Andai ku Beranikan Diri

Sepi dan hening, suasana kantor pagi itu. Bahkan ketika aku datang, saklar yang berada persis di sebelah kiri pintu masuk tampak belum posisi on, temaram. Sinar matahari belum terlihat sempurna, gorden warna putih tulang itu menutup kaca-kaca di sekeliling ruang kantor. Kaca yang multifungsi, sebagai tembok transparan, yang bisa saja aku memandang dengan leluasa suasana di luaran sana.


"Selamat pagi, Mas" tiba-tiba suara lirih terdengar. 


"Hallo, selamat pagi juga, Mbak" sahutku sambil menoleh mencari asal muasal suara. 


Rima datang sepagi ini, gumamku dalam hati. Ada apa gerangan sehingga dia rela datang ke kantor ketika sinar matahari belum terlihat. Tanpa menghela nafas, aku kembali melempar tanya, 


"Tumbenan datang sepagi ini, Mbak?"


Sembari melepas jaket kulit warna coklat, dia rupanya tak mendengar percakapanku. Tangannya begitu cekatan, melakukan pekerjaan secara bersamaan, menaruh tas dan bersiap menyalakan laptop yang sudah di hadapannya. Wajahnya tampak tegang, kedua alisnya terangkat, matanya menyorot tajam, memandang laptop. Cahaya laptop memantul sempurna ke wajahnya. 


"Mbak, pagi-pagi sekali sudah mejeng di kantor?" kembali aku bertanya. 


"Oh, iya Mas, ada tugas mendesak yang harus segera aku selesaikan, kalau tidak, bisa dipecat dari pekerjaan ini" dengan nada sedikit menekan dan nafas yang masih tersengal. 


Aku yang berjarak kurang dari dua puluh meter di depannya hanya menjawab "Oh, begitu" dan percakapan pun selesai. Jam masih menunjukkan pukul 06:30. Lampu kantor belum juga kami nyalakan, baru berdua saja, aku dan Rima, hemat energi, begitulah kira-kira. 


Suasana kembali senyap, hanya suara AC mendesis, mengisi kekosongan kantor. Hepa filter yang berada tak jauh dari tempat dudukku menyempurnakan riuh suara bising pagi ini. Mejaku rapih, maklum, aku bukan admin yang setiap hari harus berjibaku dengan dokumen. 


Jika diprosentasekan, intensitas untuk berkantorku hanya tujuh puluh berbanding tiga puluh, tujuh puluh persennya, ya di lapangan.  Kesempatan bertemu dengan Rima pun sangat jarang. Bahkan, baru kali ini aku berjumpa dengannya hanya empat mata saja. Sisanya, say hello biasa.


Dasar mulut sales yang tak bisa nganggur, aku mencoba terus mengajaknya berbicara. Namun, headset terlanjur menutup kedua telinganya. "Seperti ngomong sendiri, ah sudahlah" aku menggerutu sendiri. Rima, begitu sapaannya, wajahnya ayu, dengan lesung pipit begitu dalam di kedua pipinya, mirip Palung Mariana. Tingginya tak kurang dari 170-an, semampai, hidungnya? Jangan ditanya, mancung tak ketulungan. Kulitnya bersih, kuning langsat. 


Aku tak kehabisan akal, perjumpaan yang mungkin tak bisa terulang. Coba ku chatting melalui aplikasi  Worxspace. Perlahan ku ketik namanya, “RIMA”. Muncul lima nama dengan keyword Rima. “Ya Tuhan, mengapa seribet ini, siapa nama lengkap wanita berjilbab yang terus mengganggu pandanganku ini” kata hatiku meronta. Aku tiba-tiba kikuk dengan keadaan ini. Selintas mataku memandangnya, saat itu pula aku terkesiap. 


