hanya untuk bertani, beberapa warga desa memanfaatkan air sungai ini untuk mandi dan cuci, tidak untuk kakus. Sehingga kebersihan dan kejernihan airnya masih sangat terjaga. Entah sejak kapan tradisi adus kali (baca: mandi disungai) mulai berjalan, yang jelas kata Emak sih sudah turun temurun, Emak pun dapat cerita itu dari Mbah Kakung. Penduduk sekitar percaya, dengan mandi di sungai semua penyakit bisa hanyut bersama air sungai. Ada juga yang percaya, dengan mandi di sungai, dosa kita bisa lebur bersama air Sungai Toyowening. Bagiku, itu hanyalah sebuah kata kiasan, yang bersumber dari rasa syukur atas nikmat air yang melimpah.
Sungai Toyowening ini berasal dari serapan Bahasa Jawa, kata toyo berarti air, dan wening yang artinya bening/ jernih. Menurut cerita rakyat, sungai ini dibangun pada masa kerajaan. Dari struktur bangunan dan bahan yang digunakan memang tak mencerminkan bahan bangunan yang ada saat ini. Terasiringnya terbuat dari batu kali, sedangkan dasar sungainya menggunakan batu yang dibentuk persegi panjang dan dipasang mirip paving block. Hanya dengan mata telanjang, kami bisa mengamati dasar sungai, karena airnya yang sangat jernih dan bersih. Hanya beberapa blok yang terlihat mulai rusak termakan usia. Hijau lumut yang menempel pada batu blok dasar sungai merupakan favorit tempat sembunyi ikan wader, namun sesuai kesepakatan warga, kami dilarang mengambil ikan dari Sungai Toyowening ini agar kelestarian ekosistemnya tetap terjaga. Menjelang bulan suci Ramadhan, remaja masjid dikerahkan oleh Ta’mir, untuk mencuci karpet dan kelambu, kami memanfaatkan aliran Sungai Toyowening. Aku, Gio dan Eko tak pernah absen pada momen ini. Semangat gotong royong masih terwarisi dengan baik hingga saat ini.
Ritual favorit remaja seperti kami adalah merendam kepala di bawah grojogan, entah mengapa, memang cukup enak dikepala, layaknya sedang dipijat. Jangan dibayangkan grojogan setinggi coban (baca: air terjun), hanya sekira 1,5 meter. Dinginnya pagi tak menyurutkan kami untuk berendam. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara memanggil kami berdua, “Kyan, Eko, aku datang”. Beberapa kali panggilan itu kami dengar, semakin lama, semakin terdengar cukup keras panggilannya. Kami mencoba mencari sumber suara, dibalik pohon Trembesi dia sembunyi, ternyata si Gio menepati janjinya! Dia menghampiri kami ke sungai dan kurang beruntungnya kami mulai merasakan dinginnya hawa pagi ini. Namun, untuk menghargai komitmen Gio, aku dan Eko menyingkirkan rasa dingin yang menyelimuti badan. Kami tak ingin mengecewakan Gio, meskipun ucapannya tadi masih segar terekam dikepala ku. “Sudah lama kalian menungguku” Gio membuka percakapan. “Baru 20 menitan, Boss” kompak kami menjawab. Pertemuan singkat ini menghasilkan kesepakatan, pertama, berangkat bersama ke masjid untuk sholat Ied. Kedua, selepas silaturahmi ke rumah saudara di sekitar kampung, kami bertiga berkumpul dirumah Eko. Ketiga, sore menjelang malam atau Ba’da Ashar, kami sepakat untuk silaturahmi ke seluruh warga desa, termasuk pemuka agama dan juga guru ngaji kami, Ustadz Sholeh.
