Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

Gimbal Tempe

Gambar
Srintil sengaja menenteng tempe yang ia beli dari pasar, namun kali ini agak beda. Dia membawanya tanpa kantong plastik, ada lima biji. Tangan kanan kirinya pun penuh tempe di genggaman. Semuanya dibungkus daun pisang, mirip klepon bulang tanpa kotaknya. Ke pasar sendiri, hanya untuk membeli tempe.  Pasar yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalnya itu, sudah ramai, bahkan sebelum Subuh, geliat pasar rakyat mulai terlihat. Dari puluhan pedagang tempe yang tersebar di pasar itu, Srintil telah menjatuhkan pilihan alias berlangganan ke salah satu lapak, Tempe Ngisi Roso. Bukan tak beralasan, Srintil kerap membeli tempe di TNR, karena mengikuti jejak mendiang ibunya.  Tempe Ngisi Roso ini memang berhasil bertahan sampai ke generasi ketiga, setara dengan cucu hingga kini. Rasanya pun cukup terjaga, hanya saja mereka mulai sedikit mengikuti trend masa kini, tempe kemasan plastik! Selain lebih praktis dan efisien, tentu harganya lebih murah jika dibandingkan daun pisang atau jati....

Dobleh

Gambar
Genap tiga hari Dobleh “perang dingin” dengan teman sekelasnya. Termasuk pagi ini, dia datang dengan muka masam. Alisnya yang mirip celurit itu sekarang lebih seperti anak panah yang siap meluncur ke sasaran tembak. Tubuhnya yang gempal, tampak begitu nyata, karena pagi ini dia sengaja “ psywar ” di kelas. Semua bermula ketika kepala sekolah memutuskan untuk mengajak seluruh pengurus kelas, termasuk ketua dan wakilnya, serta pembantu-pembantunya seperti bendahara dan sekretaris. Acara makan-makan yang biasa diselenggarakan setahun sekali, untuk merayakan malam pergantian tahun. Namun, apa daya, Dobleh tak ada di daftar tamu undangan, persis di tanggal tiga puluh satu Desember yang kurang dua hari lagi.  Dobleh memang tak memiliki “posisi strategis” di kelas. Dia hanya berperan sebagai pembantu umum. Berbekal tubuhnya yang tinggi besar, dia menjadi andalan teman-temannya di kala suka dan duka. Bahkan, terkadang wali kelas dan kepala sekolah tak sungkan meminta tolong padanya.  ...

Empat puluh lima menit di Lebak Bulus

Gambar
Jam menunjukkan pukul 20:53, tapi suasana masih saja meriah, Jakarta. Apalagi malam minggu, malam yang panjang yang asyik buat nongkrong, katanya. Tanggal muda, masih belum masuk dua digit angka di kalender, “amunisi” masih cukup untuk ngopi dan nge- mall . Namun, tak semua orang bisa menikmati momen yang sama, momen terima gaji dan bersenang-senang bersama keluarga, meskipun sekali atau dua kali, makan di luar.  Jakarta mulai masuk musim penghujan, tak terkecuali Sabtu pagi. Mungkin diantara warga juga ogah untuk keluar rumah, macet. Saat itulah menjadi berkah bagi pekerja informal, seperti tukang sekoteng keliling, cuanki, nasi goreng, ketoprak, mie ayam, siomay dan masih banyak lagi pedagang “offline” yang menjajakan dagangannya ke gang-gang sempit.  Bagaimana dengan green jacket atau jaket hijau? Sama! Mereka juga mengais rejeki di tengah cuaca yang sedang sejuk-sejuknya. Setelah sempat indeks udara di Jakarta, merah merona di hari Jum'at, bahkan ada wilayah statusnya hi...

