Hewan Liar Di Ibukota

Mencari ide menulis itu gampang-gampang susah, karena itu begitu dapet ide, langsung aja ditulis, jangan tunggu ma nit gi! Malah mirip judul lagu nanti, "lima menit lagi"  😂

Jakarta baru diguyur hujan lagi, setelah seminggu lebih cuaca di ibukota ini cenderung panas dan gerah. Pagi tadi, sempat gerimis, tapi tak lama kemudian matahari menunjukkan sinarnya yang terang. Siap-siap kipas dan AC on sepanjang hari.

Ternyata dugaan ku salah, selepas Dhuhur, mendung tiba-tiba saja datang, tak lama berselang, hujan pun menghujam! Bresssss...deras, ditambah angin dan petir bersahutan. Seketika hawa sejuk menyapa! Alhamdulillah..

Guys..Hal apa yang pertama kali terlintas ketika mendengar Kota Jakarta? Gedung tinggi, Macet, Monas, Metropolitan, Crowded dsb. Semuanya betul, tapi pernah terbayang gak, kalau di ibukota ini, terutama di Jaksel, masih mudah dijumpai hewan-hewan liar, dari yang lucu dan imut, hingga mengerikan?!?!?!

Berikut deretan hewan yang pernah saya jumpai ketika sedang melintas di jalan raya seputar Jaksel:

1. Musang atau garangan

Hewan satu ini merupakan jenis hewan pemakan segala alias omnivora. Biji-bijian hingga hewan kecil menjadi makanan utama bagi musang. Tak heran jika musang bisa eksis dilingkungan apapun termasuk di perkotaan. Termasuk dalam sub ordo Feliformia, tergolong ke famili Viverridae. 

Siapa sangka, malam itu sepulang dari kantor, tanpa sengaja "bertemu" langsung dengan hewan unik ini. Sekira jam sepuluh malam, di daerah lapangan bola, dekat RSUD Kebayoran Lama. Jalan tersebut memang bukan jalanan utama, namun menjadi favorit bagi pengendara motor untuk "potong kompas". Kondisi malam itu lengang, dan baru saja diguyur hujan.

Dari kejauhan, saya berpikir bahwa itu adalah seekor kucing, namun semakin mendekat, tampak ukurannya lebih besar jika dibandingkan kucing liar. Persis ada di pojok pertigaan jalan, di bawah penerangan PJU yang sinarnya kekuningan.

Semakin dekat dengan objek, semakin serius juga saya untuk fokus memperhatikan benda apa yang ada di depan saya. Motor sengaja saya laju perlahan, agar tak mengusiknya. Dan sungguh diluar dugaan, ternyata itu seekor musang! Sempat beberapa detik tertegun melihat pemandangan yang lama tak saya jumpai, apalagi di kota sekelas Jakarta!

Entah dari jenis musang apa, yang jelas ada sedikit bulu berwarna putih yang melingkar di lehernya. Sayangnya, momen ini tak sempat terekam kamera, karena si musang tadi kabur dengan santainya dan kembali masuk ke gorong-gorong.

2. Tupai 

Tupai merupakan hewan mamalia kecil yang tergolong ke dalam famili Sciuridae. Tak beda dengan musang, tupai termasuk hewan omnivora atau pemakan segala. 

Mereka biasanya memakan biji-bijian, buah-buahan, serangga, telur, dan bahkan hewan kecil-kecil seperti burung atau tikus. Beberapa jenis tupai juga dikenal sebagai pengumpul makanan yang cekatan, dan mereka akan menyimpan makanan di tempat-tempat tersembunyi untuk dimakan di kemudian hari.

Tak ayal, mereka mampu beradaptasi di lingkungan padat sekalipun, syaratnya masih ada pepohonan! Tupai umumnya hidup di pepohonan dan merupakan hewan yang lincah dan gesit dalam bergerak di antara cabang-cabang pohon. 