Tak sampai sepuluh menit sejak Gio bergabung, kami mengakhiri “ritual” mandi di kali menjelang Subuh. Ritual tahunan yang selalu dinantikam warga kampung, termasuk kami bertiga. Tanpa ada nada protes dari Gio, mungkin saja dia juga merasakan kedinginan. Dengan bibir yang masih bergetar, satu per satu kami menapaki tangga, mentas dari sungai. Baju ganti yang sudah kami persiapkan dari rumah, masih tertata rapi di ranting Pohon Banten. Setelan baju yang kami beli bersama di Pasar Pahing, seminggu sebelum lebaran. Baju lebaran yang kami beli dari hasil menabung. Bagi kami, membeli pakaian dari hasil menabung itu lebih membanggakan daripada harus berpangku tangan dan menunggu “jatah” dari orang tua. Label merk serta ukuran juga masih menempel di baju dan celana, belum lagi ‘bau toko’ nya, wangi! Seperti kebanyakan remaja seusia kami, saling canda dan saling “cela” tentang pilihan warna dan model pakaian tak terhindarkan, meskipun belinya pun bersama. Berangkat pagi buta ke Pasar Pahing dengan mengayuh sepeda angin, berharap cuaca pagi itu bersahabat, namun rintik hujan mulai turun diseparuh perjalanan. Kami pun berteduh sejenak, menunggu dan berharap hujan segera redah. Gio yang sedari awal memang terlihat galau, punya inisiatif untuk putar balik alias balik kanan. “Eko, Kyan, apa gak sebaiknya kita balik pulang saja, cuaca sepertinya kurang mendukung” tanyanya. “Gio, ini sudah separuh perjalanan, tanggung lah, sebentar lagi juga sampai”, ujarku. “Bener Gio, sabar sebentar kenapa? Sebentar lagi hujan juga redah” Eko menjelaskan, sambil menengadah mengamati langit.
“Kita tunggu tiga puluh menit lagi, semoga hujan redah, kalau nggak ya kita balik pulang” tambah si Eko menjelaskan. “Aku khawatir jalanan juga becek dan licin, Ko” sanggah Gio. “Ya elah Gio, apa bedanya kita lanjut ke pasar dengan balik pulang, wong posisi kita juga setengah jalan” aku coba counter pertanyaan Gio. “Bener si Kyan, daripada kita balik dengan tangan hampa, kondisi jalan yang kita lewati juga akan sama, basah dan licin, kita lanjut aja ke Pasar Pahing” sahut si Eko meyakinkan Gio. “Sudahlah, jangan berdebat, kondisinya juga masih hujan, lebih baik kita tunggu hujan redah, kita berdo’a saja semoga perjalanan kita lancar, dan selamat sampai dirumah” tandas Eko. “Aamiin..” kami berdua kompak meng-amini do’a Eko. Diantara kami bertiga, Gio memang teman yang paling muda, sehingga cara berpikirnya pun terkadang masih kekanak-kanakan. Aku yang kadang emosi, terbawa “provokasi” si Gio, beruntungnya ada Eko, teman yang selalu menjadi penengah ketika Aku dan Gio sedang berbeda pendapat. Untuk mengalihkan perhatian kami menunggu hujan redah, aku iseng bertanya ke Eko dan Gio, tentang cita-cita mereka kelak. “Eko, Gio, apa cita-cita kalian selepas lulus SMA? Dari Eko dulu deh” ucapku. “Aku bercita-cita ingin menjadi anggota TNI, Yan, alternatifnya kuliah di pertanian, harapannya meneruskan usaha Bapak dan Ibuku yang seorang petani” jawab Eko. “Kalau kamu Gio” aku menambahkan. “Aku sih ingin meneruskan ke perguruan tinggi, aku bercita-cita menjadi sarjana computer” jawab Gio sambil cengengesan. “Kalau kamu Kyan?” mereka berdua balik tanya. “Kalau cita-citaku ingin menjadi ahli ekonomi, aku ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi, dengan program studi akuntansi manajemen, kelak gelarku setelah lulus, sarjana ekonomi!” ucapku penuh semangat. “Semoga cita-cita kita bisa tercapai ya, hujan dan sepeda angin ini yang akan menjadi saksi do’a kita hari ini” harapku. “Aamiin ya Allah…” mereka mengamini.
