Ranting Pena

Di kota sesibuk dan sepadat Jakarta, sejenak bersantai di taman adalah cara yang tepat untuk rileks dan berinteraksi dengan alam. Meskipun Anda tak akan pernah sendiri dan harus "sharing" dengan pengunjung lainnya, coba nikmati saja. Pasti ada satu titik yang "private". Cari tempat yang tenang dan nikmati sepoi angin yang bertiup. Kali ini saya mencoba berbagi dampak positif ketika Anda bersama buah hati klenong-klenong (sinonim: jalan-jalan).

1. Belajar membaca

Interaksi positif dengan buah hati akan menghasilkan kreativitas yang mungkin lama terpendam. Sebagai orang tua sekaligus teman bagi anak-anak, kita harus mampu mengarahkan mereka untuk terus menempa potensinya. Tetiba hari ini saya mengajarkan mereka untuk membaca. Jangan dibayangkan saya datang membawa buku dan pena! 

Kami memanfaatkan setiap properti yang mudah ditemukan di taman. Disediakan alam. Taman identik dengan ruang terbuka hijau, pepohonannya tinggi menjulang, rimbun nan teduh. Ranting pohon ukuran kecil mudah dijumpai. 

Pena ranting! Begitu putra putri ku menyebutnya. Inisiatif dan kreativitas mendadak muncul. Aku mencoba "menumbuhkan" minat bacanya. Oh iya, di beberapa titik taman, ada space kosong tanpa ditanami rumput alias tanah terbuka. Setelah mencoba corat-coret, ternyata tulisan dengan ranting itu terbaca dengan jelas! Jadilah papan tulis dadakan. 

Bermain dan belajar itu memang sangat menyenangkan. Setengah jam duduk di atas ranting diantara pepohonan besar, membuat mereka betah bertahan. Bermula dari mengenal huruf, hingga mengeja dan membaca. Mereka sudah tau huruf dan angka, hanya saja merefresh daya ingatnya. Paling mudah ya mengenalkan mereka nama benda di sekitar taman! 

Bahkan mereka request nama benda atau aktivitas di sekitar taman. Kreativitas muncul bertubi-tubi. Mulut mereka bersahutan, komat-kamit, meminta aku menuliskan nama benda kemauan mereka. 

2. Berlogika

Putraku termasuk anak yang susah untuk diajak makan sayur dan buah. Minumnya juga kadang kurang, alhasil, bibirnya sering pecah-pecah, kering dan mengelupas. 

Dia memegang daun kering warna kecoklatan. Aku memintanya meremas. "Apa yang terjadi, Kak?". "Daunnya hancur, remek" katanya melanjutkan. Itulah sebabnya kenapa tanaman harus disiram secara rutin. Kalau tidak, daun mereka akan kecoklatan, rontok, dan mati. 

Kemudian aku memintanya mengambil daun yang hijau dan segar. Coba lakukan hal yang sama, apakah daun itu hancur berkeping-keping? Dia mengamati dengan seksama, "Daunnya tidak remek, hanya sedikit terlipat, Pak" jawab dia dengan nada penasaran. 

Dari situ aku mengajarinya, "minum yang cukup agar bibirnya tidak kering dan seperti daun yang coklat! Kalau banyak minum, kamu akan kuat seperti daun hijau itu" tegasku. 

3. Berimajinasi dengan leluasa

Ditengah bermain corat-coret di tanah, muncul seekor semut hitam. "Pak, lihat, ada semut yang datang" celoteh si Adhwa. "Semut kamu dari mana? Rumah kamu di mana? Kamu ke mana kok sendirian" bertubi-tubi pertanyaan muncul dari mulut imut putriku. "Dia sedang bermain atau cari makanan, mungkin rumahnya diantara rerimbunan tanaman itu" jawabku seraya menunjuk tempat yang ku maksud. "Kasihan dia lapar ya Pak, tapi kok sendirian ya dia bermain" timpalnya dengan nada sedih. 

