Bukan Catatan Si Boy!!!

Sudah lebih dari dua tahun merasakan hidup di Ibukota Jakarta. Hal yang tak pernah aku impikan dan inginkan. Ah, Jakarta terlalu kompleks permasalahannya. Tapi yang aku tahu, Jakarta selalu terdepan dalam setiap kejadian atau momen nasional.

Jakarta terlalu rumit untuk sekedar diceritakan. Entah itu cerita yang indah, hingga kisah pilu selalu ada di Kota Metropolitan ini. Namun, satu hal yang harus selalu diingat, selalu bersyukur setiap saat!

Apa yang ada dalam benakmu ketika ngomongin Jakarta? 
1. Padat Penduduk
2. Macet
3. Multi kultural
4. Kota paling maju di Indonesia
5. Ibukota negara
6. Daerah Khusus Ibukota
7. Banyak artis
8. Banyak pejabat
9. Idaman pencari kerja
10. Gaji tertinggi di Indonesia
11. Angka kriminalitas tinggi
12. Tumpuan cita-cita
13. Tempat orang pintar
14. Kota modern
15. Banyak orang kaya
16. Gedung tinggi nan megah
17. Dan lain lain

Kurang lebih akan seperti di atas. Ya, memang tak salah, Jakarta masih menjadi pilihan utama pencari kerja. Bukan rahasia umum, kota yang dulunya bernama Batavia ini bisa dibilang pusat keuangan atau bahasa kerennya capital town. 

Pesatnya perkembangan Jakarta membuat kaum urban kepincut untuk berkarya di kota terpadat di Indonesia ini. Menggantungkan cita-cita setinggi langit di sini, namun tetap harus realistis dan penuh perhitungan.

Sejauh ini, Jakarta telah bermetamorfosis menjadi kota yang ramah bagi siapapun. Tag line terbarunya adalah Jakarta Kota Kolaborasi. Dari jargon nya saja sudah ketahuan maksud dan tujuannya.

Sebagai Kota Multikultural, tantangan yang dihadapi Jakarta memang tidak mudah. Penduduknya dari berbagai macam ras, membuat akulturasi yang nyata di sini. Gesekan dan konflik rentan terjadi, namun kesamaan tujuan mendapatkan penghidupan yang layak, membuat Jakarta adem ayem.

Kalau pun ada tawuran, itu hanya ulah orang iseng semata. Bentrok antar warga selalu bisa di redam oleh aparat. Dan bisa dibilang ya kawasan itu-itu saja yang bentrok, tak meluas dan memanas merembet ke wilayah lainnya.

Jakarta pernah darurat, itupun gegara reformasi. Bukan karena konflik ras atau agama. Tahun 1998 tepatnya. Negeri ini digoyang demonstrasi besar-besaran, tak hanya di Ibukota, namun merata di seluruh pelosok negeri, menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya.

Aku masih berseragam putih merah waktu itu. Tak mengerti hal ihwal yang sedang terjadi. Yang aku tahu, bapak ibu ku hampir setiap sore menghabiskan waktu untuk nonton televisi, memantau perkembangan keadaan bangsa ini. Tahun itu menjadi tahun tersulit pasca merdeka. 

Masih ingat betul hingga saat ini, kala itu hanya ada tiga partai politik peserta pemilihan umum, Golkar, PDI dan PPP. Tak seramai saat ini. Bahkan ketika memasuki masa pemilu, hal yang kutunggu adalah kampanye. Tak tau warna, tapi suka aja dengan keriuhan yang ada.

Berbagai atribut dibawa, tak lupa "memuja-muja" penguasa. Golkar saat itu sangat kuat, tak tertandingi. Sebagai partai penguasa, mereka selalu unggul dalam setiap gelaran pemilu. Tiga puluh dua tahun lamanya, tampuk kekuasaan dipegang partai yang sama, Golongan Karya. 

Ibarat makanan, mungkin kita mulai bosan dengan menu yang itu-itu saja. Puncaknya, ketika negeri ini sedang collapse diambang kebangkrutan (katanya), tokoh nasional mulai bergerak. Diawali dari BBM yang tiba-tiba langka dan harganya melambung, diakibatkan kurs mata uang asing yang awalnya stabil, bergerak liar dan terus merangkak naik tak terkontrol. Guncangan ekonomi ini tak hanya di Indonesia, namun di negara Asia lainnya.

Imbasnya, berbagai harga bahan pokok melambung tinggi. Namun acara khitanan dan hajatan lainnya tetap berjalan, aneh kan?

Reformasi memang harus dibayar mahal. Banyak korban jiwa bertumbangan. Dari mahasiswa hingga rakyat jelata yang tak berdosa. Bahkan hingga saat ini, duka itu belum usai. Tercatat belasan mahasiswa hilang tanpa diketahui nasibnya.

Belum hilang dari ingatan, hampir seluruh toko di pinggir jalan tutup. "Milik pribumi", "pro Demokrasi" salah satu yang tertulis di pintu harmonikanya. Penjarahan toko saat itu membabi buta, namun tidak demikian di daerah. Terparah, ada di Jakarta.