Sepeda angin yang selalu menemani kami pergi kemana pun, termasuk sekolah, mengaji, dan ke pasar. Hampir tiga puluh menit lamanya kami menunggu hujan redah, namun sepertinya waktu berlalu dengan cepat dengan obrolan ngalor ngidul dan sarapan di pos kamling pinggir jalan raya. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Pasar Pahing. Sambil menikmati hijau dedaunan tebu disepanjang jalan. Glagah yang tingginya menjulang, menjadi pertanda bahwa tak lama lagi musim panen raya tebu akan tiba. Jika sudah kecoklatan, glagah kami manfaatkan untuk bermain. Mainan sederhana yang cukup membuat hati kami bahagia. Glagah yang sudah tua dipotong sama panjang sekira 10 cm sebanyak 2 batang, kemudian siapkan senar 1 meter, ikat dengan tali mati pada salah satu ujungnya. Lilitkan senar tadi ke batang lainnya, kemudian lempar bagian glagah yang tak terikat, Glagah akan terbang! Kreatif dan unik. Baru jalan sekitar satu kilometeran, ban sepeda si Gio kempes. Posisi kami ditengah area kebun tebu, berharap ada tukang tambal ban disekitar. “Sini Gio, biar ku tuntun sepedamu, kamu naik sepeda ku saja” Eko berujar. Dasar Gio, tanpa basa-basi langsung menerima tawaran Eko. Aku yang menyaksikan situasi ini bener ngelus dada dengan kelakuan Gio, dia pun dengan enak mengayuh sepeda si Eko. “Dasar teman tak tau diri kamu Gio!!! harusnya kita kan sama-sama nuntun sepeda sambil mencari tukang tambal ban, kamu malah asyik naik sepeda!” sahutku penuh emosi. Nadaku bergetar habis-habisan menghardik si Gio. Entah kenapa, aku selalu tidak cocok dengan cara Gio menyikapi segala sesuatu. Hampir saja aku dan Gio adu jotos, namun lagi-lagi Eko yang melerai kami berdua. “Sudah cukup, kalian berdua!!! Kita ini teman, bukan musuh” ucapnya lantang, sambil menuding kami berdua. “Jangan menyikapi musibah dengan ego dan emosi, kita hanya perlu mencari tukang tambal ban, dan semuanya akan selesai” Eko mencoba memberi pengertian. “Maaf Ko, aku dan Gio tak dapat mengontrol emosi” ucapku. “Maaf ya Ko, jadi merepotkan kamu, aku tak sedikit pun mepunyai niat untuk bertengkar sama Kyan” Gio menambahkan. “Sudahlah, kita cari tukang tambal ban seputaran sini” Eko menjawab.
Lebih dari satu kilometer kami berjalan menyusuri jalan raya, namun tak menemukan satu pun tukang tambal ban yang buka. Bisa jadi mereka juga sedang libur, mengingat hari Minggu dan momen mendekati Idul Fitri. Kalau pun ada tulisan tambal ban, namun tak kami jumpai tukangnya, hanya ada kompressor nya saja. Eko mencoba mencari informasi ke warga sekitar tukang tambal ban, sementara aku dan Gio menunggu di sepeda. Benar-benar penuh perjuangan, hanya untuk membeli baju lebaran kami harus bersusah payah, menguras tenaga dan menguras emosi, apalagi kami sedang berpuasa. Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya kami diarahkan ke bengkel terdekat, sekitar 300 meter dari tempat kami berhenti. Benar saja bengkel dalam kondisi tutup, namun Eko yang sebelumnya mendapatkan info dari warga bergegas memencet tombol bel yang terpasang di sisi kiri bengkel. Tak lama berselang si empunya bengkel keluar, “Eh adik-adik ada apa? Ada yang bisa saya bantu” Bapak yang punya bengkel bertanya. “Ini Pak, ban sepeda saya yang belakang bocor, mau tambal ban Pak” Eko menjawab. “Sebentar saya siapkan peralatannya dulu ya” timpal si Bapak. Dengan cekatan bapak bengkel mulai membongkar ban belakang sepeda si Gio. Melihat cara kerja bapaknya cukup cekatan. Benar kata pepatah, serahkan segala sesuatu pada ahlinya dan lihatlah, hasilnya akan maksimal. Setelah dicek, ternyata ban sepeda Gio baik-baik saja, tidak bocor. Hanya saja, pada bagian pentil bannya yang bermasalah, akibat kurang angin pentil bannya rusak. Setelah diganti pentil, kondisi ban baik-baik saja. “Berapa Pak ongkosnya?” Eko bertanya. “Gak perlu bayar Le, simpan saja buat uang jajan. Kalian mau kemana pagi-pagi?” si Bapak penasaran bertanya. “Bener Pak, kami tak perlu bayar? Terimakasih ya Pak, semoga rejeki bapak dan keluarga dilancarkan, aamiin. Kami mau ke Pasar Pahing Pak”, Eko menambahkan. “Pasti mau beli baju lebaran ya?” tanya bapak sambil tersenyum sembari mengemas peralatannya ke tool box. “Engge, Pak” kami kompak menjawab dan disambut tawa lebar oleh si Bapak. “Hati-hati ya Le, menjelang Idul Fitri biasanya pasarnya rame, banyak copet, harus waspada, saling jaga satu sama lain” Bapak menasihati kami. “Baik Pak, terimakasih wejangannya, terimakasih kebaikannya, kami lanjutkan perjalanan dulu ya Pak, Assalamu’alaikum..” Eko menutup pembicaraan sekaligus berpamitan.