Ranting yang dia pegang terus dimainkannya untuk mengurai tumpukan tanah di depannya. Aku lihat diam-diam dia juga terus mengamati pergerakan si Semut. Aku yang sedari tadi sibuk dengan "ide menulis", melontarkan sepatah kata "Jangan diganggu ya Dek semutnya, mungkin dia lagi mencari jalan pulang". Ternyata dia semakin penasaran. Andra, si Kakak juga nimbrung dengan adiknya. 

Di sela-sela pengamatan Adhwa terus ngomel sambil menulis beberapa angka yang tak terlihat begitu jelas di tanah. "Kak, ini angka berapa?" dengan nada meninggi. "Kakak gak bisa lihat tulisannya, Dek" jawabnya. Sambil merengek si Adik terus membombardir Kakak untuk menjawabnya. "Coba ulangi lagi, Bapak pingin tahu" sahutku. Dia pun segera menghapus tulisan di permukaan tanah itu dengan sandal. Diguratnya lagi satu angka di tanah. Sepintas aku lihat dia menuliskan lingkaran atas dan bawah. Dan benar, tulisannya kurang jelas, karena penekanannya kurang. 

"Maksud Adek seperti ini kan?" tanyaku. "Iya benar, Pak" jawabnya sembari tersenyum melihatku. Aku pun menebali angka yang dia maksud, tujuanku satu, agar kakaknya bisa menjawab, karena kalau enggak, bisa geger se-taman karena teriakan Adhwa. "Itu angka delapan kan Dek!" Kakak menjawab dengan lantang. "Yeaaayyy...Kakak betul" sembari bertepuk tangan dan kegirangan. 

"Ini namanya telur bertumpuk, Pak" sahut Adhwa. Aku hanya bisa terperangah mendengar ceritanya. Sebelumnya aku tak pernah mendengar istilah ini. Si Kakak hanya tersenyum sambil menatap aku dan Adhwa. "Adek sudah bisa menghafal angka, Pak" Kakak mencoba menjelaskannya padaku. Adhwa putriku, usianya tiga tahun. Andra masuk usia lima tahun. 

Dia menghafal angka dengan metode yang unik dari tempatnya belajar. Mereka berdua menjelaskan angka dengan imajinasi sembari memantau pergerakan semut yang kian menjauh. Aku pun terus mengetik huruf demi huruf untuk merangkai kata. Mengabadikan momen pagi ini. 

4. Menumbuhkan percaya diri dan jiwa sosial

Taman adalah tempat publik yang asyik untuk dinikmati, terutama di akhir pekan. Inilah yang menjadi taman atau RPTRA tak pernah sepi pengunjung. Mau main saja harus antri dan bergantian. Sabarlah kuncinya. Kedua buah hati ku memang sudah terbiasa main di taman. Bedanya, kali ini dia harus sedikit bersabar untuk bisa bermain di aula ataupun arena jungkat-jungkit! 

Cukup ramai pengunjung taman hari ini. Di lapangannya saja tampak muda mudi remaja sedang berlatih volly. Sementara di aula utama, masih digelar acara, entah apa, tapi melibatkan anak-anak seusia Sekolah Dasar, memakai rompi biru. Meja di tata rapi, memakan setengah arena aula utama. Melihat kondisi itu, Adhwa dan Andra tak tertarik bermain di aula. Melipir ke lapangan dan arena bermain juga sama, ramai! 

Akhirnya kami menepi di bawah pohon mahoni. Di bawahnya ada kolam ikan permanen seukuran 4x3 meter, di tambah bak penampungan air yang juga difungsikan untuk kolam ikan mini. Di atasnya dipasang jaring, untuk menampung rontokan daun yang bisa saja mencemari kolam. Tampak kotor, tapi banyak ikan nila di dalamnya. 

Hal yang terpenting ketika mengunjungi taman, jangan lupa membawa bekal, entah itu susu, minuman atau makanan ringan. Si Kecil pasti dengan "cekatan" melahap snack yang kita bawa. Mereka akan lebih antusias untuk menghabiskannya! Dibanding makan di rumah! Di sini lah kami antri bermain jungkat-jungkit, sambil nyemil. Ada bangku gardener dari potongan batang kelapa. Dipotong pendek, satu diantaranya di pasang papan, mirip seperti meja. Tas bekal pun kami letakkan di atasnya. 

Keduanya berjalan ke sana kemari sambil mengamati arena jungkat-jungkit. Sekira sepuluh menit mereka berdua harus menunggu, akhirnya giliran pun tiba. Arena jungkat-jungkit mendadak sepi. Kawanan bocah yang bermain di situ ternyata bermain secara berkelompok. Sebagian tampak main seluncuran. Dengan antusiasme yang tinggi, mereka berdua bergegas naik jungkat-jungkit. Aku pun dengan cekatan membuntuti mereka. Jungkat-jungkitnya berukuran jumbo, dari balok kayu yang tebal, pun begitu dengan seluncurannya. Anak usia di bawah lima tahun, harus didampingi orang tua, begitu peringatan yang dipasang di papan tengah jungkat-jungkit. 

Sekitar sepuluh menit mereka berdua tampak garing dan bosan. "Coba lihat ke aula, apa masih banyak orang" seruku. Duo krucil pun lari kecil untuk menengok aula. Aku pantau dari jauh, hingga mereka melihat situasi aula. "Acaranya sudah selesai, Pak" mereka berteriak kompak. "Tunggu di situ, Bapak ambil bekalnya ke sana" teriakku. Buru-buru aku mengambil tas bekal. 

Sesampainya di aula, kondisinya cukup kotor dengan dedaunan yang berserak. Kursi bekas acara sudah rapi, hanya saja mainan prosotan plastik belum ditata. Dua bocil pun memintaku untuk memindahkan posisi prosotannya ke tengah aula. Sambil memberikan pengertian ke mereka berdua, meminta memungut daun-daun di lantai aula. Biar nyaman. Terlihat Ibu penjaga taman menyapu lantai sambil ngomong ke Andra "Terima kasih sudah dibantuin ya Dek". Duo bocil berbalik melempar senyum, "Sama-sama".

Berlarianlah dengan leluasa mereka berdua di tengah aula. 

Puas bermain perosotan dan lari-lari di aula, si Kecil minta bermain dampu bulan. Arena bermainnya tepat di depan aula, di sebelah kiri pas pintu masuk. "Pak, ayo bermain itu" teriak Adhwa dari jarak dua puluh meteran. "Main apa Dek?" tanyaku balik. "Bapak ke sini aja, Adek gak tau namanya" Adhwa menjawab. Aku yang penasaran meng-iya-kan permintaannya. Ternyata dampu bulan. 

Sandal dan perbekalan pun kami bawa menuju arena permainan dampu bulan. "Adek sudah tau cara bermainnya?" aku membuka percakapan. "Kakak tau, Pak. Di sekolah kakak diajari permainan ini" jawab kakak menyela. Aku pun memberikan contoh, dua kali aku mencobanya. Adhwa tampak serius melihat. Dia tampak malu-malu bermain, namun aku terus memberikan sugesti bahwa dia berani dan bisa. Kami bermain di depan remaja tanggung yang lagi bercengkrama di seputaran arena. Adhwa hanya melihat pemuda tadi dan tampak tak percaya diri. "Ayo Dek, bermain" aku menyemangati. Akhirnya dengan tertatih dia belajar bermain dampu bulan, dengan mimik malu. 

Aku cuek dengan keadaan sekitar. Ini penting, agar dua bocil ini juga pede tampil di depan orang! 

Tak terasa tiga jam kami di RPTRA ini. Tiba-tiba WA calling masuk "Sudah jam satu, ayo pulang, waktunya makan" suara bunda dari balik telpon. 

#StoryTelling #Belajar #Belajarparenting #Parenting #Taman #RPTRA

Bonus foto, kegiatan marawis
Bonus foto, kegiatan marawis anak-anak di taman




Komentar

Posting Komentar

Besongol.xyz

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?