Pawon

Gambar
Kuruyuk ayam bersahutan, burung trucukan juga tak kalah seru, bersiul, bersorak, seolah kegirangan menyambut hari. Tak sedikit pun mentari surya terlihat, namun karena insting alamnya sudah terasah, “hewan pagi” itu seolah telah siap menjalani takdir, apapun yang terjadi.  Wecker alam itu menjadi sahabatnya menjelang pagi, setia. Tak sekalipun luput dari pendengarannya, kokok ayam dan nyanyian burung, baginya adalah berkah. Setidaknya masih menghirup udara segar, menikmati drama hidup yang telah menantinya.  Kepulan asap dapur begitu tebal, kayu bakar untuk memanasi kemaron pagi ini sedikit basah karena cipratan hujan semalam. Meskipun tak parah, lembab juga ikut berperan, kayu-kayu yang sedianya kering, sedikit melempem. Bagus harus bekerja extra , agar bibit api terjaga, membakar ranting-ranting yang disusun di antara dua apitan batu bata merah.  “Gus, tolong ambilkan air di gentong ya” pinta perempuan lansia itu “Baik Budhe” Bagus bergegas Tangannya masih basah, buka...

[Jumpa lagi] Taman Bendi!

Gambar
Berkunjung ke taman hijau nan asri ini, terakhir ketika matahari cukup menyengat, debu bertebaran, rumput kecoklatan, ranting dan daun tak saling sapa. Ah, ambyar, gersang! Sejauh mata memandang, hanya fatamorgana yang tampak di sepanjang rel kereta. Saking panasnya!  Bahkan di taman ini juga menyimpan cerita, es teh solo nan segar ditengah terik siang, membuat bencana. Minum es, di tengah cuaca panas menyerang, memang nikmat. Selain segar, sensasi dingin ketika lewat tenggorokan dan masuk kerongkongan, puasnya tiada tara. Namun siapa sangka, sore harinya, si bungsu muntah berak dan demam. Rupanya teh yang kubeli di pinggiran jalan itu tak sepenuhnya “aman” untuk bocil. Aku sendiri tak ada masalah setelah mengonsumsi teh yang sama.  Belajar dari pengalaman, pagi menjelang siang ini, paling aman ya isi perut dulu, baru lanjut ngemil dan tentu saja, minum susu kemasan yang lebih “higienis” dan sebotol air mineral ukuran jumbo, kiranya sudah cukup. Tak perlu dingin, cukup dengan ...

Pitulasan di Besongol

Gambar
(Sambungan)  Dibalik nama domain www.besongol.xyz Apa yang bisa kami lakukan di usia kanak-kanak tinggal di dusun yang kaya dengan sumber alam? Jawabnya singkat, bermain dengan mereka (red: alam). Sumber air yang melimpah, persawahan yang ijo royo-royo, dua sungai yang mengalir deras dan bening, kebun dan pekarangan yang luas, berikut dengan berbagai macam buah dan sayur mayurnya.  Sebelum teknologi dan internet menguasai dunia, termasuk perkampungan, banyak aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Sosialisasi dengan tetangga dan warga sekitar, menjadi aktivitas yang lumrah dan biasa. Tepa selira  dan gotong-royong sangat sering dilakukan, apalagi ada peringatan hari besar atau agenda kampung, pastilah semua warga akan berpartisipasi. Guyub rukun Glidikan atau Gotong-royong Glidikan merupakan salah satu adat atau kebiasaan tak tertulis di kampung, untuk  melakukan kegiatan seperti bersih desa, membangun fasum, atau memperbaiki rum...

Parfum Sujali

Gambar
Sore baru saja berganti malam, adzan Magrib masih berkumandang. Gerah, sudah lebih dari sebulan, kampung Tutur tak turun hujan. Mendung hanya menyapa sejenak, setelah itu pergi tanpa pamit. Pun kalau turun, hanya butir air mirip semprotan parfum, tambah sumuk, begitu kata orang kebanyakan. Beruntungnya mata air terpelihara baik di sini.  Denok baru selesai mencuci baju, di bilik sumber air yang tak jauh dari rumahnya. Namun, bukan berarti tak butuh “perjuangan” untuk menjangkaunya. Jalannya naik turun, berundak dan cukup terjal. Aksesnya berupa jalan setapak, dengan anak tangga tanah liat yang terekspos sempurna, kemerahan. Di kedua sisinya terpasang bambu, dengan kemiringan empat puluh lima derajat, menurun, untuk berpegangan.  Jum'at adalah hari yang paling dinanti Denok, hari dimana arjunanya pulang dari peraduan, Sujali. Pantas saja dia selalu antusias menyambut hari spesial itu. Dibereskan semua olehnya pekerjaan rumah, agar ketika suaminya datang, dia bisa duduk leha-leh...