Setelah tiga puluh menit, kami akhirnya sampai di Pasar Pahing. Pasar besar yang berada di Kecamatan Sumberrejo ini merupakan pasar induk yang cukup lengkap. Tak hanya menjual sayur mayur, buah dan kebutuhan dapur lainnya, namun ada juga toko pakaian. Benar saja, Pasar Pahing sangat ramai dan penuh sesak. Antusiasme warga menyambut lebaran benar-benar tak terbendung. Kami bertiga menuju parkir sepeda. “Kyan dan Gio, kalian jalan duluan di depanku ya” Eko memberikan perintah. Melihat kondisi pasar yang kurang kondusif, membuat kami harus ekstra waspada dengan keberadaan tangan-tangan jahil yang mungkin saja mengintai kami untuk dijadikan korban. Namun kami sedikit tenang dengan keberadaan Eko, teman yang bisa diandalkan setiap waktu. Aku yang berada di depan, nyelonong saja langsung masuk ke pasar. Menuju Toko Sandang Djaya, toko pakaian yang menjadi langganan kami. Tempatnya cukup mudah diingat membuat kami enggan berpaling ke yang lain. Persis dibawah anak tangga menuju lantai dua. Bahan pakaian dan modelnya juga up to date. Pemiliknya ramah dan murah senyum. Tak perlu waktu lama, pakaian yang kami suka sudah ditangan. Sepintas pilihan warna dan model pakaian kami bertiga berbeda-beda. Eko, si Bongsor itu memilih baju motif doreng, mirip seragam kebesaran TNI, dominan hijau, dengan model celana army, yang khas dengan banyak saku disamping kanan, kiri dan belakang. Di depan saja total ada empat kantong saku, dan dibelakang ada dua. "Lumayan ya Ko, muat banyak untuk angpao lebaran" celotehku. "Tenang aja Kyan, kamu bisa nitip aku nanti" jawab Eko sambil tersenyum. Sedangkan si Gio, memilih kaos oblong dengan warna yang hitam gelap. Simple, sesuai watak dan perilakunya. Suka meremehkan hal-hal kecil, termasuk janjinya akan mengajakku mancing yang tak kunjung kesampaian hingga kini. Aku sendiri memilih warna baju yang cerah, berwarna-warni, sesuai karakter ku yang open minded dan periang.
Sahabat tak pernah datang lambat, karena ada disetiap saat.
Perjuangan kami bertiga untuk mendapatkan setelan baju akan terekam sempurna untuk cerita kelak. Cerita kepada anak cucu yang mungkin akan beda kisah dan jamannya. Setiap jaman akan ada goresan tinta dan jalan cerita yang unik. Ibarat buku, beda halaman akan beda tema.
Jama'ah sholat Iedul Fitri membeludak, namun situasi ini sudah diantisipasi ta'mir Masjid Al-Ikhlas. Tenda ekstra terbentang luas di depan halaman masjid. Cukup sederhana, terpal seluas seratusan meter persegi diikat di ujung-ujung bambu dan ditambatkan pada Pohon Jati yang ada di sekeliling masjid. Tenda terpal untuk mengantisipasi jika hujan setiap saat turun. Tempatnya teduh, apalagi pelaksanaan Sholat Id jam enam pagi. Dijamin akan lelap tertidur dengan hawa saat itu.
Mata kami sangat berat ketika Khotib menyampaikan khutbah. Sampai-sampai tak terasa kepala si Gio sudah dilantai masjid. Tak tahan menahan kantuk, aku mencoba mengalihkan perhatian. Kukerjai saja si Gio! Perlahan sajadah kutarik tanpa sedikitpun Gio terusik. Tampak tidurnya sangat pulas. Songkok hitam nya ku lepas sejurus kemudian ku tutup kepala dan badan Gio diposisi membungkuk. Kopiah hitamnya ku letakkan di depannya dengan posisi terbalik (mirip mangkok). Ku isi dengan uang receh pecahan lima ratusan. Sambil senyum-senyum aku melihatnya, tetiba Eko menepuk bahuku, "Masa kamu tega kelak punya teman seperti itu?" tanya Eko. "Lebih baik fokus ke isi khutbah Kyan", sambungnya. Sambil berbisik, aku menjelaskan, "Mataku sudah tak kuat lagi Ko, ngantuk berat". "Coba kamu ambil wudhu lagi", sahut Eko.