Mereka memiliki cakar yang kuat dan ekor yang dapat digunakan sebagai alat keseimbangan saat melompat atau bergerak di atas pohon. Tupai juga memiliki gigi taring tajam yang digunakan untuk membuka kulit buah atau bijian yang keras.

Beberapa kali saya menjumpai tupai ini sedang asyik menyeberang dari satu pohon ke pohon lainnya melalui kabel yang melintang diantara pepohonan. Pantas saja mereka berani menyeberang melalui kabel kecil sekalipun, ternyata keseimbangan mereka terbantu oleh ekor panjangnya yang menggemaskan itu!

Beberapa tempat "penampakan" tupai di Jaksel diantaranya di perempatan Fatmawati, Raya Antasari, dan di Jalan Melawai, Kebayoran Baru. Dan semuanya terlihat ketika mereka sedang menyeberang melalui kabel yang berseliweran. Se-amazing itu pemandangan di Ibukota!

3. Burung Tekukur

Burung tekukur, atau nama ilmiahnya Spilopelia chinensis, adalah sejenis burung merpati dengan ukuran lebih kecil yang memiliki paruh, ekor agak panjang, dan bereproduksi dengan cara ovipar atau bertelur. 

Secara fisik, tekukur memiliki tubuh berukuran sedang, sekira 30 cm, dengan warna bulu cokelat kemerahan. Bulu ekor terluar memiliki tepi putih tebal, dan terdapat bercak-bercak hitam putih khas pada leher, mirip kalung. 

Tekukur sangat mudah ditemui di sini. Hampir di semua taman yang pernah saya kunjungi, disitu pula tekukur ada. Bahkan tergolong "berani" karena memakan sisa makanan kami. Jika beruntung, kami bisa dengan leluasa memberikan makanan untuk mereka, tanpa perlu mereka takut dan kabuuuurrrr...

4. Biawak

Biawak adalah hewan sejenis kadal yang termasuk dalam kelompok Varanus. Biawak atau istilah Jawa-nya nyambik merupakan  karnivora yang memangsa hewan lebih kecil seperti tikus, ayam, ikan,kodok, burung dll. Umumnya hewan ini hidup di area perairan dan berbatu. 

Kemampuan mereka dalam berenang dan memanjat, membuat biawak ini menjadi hewan pemburu yang handal! Kecepatan dan kegesitan hewan ini cukup menyulitkan predator untuk memangsanya, tak pelak populasi biawak ini cukup terjaga meskipun status dalam ancaman. 

Perburuan manusia terhadap nyambik ini bukan isapan jempol. Kepercayaan di masyarakat, daging nyambik ini memiliki khasiat untuk kebugaran dan vitalitas. Minyak nyambik juga disinyalir menjadi obat yang ampuh untuk menyembuhkan penyakit kulit! Sayangnya, tak ada jurnal kesehatan yang pernah merilis manfaat daging biawak ini.

Adaptasi terhadap lingkungan juga cukup baik, terbukti mereka tetap eksis di perkotaan! Beberapa kali mendapati si Bayawak sedang berjemur di antara bebatuan sungai di Jaksel. 

Fakta yang mungkin belum kalian tahu adalah sebutan biawak ini pernah disematkan untuk salah satu negara di Asia Tenggara loh! Coba tebak, ya, benar Kamboja! Kamboja sempat dijuluki biawak, bukan tanpa alasan, Ibukota Kamboja, Phnom Penh, dulu merupakan "Mutiara Asia" karena menjadi pusat ekonomi, komersial, kebudayaan, dan wisata negara Kamboja!

Hidup ideal adalah hidup yang saling berdampingan dan selaras dengan alam. Jika alam bekerja menurut kehendak-Nya, kita pun sama, bekerja dan dan beribadah sesuai aturan-Nya.

Jika ada timun yang pahit, buang saja, tak perlu ngedumel gak jelas, karena pada dasarnya setiap kejadian itu "netral", dan otaklah yang mempersepsikan (STOA Theory on Folosofi Teras by Henry Manampiring).

Credit image by Nuzree via PixBay






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?