Bahkan dari salah satu pelaku sejarah, beliau bercerita bagaimana kondisi Jakarta saat itu? Mencekam dan tragis! Hampir seluruh toko dijarah. Chaos, begitu katanya. 
Tak jelas mana lawan, mana kawan. Waktu itu ada yang namanya laskar berani mati. Senjatanya tombak dan wara-wiri di jalanan Ibukota.

Beliau bercerita, bagaimana kawasan Blok M saat itu dijaga siaga satu. Salah satu kawasan yang tidak bisa ditembus oleh perusuh, katanya. Kawasan blok M tak hanya berisi mall dan toko, namun rumah pejabat negara ada di sana. Berbagai kendaraan tempur dan "sniper" konon ada di kawasan itu. 

Bahkan salah satu kawan yang kini berprofesi sebagai penjahit, mereka sempat turun jalan ikut berdemo bersama mahasiswa. Berbekal "almamater" abal-abal, beliau nekat berangkat bersama rekan kerjanya. Yang penting warnanya sama!😬 Mereka bercerita pernah ikut demo di Kampus Trisakti, kampus yang akan terus abadi nama dan kisahnya di negeri ini. Semoga korban meninggal dalam Tragedi Trisakti ini diterima amal baiknya, aamiin..

Tak tahu apa yang dituntut, yang penting ikut "memeriahkan" katanya. Kisah kocaknya bermula ketika polisi mulai masuk kampus dan melakukan sweeping di kampus. Bapak yang kini memiliki dua anak ini sempat lari tunggang langgang menaiki pagar untuk bisa keluar dari kampus Trisakti. 

Tubuhnya yang mungil itu sempat "nyangkut" di pagar kampus 🤣, beruntung rekan kerjanya dibantu mahasiswa mengevakuasi si Bapak. Dan si Bapak berhasil lolos. Dari kisah ini dapat diambil hikmahnya, jangan coba ikutan deh kalau tidak tahu duduk masalahnya 🤣

Ada fakta yang menarik dari Jakarta dari kuliner hingga budayanya

1. Makanan "khas" Jakarta
Nasi uduk nasi ulam
minumannya wedang jahe
hai kamu yang lagi duduk di dalam
sini keluar kita main gaple!

Ada yang gak tau nasi uduk? Atau jangan-jangan hanya beda nama saja?😀
Nasi uduk atau nasi gurih adalah satu diantara sekian makanan khas Betawi. Di Jakarta, sebagai basis orang Betawi, sangat mudah ditemui menu yang satu ini. Bahkan yang tulisannya pecel ayam Lamongan pun, nyediakan nasi uduk! Kebhinekaan yang sangat luar biasa.

Biasanya nasi uduk ini disandingkan dengan lauk semur, isinya telur ayam bulat, tahu dan tempe. Sebagai pelengkap bisa ditambahkan rendang jengkol! Mantabs kan?😀 Kurang kenyang, tenang jangan khawatir, Anda bisa nambah bihun goreng kok 😅

Kuliner berikutnya yang layak di cicipi adalah karedok dan ketoprak. Dua makanan ini mirip rujak atau gado-gado kalau di Surabaya, bedanya, keduanya tak ada campuran petisnya. Karedok berisi sayuran mentah diantaranya mentimun, kacang panjang, tauge, terong, daun kemangi, dan biasa ditambahkan tahu atau tempe. Karena sayurnya mentah, kreeesssss begitu kira-kira bunyinya ketika dikunyah 😅

Ketoprak, apa yang terlintas pertama kali dipikiran Anda? Grup Banyolan? Salah! Ketoprak di Jakarta adalah menu "andalan" ketika kelaparan. Tak ada nasi, tapi bikin kenyang 😅 tau kenapa? Karena ada lontongnya!😀
Ketoprak berisi lontong, bihun, tahu dan tauge, tapi ada juga yang ekstra pakai telur dadar! Siraman bumbu kacangnya yang penuh rempah, maknyus rasanya!

Berikutnya ada Soto Betawi. Soto betawi ini umumnya menggunakan kuah santan. Pilihan lauknya berisi daging sapi, lidah, dan tulang lunak. Sangat cocok dinikmati ketika hawa dingin, karena kuahnya begitu menggoda. Untuk menambah cita rasa, ditambahkan perasan jeruk nipis dan acar! Ngiler bukan? Atau jangan-jangan perut mulai keroncongan? 😅

Berikutnya ada bubur ayam! Siapa yang belum tau bubur ayam? Coba ke Jakarta! Bubur ayam sangat mudah dijumpai di sini, tak kenal waktu pula, 24 jam!😅 Sajiannya mungkin tak beda dengan di daerah, yang membedakan hanya toping dan "lauk" nya saja. Bubur ayam biasanya dipadukan dengan lauk tambahan, ada sate usus, ati ampela, ada juga telur ayam rebus. Mirip dengan soto yang identik dengan "Lamongan", bubur ayam di sini yang cukup di kenal adalah "Bubur Ayam Kuningan" atau "Bubur Ayam Cirebon", bukan Citayam lho ya!😅

.......

bersambung









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?