Nyaleg itu Capek!

Semakin semaraknya banner, poster atau pamflet di tempat-tempat "strategis" Ibukota, membuat ingatan ini flashback dua puluh tahun yang lalu. Betapa tidak, banner berjajar dan berjejal satu sama lain, hampir di setiap persimpangan jalan. Entah di pertigaan, perempatan atau bundaran, foto caleg DPRD dan DPR-RI (ditambah Capres dan Cawapres tentunya) sangat "estetik". Fenomena ini lumrah setiap lima tahun sekali.

Kondisi ini membuat pemandangan di setiap sudut kota menjadi lebih "berwarna". Bahkan yang baru, adalah pemasangan atribut kampanye model bendera. Bentuknya segitiga, dengan bagian runcing dibawah, direnteng di tali hingga tiga sampai lima buah. Secara ukuran, mirip bendera Agustusan. Bisa dibayangkan kan?

Ya, kampanye saat ini jauh lebih tertib (red: tak ugal-ugalan di jalan), tapi tidak untuk vandalisme-nya. Poster ditempel di tembok dan tiang listrik/ telpon tak jarang dibiarkan begitu saja, tanpa ada usaha untuk mencopot atau membersihkannya seperti sediakala. Alhasil, "noda" kampanye ini akan "abadi". Belum lagi, pepohonan yang tak bersalah tak luput dari paku-paku gambar Caleg. Kalau sudah seperti ini, apakah ada pihak berkepentingan yang "menegur" calon anggota legislatif? Atau minimal mengatur tata tertib alat peraga kampanye.

Pemasangan atribut kampanye dua dekade yang lalu, tak jauh beda dengan cara saat ini. Masih mengandalkan poster dan banner. Segar diingatan bagaimana kami berjibaku dengan waktu, untuk memasang banner dan poster secara "gerilya".

Tahun 2004 tepatnya. Salah satu saudara dekat ku memutuskan untuk maju menjadi Caleg Kabupaten/ Kota di Jawa Timur. Beliau maju dari Parpol yang terhitung baru, partai buruh. Background beliau memang sudah tak diragukan di organisasi ketenagakerjaan. Pernah mengisi pos penting, hingga pernah diundang NGO (Non Governmental Organization) di Belanda! 

Bahkan di tingkat Kabupaten namanya sempat berkibar. Hampir seluruh pengurus federasi serikat pekerja, mengenal beliau. Pengalaman "buruk" yang pernah terjadi adalah rumah pribadi kerabat ku di demo oleh salah satu karyawan pabrik padat karya penghasil sepatu. Jumlahnya bukan puluhan, tapi ratusan! 

Namun karena mental dan leadership nya mumpuni, beliau tak gentar menghadapi masalah itu. Sempat terjadi diskusi alot, namun berujung damai dan tak ada yang dirugikan. Jam terbang memang berpengaruh terhadap kemampuan dan kematangan seseorang.

Bisa dibilang, saya adalah bagian dari "tim sukses", namun dibidang "publikasi" alias membantu memasang Alat Peraga Kampanye (APK). Tak jauh beda, tempat-tempat "strategis" menjadi incaran kami, yang terpenting jangan "menyenggol" atribut Caleg lainnya yang lebih dulu "nampang" di situ. Itulah etika yang harus dijaga. Bersaing boleh, tapi jangan bertarung!

Kala itu, musim hujan. Lepas sholat Isya, sekira jam delapan, kami bersiap memasang banner serta poster yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah mendapat sedikit "briefing", kami pun bergegas untuk berangkat. Cuaca di luar berkabut, sampai-sampai ketika berbicara, ada asap yang keluar dari mulut, padahal kami tidak merokok. Bisa terbayang dinginnya kan? Jaket pun tak lepas dari tubuh yang mulai kedinginan ini.

Namun, kondisi ini justru membuat tim rea-reo menjadi semangat, karena banyak diantara warga yang memilih untuk tidur dari pada keluyuran di luar rumah. "Operasi senyap", begitulah istilah yang tepat. Team terdiri dari kurang lebih sepuluh orang, dan mayoritas keluarga sendiri. Kalau pun ada satu atau dua orang tetangga dan teman.

Kendaraan tempur kami, Suzuki Carry tahun 90-an serta tiga motor butut. Mobil yang biasa digunakan untuk usaha dagang, kini berubah menjadi kendaraan "perang", lengkap dengan poster ditempel mengelilingi bak-nya. Kawat, paku, tang, linggis, gergaji dan palu juga telah siap sedia, tak luput APK-nya.

Pengisi perut pun ada. Gorengan dan kopi menemani perjalanan kami kala itu. Perbekalan memang penting untuk menunjang kelincahan dan kecepatan dalam bekerja. Apalagi cuaca juga sedikit kurang bersahabat. Terlambat makan, bisa masuk angin!

Saat itu, sasaran kami adalah delapan dusun dalam satu desa. Kenapa? Ya, minimal memperkenalkan kerabat ku ke tetangga "kanan-kiri". Dari perhitungan, total penduduk satu desa kami, kala itu, estimasi jumlah pemilih aktif dalam satu desa sekitar lima ribu suara! Artinya dengan suara yang cukup besar itu, menjadi potensi pendulang suara terbanyak dari satu desa saja. 

Kalau tidak salah, dari Dapil kerabat ku, dibutuhkan minimal sepuluh ribu suara untuk bisa melenggang menjadi anggota legislatif! Jadi, hanya diperlukan setengah suara lagi dari luar (dengan asumsi satu desa dapat suaranya secara penuh). Hitung-hitungan saat itu. Ya, namanya berusaha, tetap harus jeli hitung-hitungan.

Dari satu dusun ke dusun lainnya kami terus menyusur. Benar saja, tak banyak warga yang berseliweran atau kongkow malam itu. Kalau pun ada, ya mereka yang sedang ngeronda. Tak lupa kami permisi dan kulo nuwun ke perangkat desa/ dusun. Tak jarang kami mengobrol dengan warga yang sedang melintas atau memang sengaja menghampiri kami yang sedang "sibuk" memasang APK. Sembari menampung aspirasi.

Ada yang sewot, tak jarang pula ramah. Setiap kondisi, kami harus menyikapinya dengan kalem, tak boleh emosi dan panas hati. Persaingan dalam pesta demokrasi untuk mendapat suara terbanyak memang tak mudah. Bahkan, sosialisasi dengan APK saja tak cukup. Harus ada langkah nyata yang mendukung. Perbaikan jalan, rumah ibadah, fasilitas umum dsb. menjadi "tuntutan" warga yang lumrah untuk memberikan suaranya! Kalau tidak seperti itu, ya hanya "sedekah" suara.

Begitu kira-kira informasi yang kami dapat selama memasang APK. Masukan itu kami tampung dan dijadikan pertimbangan untuk langkah selanjutnya. 

Jam telah menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Tak terasa, delapan dusun sudah kami tapaki , tibalah saatnya untuk diakhiri. Istirahat, untuk melanjutkan esok hari.

Apapun hasilnya nanti, rasa capek pasti ada. Capek hati, capek pikiran dan capek finansial juga dirasakan. Karena setiap keputusan telah ditimbang risk and return-nya. Selamat berkompetisi, junjung tinggi nilai demokrasi!

Penampakan salah satu pojok Raya Antasari, Jakarta Selatan




Komentar

Posting Komentar

Besongol.xyz

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?