Nestapa Tinggal di Tepi Jalan Susun

Gambar
Jalan layang atau jalan bertingkat sudah lumrah adanya di kota besar seperti Jakarta. Banyaknya kendaraan yang beredar, tak sebanding dengan ketersediaan jalan, hasilnya? Macet dimana-mana. Apalagi kalau pas rush hour atau jam sibuk, macetnya bakal mengular dan membuat setengah putus asa. Dulu, berita seperti ini, bagiku hanya selintas lalu, maklum tak merasakan langsung perjuangan menembus kemacetan.  Takdir berkata lain, aku harus “hijrah” alias pindah dinas ke kota yang mungkin bagi sebagian orang, adalah mimpi untuk berkarir dan meraih sukses. Namun, tidak semua itu benar adanya. Di sini, semuanya terasa tergesa-gesa, grusa-grusu , begitu orang Jawa bilang. Waktu adalah uang, ya di sini tempatnya, kota yang digadang-gadang menjadi kota global mendunia.  Kota se-kaya dan se-modern Jakarta, cukup mudah untuk membangun infrastruktur publik, entah itu taman, jalan, jembatan, terowongan (red: MRT) , angkutan umum dan sebagainya. Bukan tanpa alasan, selain menjadi ibukota negar...

Hujan, Aku Belajar Mengenalmu

Gambar
“Apa yang bisa kamu pelajari dari hujan, hah?“ Suara dengan nada keras melintas di kupingku Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan yang terlontar dari suara Bapakku, nadanya yang meninggi, membuat aku berpikir dua kali untuk menjawab pertanyaan dengan nada emosi, pun kalau aku jawab, dia tidak akan menerima sepatah kata ku.  “Dasar anak aneh, diminta bantuin Bapaknya dorong gerobak, eh malah ngelunjak, sok-sokan belajar tentang hujan” mulut bapak terus mengomel “Semoga kelak engkau mengerti, bahwa hidup tak hanya sekedar tentang senyuman dan pujian, kamu harus kerja keras, Nak” tegas kata-kata itu keluar dari bibirnya Aku hanya mampu membisu, sembari menahan tangis, mau berontak? Menjawab setiap pertanyaan Bapak? Tak mungkin, bagaimanapun dia adalah ayah biologis ku, seorang lelaki yang dulunya ku kenal diam dan penyabar, tak pernah keluar kata-kata kasar dari mulutnya. Konflik batin ini aku rasakan semenjak Bapak resmi pensiun dari karyawan swasta, salah satu perusahaan terkemuk...

Farm House Lembang, Tempat Rekreasi Nyaman yang Ramah Anak

Gambar
Pagi yang cerah cenderung gerah, cuaca Bandung pagi itu. Meski mendung sempat menggumpal di atas langit Kota Kembang, perlahan tersapu angin, menyingkir entah kemana. Sinar mentari bebas menghujam ke sela-sela jendela dan pintu kamar Villa, seolah mengingatkan kami, segera bangun dan bangkit dari kamar tidur.  Sejuknya suhu ruangan tempat kami menginap, sedikit membuat berat untuk beranjak dari ranjang. Bocil juga tampak lelap dengan tidurnya. Berbeda dengan emaknya, yang memang tak cukup bersahabat dengan suhu pendingin ruangan, bahkan sebelum adzan Subuh berkumandang, matanya sudah terbuka lebar.  Padahal selimut tebal semalaman sudah membalut tubuhnya, tetap saja dengan settingan suhu normal ruangan, matanya enggan terpejam. Sempat terlelap meskipun sebentar. Begitu ucapnya. Bisa jadi ada sesuatu yang dia rasakan, tapi memilih untuk diam membisu. Beruntung ada Uti, setidaknya sedari pagi, nyonya ada teman ngobrol, sembari menunggu sang surya menyapa.  Seusai Subuh-an, ...