“Ya Rabb, kiranya aku dapat mengenalnya lebih dekat, berikan petunjuk-Mu” sembari serius memanjat do'a, aku berusaha mencari nama lengkap si Rima. Maklum, tempat kami bekerja saat ini adalah perusahan FMCG (akr: Fast Moving Consumer Goods) lokal yang mendunia atau bahasa kece-nya Multinasional. Jadi, jumlah karyawannya pun bejibun, sangat banyak


Meskipun kondisi ruang kerja di Head Office ini open space, namun tidak dengan suasana hatiku yang mendadak kelu dan kaku. “Sepagi ini aku datang, sepagi ini pula Tuhan turunkan bidadari untuk menemaniku” ah hidup ini memang misteri, aku tertawa dalam hati sambil terus berpikir, bagaimana cara mendapatkan kontak Rima dengan tepat dan akurat, jangan sampai salah chatting orang, bisa malu aku tuh


Lima menit, lima belas menit, tiga puluh menit berlalu, tetap saja kami diam tanpa percakapan, dingin. Sedingin pendingin ruangan yang isinya hanya kami berdua. Aku tak mau gegabah untuk stalking profilnya si Rima. 


Pengembaraanku selama hampir setengah jam di ruang kerja yang terbuka, memaksa aku untuk terus bersikap biasa saja, meskipun dalam hati sedang bergemuruh dan bergelora. Mirip ombak lautan yang datang secara mendadak, tiba-tiba besar dan menghantam bebatuan karang, byuuuuuurrrr.. 


Menunggu adalah bagian hidup yang menjemukan, termasuk aku yang biasa bercengkrama dan bertemu dengan orang-orang baru, entah itu di toko, atau di tempat perjamuan. Tak bisa diam, aktif dan atraktif, begitu kata rekan setim-ku. Inisiatif untuk menegur Rima secara langsung pun buyar seketika. 


Beberapa kali gadis cantik itu menyeka wajahnya. “Seperti ada yang serius” aku menata posisi dudukku. Wanita periang itu tiba-tiba menangis. Tanya pun semakin deras mengucur dalam hati, apakah ada hubungan dengan pekerjaannya? Apakah dia sedang kesakitan karena siklus bulanannya? Atau ada hal lainnya yang membuatnya sedih, putus dengan pacar? Ada keluarga yang sakit? Atau dia mewek hanya untuk meluapkan emosinya? 


Pertanyaan yang mungkin tak bisa ku sampaikan langsung, melihat sikon saat ini. Biarlah menjadi tanda tanya di otakku, siapa tahu, kalau rejeki dan berjodoh, aku bisa mengenal Rima lebih intim. Terkesima pada pandangan pertama. 


Perlahan mentari mulai menunjukkan pesonanya, sedikit banyak, mempengaruhi penerangan di kantor. Aku yang sedari datang tak beranjak dari tempat duduk, fokus menyiapkan materi meeting dan tentu sembari curi-curi pandang cewek cantik di depanku. Aku sih berharap bisa kontak mata, tapi itu tak terjadi. Rima terlarut dalam sedih. 


Mata sembabnya semakin terlihat jelas. Dasar kulitnya putih, kelopak matanya begitu merah, dengan sedikit benjolan di kantung matanya. Sesenggukan. Meskipun aku tau, dia pasti berusaha menahan tangisnya. Bukan masalah sepele. Rasanya ingin memberinya tisu, dan mengusap air matanya yang belum juga berhenti, setengah jam lamanya! 


Handphone ku tiba-tiba berdering. Suaranya cukup kencang, sampai-sampai si Rima reflek melihatku. Tak ayal, aku pun meminta maaf padanya. 


“Maaf ya Mbak, nada deringku kenceng banget, maklum orang lapangan” aku mencoba menjelaskan


“(sambil sesenggukan) no problem, Mas” jawabnya singkat


Melihat kaum hawa menangis seperti itu membuat aku tak banyak kata, membisu.


Dibalik suara handphone itu, kolega kantor memintaku untuk menemaninya ngopi di cafe biasa kami ngobrol dan diskusi, tak jauh dari kantor. Menilik situasi kantor, aku pun meng-iya-kan ajakan temanku. Meskipun berat meninggalkan ruangan ini, apalagi kalau bukan karena Rima. 


