Wajah Bopeng Demokrasi

Sabtu, 10 Februari 2024, menjadi kampanye pamungkas paslon capres dan cawapres. Artinya seluruh alat peraga kampanye (akr: APK) sudah harus bersih di seluruh pelosok negeri, termasuk di ibukota Jakarta. 

Sejak pagi, baliho dan banner tergeletak begitu saja di sepanjang jalan. Anehnya, hanya yang berukuran kecil saja yang berhamburan, tapi tidak dengan APK ukuran jumbo. APK jumbo sudah tak terlihat sejak pagi, bisa jadi sudah "diamankan" pihak yang berkepentingan!upppsss...

Sudah selayaknya KPU, parpol dan caleg bersama-sama menertibkan APK, agar tidak terkesan, habis manis sepah dibuang! Sangat disayangkan, karena potensi sampah berserakan mengganggu pengguna jalan yang sedang melintas!

Di Jakarta, kampanye akbar dimenit akhir di tutup oleh kampanye paslon Capres-cawapres nomor urut satu di Jakarta International Stadium (akr: JIS dan paslon urut dua di Gelora Bung Karno (akr: GBK). Sedangkan paslon Capres-cawapres nomor urut tiga, menggelar kampanye akbar di Semarang, Jawa Tengah.

Kurang dari 4 hari lagi, tepat ditanggal 14 Februari 2024, Pilpres digelar serentak di Indonesia. Rangkaian ini mengakhiri debat Capres dan Cawapres yang diselenggarakan oleh KPU hingga lima kali (tiga kali Capres, dan dua kali Cawapres). Format debat terbuka ini sudah diselenggarakan sejak 2004, dua dekade yang lalu! 

Harapannya masyarakat bisa mengetahui secara langsung visi dan misi dari masing-masing paslon. Tentu masyarakat juga bisa menilai "before" dan "after" setelah para pemimpin negeri ini betul-betul akhirnya menjabat. Apakah hanya janji manis dan palsu dan tipu-tipu, atau program nyata yang membuat rakyat menyatu?

Evaluasi kinerja pemerintah tak hanya mengandalkan para wakil rakyat yang sudah mulai "nyaman" dengan posisinya. Di era digital, track record pejabat publik sangat mudah untuk diketahui. Bahkan, jika Anda mau, coba googling saja di internet, berapa anggota DPR RI yang menjabat sebagai "wakil rakyat" yang "mengabdi" sejak puluhan tahun yang lalu?

Saya pribadi jadi berpikir, apakah mereka "tulus" mewakili suara rakyat? atau mereka merasa "nyaman", sehingga dengan segala cara "mempertahankan" posisinya sebagai "suara rakyat" di gedung DPR RI? 

Bahkan, kalau pun mereka sudah tak menjabat lagi di DPR, generasi penerusnya pun sudah disiapkan! Jika seperti ini, layakkah negeri ini disebut negara demokrasi? Kita bicara oligarki, namun tak paham esensi-nya! Eksistensi pejabat di negeri ini sudah turun temurun, kalau pun ada yang baru, hanya segelintir!

Tak hanya di Jakarta, di daerah lainnya pun sama, bahkan ketika pulang kampung, nama yang muncul ya itu-itu saja! Beruntungnya, mereka memanfaatkan posisi di kursi DPRD untuk "memanjakan" pendulang suara terbanyak di pemilu sebelumnya. Proyek digelontorkan dengan derasnya menjelang pemilihan umum. Belum lagi "serangan fajar" yang membabi buta ketika para pemilih berangkat ke bilik suara. Sempurna!

Ya, pelajaran itu setiap lima tahun kita saksikan bersama, dan turun temurun! Jika kita berada pada posisi sebagai "penonton", di Pemilu berikutnya ya tetap akan sebagai "penonton" pula! begitu terus bergulir. Herannya demokrasi seperti ini sudah menjadi "wajar"!

Bahkan di Ibukota yang notabene pusatnya segala aktivitas, entah itu perekonomian dan perpolitikan, tak luput dari praktek "kotor" itu! Bahkan, lebih parah!!!!!

Dua minggu menjelang pencoblosan, para calon "wakil rakyat" semakin rajin turun ke bawah. Bukan dengan tangan kosong, tapi dengan iming-iming yang beragam! Syaratnya, bawa fotokopi KTP ya! Ada yang beralibi jual sembako murah, ada yang tukar fotokopi KTP dengan "amplop", dan ada pula yang cukup "santun", nitip sembako untuk orang tua walimurid! ha-ha-ha..gaplek tenanan!

Jika di daerah, "pemainnya" tak terlalu banyak, kalau pun ada ya sesekali, dan bisa dipastikan ya incumbent yang maju kembali sebagai calon anggota legislatif! Di Jakarta, hampir setiap hari di serbu "sembako murah"! Cukup buat "undangan" dan disebarkan ke warga melalui RT atau RW, warga pun berdatangan. 

Bermodal uang sepuluh ribu rupiah+copy KTP, beras dua liter dan minyak seliter sudah bisa dibawa pulang! Betapa kagetnya, ternyata "undangan" yang kami terima, bukan operasi pasar pemerintah untuk menstabilkan harga ditengah harga beras yang sedang melangit! Tasnya ternyata ada sablon parpol dan calegnya! Bajigurrrrr..

Antara kesel dan nyesel, kenapa tadi mengantri ya kalau ujungnya ajang promo politik! Namun, patut disyukuri juga, karena stok beras dan minyak bertambah! Sudah separah ini "politik uang" di negeri ini. Seharusnya ada cara lain yang lebih santun untuk menggaet suara rakyat, tentu saja yang lebih mendidik! Bukan dengan praktik yang berkedok jual beli! 

Foto hanya ilustrasi Pemilu 2024


Komentar

Posting Komentar

Besongol.xyz

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?