Aku pun meng-iya-kan saran Eko, namun tak ambil pusing, Gio yang pulas tertidur langsung saja ku seret ke tempat wudhu. "Ayo kita ambil wudhu lagi, Gio" ucapku sambil berbisik. Baru juga beberapa langkah, ternyata khutbah pagi itu buru-buru diakhiri. Dengan langkah seribu kami berdua balik kanan wae. Sambil menahan malu, kami berdua kembali ke tempat semula untuk berkemas sajadah.
Berhamburan jama'ah sholat Id pagi itu. Hujan turun cukup lebat, sesaat setelah khutbah berakhir. Kami bertiga pun lari tunggang langgang ke rumah masing-masing. Tampaknya rencana kami akan berubah melihat situasi hari itu. Mendung yang menggelayut sepekan terakhir akhirnya berubah menjadi rintik air di hari H Idul Fitri. Tanpa mengurangi rasa khidmat perayaan Idul Fitri, aku bersama keluarga asyik menyantap masakan Emak pagi tadi. Ada rendang, tahu tempe bumbu balado, perkedel, sambel goreng kentang, mie goreng, serundeng dan nasi kuning! Puas dengan masakan Emak, aku sekeluarga melanjutkan prosesi sakral, sungkeman. Tradisi turun-temurun di keluargaku. Sungkeman merupakan suatu adat untuk saling memaafkan sekaligus mendengarkan wejangan/ nasihat dan doa orang tua.
Hingga usiaku hampir menginjak tujuh belas tahun, setiap kali acara sungkem, saat itu pula air mata ini deras mengalir tanpa dikomando. Aku pun masih bertanya-tanya hingga kini, mengapa ini bisa terjadi? Seolah raga ini tak bisa mengelak, bahwa banyak salah dan khilaf ku kepada kedua orang tua. Linangan air mata yang menetes di pipiku, menyangkal takdir bahwa anak laki-laki lebih kuat dari perempuan. Tak bisa dijelaskan, tak bisa diungkapkan, tapi itulah fakta ketika sungkeman!
Seusai acara sungkeman, aku dan keluarga anjangsana ke kerabat dan tetangga, tentu saja berbekal payung, karena hujan tak kunjung redah. Kabut masih saja meliputi desa. Sesekali kulihat kilatan petir menjalar ditengah rimbunnya pepohonan. Aliran sungai sangat deras dan airnya coklat pekat, mirip kopi susu. Melihat situasi ini, Bapak memutuskan untuk kembali ke rumah. Acara anjangsana pun ditunda.
Aku masih berharap hujan segera redah, agar rencana kami bertiga bisa terealisasi. Tak terasa marning jagung yang disuguhkan untuk tamu, ludes dipangkuan ku. Waktu berjalan begitu cepat, seiring dengan rencanaku yang berantakan. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, masuk waktu sholat Dhuhur. Bergegas aku mengambil wudhu dan sholat. Seraya berdoa, semoga hujan segera berhenti.
"Le, ayo bangun Le, pindah ke kamar yuk, sudah jam sepuluh malam", lirih kudengar suara Emak. Antara mimpi atau emang beneran, sontak aku terkejut. Lampu tempat sholat cukup redup, tak jelas yang kulihat. Namun suara kodok dan jangkrik bersahutan di belakang rumah. Cahaya rembulan malu-malu menembus malam. Benar saja aku tidak sedang mimpi, Emak yang membangunkanku. Hibernasi aku hari ini, tidur hampir dua belas jam lamanya. Kesurupan istilah nya. Bangun-bangun mirip orang linglung, ini pagi atau malam ya? Tak jelas. Rupanya tubuhku meminta jatahnya untuk istirahat, setelah ku forsir hampir semingguan! Saking antusias dan heroiknya menyambut hari nan fitri, tak merasakan sedikit pun kelelahan. Berlebihan, begitu gumamku!
Tak banyak yang bisa ku perbuat hari itu, tapi yang jelas ini pelajaran berharga bagiku, tak perlu berlebihan untuk menyikapi sesuatu, biasa wae! (bersambung) 😀
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz