Sudut Taman Literasi jadi Saksi

Ide menulis tidak datang begitu saja. Leverage atau pemantik di perlukan untuk "menyalakan" api. Memang tidak susah untuk mencari inspirasi dalam menulis, bisa fakta, bisa baca (red: buku). Aku yang beberapa hari ini kehilangan gairah untuk menulis, tetiba membuncah di kepala untuk menuliskan sesuatu, ya sesuatu yang menurutku perih bagai teriris sembilu! 

Jalanan Jakarta tak pernah lengang ketika jam pulang kantor tiba. Kendaraan roda dua dan mobil berjibaku untuk menjaga laju. Lamat-lamat lampu Taman Literasi sedang bertarung dengan sinar rembulan yang sedang terang benderang. Belum lagi cahaya crane yang tinggi menjulang sedang asyik bekerja di seberang. 

Hiruk pikuk dan padat. 

Taman Literasi tak pernah sepi pengunjung, entah sekedar transit menunggu bus kota, atau memang sengaja bersantai untuk membuang peluh setelah seharian bekerja. Pemandangan ini aku kira hanya ada di Jepang atau negeri sibuk lainnya, ternyata di Jakarta pun ada. 

Pedagang asongan berjajar ditengah lalu lalang pengunjung yang sedang lewat, ramai! Muda-mudi pun tak ketinggalan menghabiskan waktunya di tempat ini. Dari yang berpakaian seksi maupun rapih ada di sini, Jakarta. Pengunjung Taman Literasi identik dengan remaja tanggung. 

Sedang asyik mata mengamati suasana sekitaran taman, muncul pemandangan pilu!! Dari kejauhan memang terlihat dia membawa sedompol bucket bunga. Digenggam rapat dan ditata rapih, persis sejajar dengan dada. 

Sepintas dia hanya membawa bucket bunga. Apakah di sini ada hall untuk wisuda? Atau tempat untuk acara nikahan? Atau memang sedang bagi-bagi bunga untuk perayaan hari tertentu? Pikiran itu melintas cepat di otakku. Laju kendaraan memang tertahan, karena di situ adalah titik penyeberangan jalan. 

Semakin dekat dengan posisi si Bapak, semakin jelas pula pemandangan yang tak biasa itu! 

Ternyata bapak muda itu menjajakan dagangannya dengan menggendong putrinya. Persis di sebelahku, dia mengambil ancang-ancang untuk menyeberang, sembari mengatur posisi putrinya di gendongan depan. Putrinya cantik, seusia putriku, mungkin tiga tahunan. Rambutnya keriting. 

Air mata tampak jelas baru saja mengalir. Dari sudut matanya masih membekas, bagai air sungai yang mengering. Tak sedikitpun di seka, dibiarkan begitu saja. Sisa air mata pun berpendar memantulkan cahaya lampu yang persis menyorot di atasnya. 

Mulutnya di tepuk-tepuk, seperti sedang menyembunyikan kesedihan. Entah apa gerangan yang membuatnya menangis, tapi yang jelas dalam dekap ayahnya dia akan selalu aman. 

Tanggung jawab kepala keluarga memang tak mudah, sudah berapa jauh sang ayah berjalan dengan menggendong putrinya. Mengenakan topi dan kemeja, rapih. Langkahnya tegap, tak sedikitpun doyong, matanya menatap tajam dengan penuh harap. Semoga bucket bunganya laris manis, doaku dalam hati. 

Pemandangan itu membuat hati terenyuh, perjuangan hidup setiap orang tak sama. Lihatlah bawah, jangan selalu mendongak, agar rasa syukur mu tumbuh subur. Sesekali menatap langit boleh saja, untuk motivasi. 

Sehat-sehat bapak muda dan gadis kecil yang cantik itu. Semoga hari-harimu semakin membaik dan bahagia selalu, aamiin...

#akupunmalumaumengeluh

Satu sudut Jakarta ketika bubaran kantor






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?