Cerita dari Jakarta

Mendung masih menggelayut di atas langit Jakarta, sepertinya hujan segera turun, namun angin juga bertiup lumayan kencang. Sesaat cerah, namun tak lama berubah, tiba-tiba gelap. Jalanan tak seramai weekday, lengang. Menurut ramalan cuaca, beberapa wilayah di Indonesia, diperkirakan akan mengalami cuaca ekstrem, termasuk Jakarta.

Sembari menunggu putraku sekolah, iseng saja merangkai kata, bercerita tentang Jakarta yang wah! Menjadi Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta bertransformasi cukup cepat. Lebih cepat dibanding kota-kota lainnya. Hal yang tak bisa dihindari adalah percampuran suku, adat dan budaya serta agama, akulturasi istilahnya.

Tak mengenal satu sama lain, cuek dan nafsi-nafsi, tapi itu hal lumrah di Jakarta. Namun, ada sedikit kisah yang mungkin luput dari cerita. Pertama kali menginjakkan kaki di sini, adalah pengalaman baru. Apalagi menetap dalam jangka waktu yang tak tahu, entah kapan ending-nya. 

Berusaha beradaptasi dengan lingkungan itu penting. Menyesuaikan diri adalah bekal untuk eksis, di manapun berada. Di sini, waktu terasa berjalan sangat cepat. Jalanan setiap hari padat, lalu lalang kendaraan hampir 24 jam. Di jam sibuk, klakson kendaraan bersahutan, berebut jalan. 

Sementara putraku sedang asyik bermain puzzle bersama gurunya..

Setidaknya masih banyak orang baik di sini. Mengingatkan standar motor yang belum pada tempatnya, ternyata tak secuek itu Orang Jakarta. Peduli pada sesama pengendara, meskipun kadang memicu amarah, intinya selow saja menghadapinya. 

Pernah ku jumpai ketika sedang marung Soto Lamongan. Pagi, sebelum matahari bersinar terang. Beli untuk sarapan. Tiba-tiba ada pengunjung yang sadar, bahwa kaleng kerupuk belum tertutup sempurna, entah pembeli sebelumnya siapa gerangan, segera si Bapak tadi menutupnya dengan rapat. Sementara yang punya warung masih menyiapkan bungkusan untuk ku. 

Lagi-lagi, ternyata masih ada yang peduli dengan hal kecil seperti itu. 

Menggunakan moda transportasi publik di Jakarta cukup mudah. Banyak macamnya, bahkan menjangkau jalan-jalan sempit. Pembayarannya non tunai, pakai e-money atau JakCard. Dari minitrans, hingga kereta, semua ada. Tepa selira juga masih terjaga di sini. Terbukti, ketika menjajal transportasi publik, MRT, dan ini pengalamanku sendiri. Kereta canggih yang separuh rutenya di bawah tanah ini tak pernah sepi peminat, apalagi akhir pekan, selalu penuh dan lumayan berjubel.  

Berangkat dari Stasiun Bundaran HI, kursi kosong tak tersedia, mau tidak mau ya harus berdiri. Dari pada menunggu lama, aku dan nyonya nekad saja, naik di kereta keberangkatan saat itu juga. Konsekuensinya ya berdiri bersama dua anakku yang masih balita. 

Dan tiba-tiba dua orang remaja menawari kami tempat duduknya. Satu bersebelahan dengan ibunya, dan yang satu duduk berjejer dengan teman wanitanya. Syukurlah masih ada orang yang pengertian. Semoga kebaikan mereka dibalas dengan kebaikan pula..aamiin..

Semakin optimis bahwa Indonesia akan berkembang dengan baik. Melangkah setapak demi setapak untuk masa depan yang cerah..aamiin

Jari jemari Anak Lanang, lincah bergoyang, sepertinya sedang mewarna. 

Sudah ah, anak lanang telah keluar dari kelasnya. Kisah yang menginspirasi kebaikan harus terus disampaikan. Lakukan dari hal kecil dan istiqomah, lalu tunggu hasilnya. Bismillah bisa!

Baca juga: HBKB tak bikin bete

#CERITAKITA #CERITAJAKARTA #CERITANYATA #CERITAISTIMEWA #JAKARTA #INDONESIA #WONDERFUL #CERITA #KISAHJAKARTA 

Foto:Bundaran HI








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?