Kantor masih saja sepi, jarum jam menunjukkan pukul tujuh, tak satupun rekan yang datang, masih kami berdua. Aku yang tak tega meninggalkan cewek sendirian di ruangan, memberanikan pamit ke Rima. Khawatir mengganggu privacy-nya juga. Biarlah dia menumpahkan seluruh emosinya, semoga kepergianku ini membantu meringankan amarahnya yang mungkin tertahan. 


“Mbak, aku mau ngopi dulu, ya?” aku berpamitan


Monggo, silahkan, Mas” dia membalas masih dengan mata sembabnya, tapi tidak dengan isak tangisnya, sudah berhenti.


Hampir dua jam lamanya aku menikmati kopi pagi itu. Kafe juga tampak belum bergairah, sepi pengunjung. Dua gelas kopi ku tenggak habis, namun tidak dengan cemilannya, masih utuh. Perasaanku masih sama, penasaran dengan Rima. Bahkan temanku sempat menegur karena aku tampak melamun, terdiam, dan sesekali menghela nafas panjang. 


“Gadis cantik itu, oh Tuhan” suara hati yang membisik ku berulang. Anehnya, semakin mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, saat itu juga kata-kata tadi kian kuat dan menggema di pikiran. 


Detik berlalu menjadi menit, menit pun berlari mengejar jam. Smartwatch ku bergetar, alarm yang ku pasang jam sembilan tadi, mengingatkan ku ada meeting pagi ini. Aku berpamitan pada teman ngopi, 


“Ndes, aku duluan ya” buru-buru aku merapikan laptop dan buku catatan. Ongkos kopi? Biar dia saja yang bayarin dulu, syukur-syukur nanti tak ditagihkan. 


Jalanku mirip atlet jalan cepat, laptopku tenteng di tangan kanan. Suara sepatu pantofel ku menderap, mirip kuda yang sedang berlari. Aku harus bergegas! 


Kondisi lift ramai, bersamaan jam masuk kantor, beruntungnya aku dapat yang express, tanpa hambatan. Hanya sekali berhenti di lantai lima, sisanya langsung meluncur ke lantai tujuh belas. Ada udang dibalik batu, kecepatan berjalan dan antusias ini karena doi, Rima. 


Begitu masuk ke area kerja, aku langsung menyorot ke titik fokus, tempat duduk gadis berjilbab itu. Tak terlihat, namun tasnya masih berada di atas meja kerja. Jangan-jangan dia menguntitku. Tapi laptop yang tergeletak di meja, masih menyala. Tak mungkin rasanya, karena dia tadi berucap bahwa ada hal penting yang harus diselesaikan. 


Ruang personalia tertutup rapat. Seperti ada seseorang di dalamnya, lebih dari satu. Begitu cepat aku berpikir sambil berjalan, mengamati sekitar. Aku pun langsung masuk ke ruang meeting


Sejam berlalu dengan hampa. Tatapanku kosong. Materi yang disampaikan dalam rapat pun, hilang dan menguap. Hanya bibir komat-kamit dari pemateri yang aku lihat, isinya? Tak tau. Benar-benar buyar konsentrasiku! Tak seperti biasa. 


Satu jam berlalu, aku izin untuk ke kamar kecil. Tak langsung nyelonong, berputar, melintasi jalur yang sangat indah, ya indah dan sedap dipandang. 


Kantor mulai terisi penuh, namun satu tempat kosong! Tempat bidadari yang tadi pagi duduk dan sempat menyapaku. 


Mejanya bersih, tergeletak amplop putih, ukurannya A4, ber-kop. Amplop resmi yang biasa dipakai surat menyurat ke instansi, supplier, customer, lembaga eksternal. Ada nama “Rima Ayu Diah”, perihal private and confidential. Agak kumal, bagian penutupnya sudah tak tersegel, rusak. Sepertinya sang empu sudah membukanya. Laptop dan tasnya juga tak terlihat, bersih. 


Andai saja aku tadi memberanikan diri (.) 






Komentar

Posting Komentar

Besongol.xyz

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?