Cuitan Burung, Nyanyian Alam yang Mulai Mahal

Cuitan burung, embun pagi, semilir angin, suara tarkhim, kokok ayam, asap dapur menjadi "sarapan" hari-hari. Belum lagi aroma dari kandang sapi dan kambing, jika musim hujan tiba, bak menu wajib yang harus kami lahap setiap saat. Namun, tak pernah sedikit pun kami ribut tentang itu, hanya ngomel saja, sesimpel itu. 

Cuitan Burung

Jika boleh diibaratkan, cuitan burung ini mirip alarm modern. Nyanyian mereka saban hari kami dengar, entah menjelang mentari tenggelam, atau pagi kan datang. Riuh riang. Bahkan kami sampai menghafalnya, ini suara burung trucukan, yang selalu menyambut pagi. Dan satunya lagi kutilang yang ready setiap siang hingga menjelang petang, kalau malam ada burung sithir, yang ocehannya khas, "siii... Tiirrr.. Tiirrr.. Tiirrr"

Tak hanya itu saja, burung prenjak juga tak kalah berisik. Biasanya mereka berkawan, bisa puluhan. Burung kicau ini menjadi idola di kampung ku, Besongol. Tumbu ketemu tutup, begitu kata orang Jawa. Prenjak atau ciblex ini menjadi sangat ramai dan bawel ketika jantan dan betinanya berkumpul, bersahutan, tapi bak "perang" suara. 

Burung prenjak ini hanya seukuran genggaman tangan balita, imut. Otomatis tak perlu sangkar yang gede dan mewah, cukup bikin sendiri bisa! Itulah yang menyebabkan pada masanya, burung ini sangat diminati warga kampung ku. Ada yang unik untuk bisa menangkap burung ciblex ini, cukup memakai getah alias pulut. Modalnya ya, cuma burung "umpan" yang jago kicau alias gacor, plus pulut (semacam lem alami yang terbuat dari getah pohon) dan sebatang kayu. 

Semakin jago umpan, semakin banyak peluang untuk dapat prenjak-prenjak lainnya! 

Kampungku masih terbilang mirip tegalan yang luas saat itu. Jarak antar rumah tak serapat saat ini, yang mulai mirip perkampungan kota. Halaman rumahnya luas. Beraneka macam tanaman buah, paling banyak ya mangga, jambu, belimbing dan pepaya. Srikaya, delima, rambutan, alpukat, juwet, sirsak juga ada, meskipun jarang. Oh ya, yang jadi raja buah di kampung ya pisang! Setiap pekarangan rumah pasti punya pohon dari genus plantain ini. 

Itulah yang menyebabkan populasi burung begitu terjaga. 

Burung sikatan juga melimpah, ditambah lagi sogon (akr: Sogok Ontong) juga mudah dijumpa. Satu lagi jenis burung yang mungkin tak dijumpai gen-Z saat ini, sirpu atau sirtu! Burung lokal ini tak beda jauh dengan prenjak secara ukuran, tapi untuk suara, jangan ditanya, nyaring dan kencang! Biasanya tempat favorit burung-burung kecil semacam itu ya di barongan (red: kumpulan pohon bambu dalam jumlah banyak).

Trucukan atau terocok juga melimpah jumlahnya, bedanya mereka suka nangkring di dahan pohon yang kuat. Di pekarangan belakang, tak hanya barongan, namun ada pohon randu "raksasa", manecu, rambutan dan alpukat, pohon itulah idola burung terocokan. Waktunya sampai aku hafal, menjelang pagi tiba hingga matahari keluar sempurna. Sepanjang itu nyanyian burung kami nikmati. Malah menjadi hiburan ketika tugas nyuci atau nyapu pekarangan datang 😅

Jika beruntung mereka akan kembali mengoceh saat kembali ke peraduan (pepohonan belakang rumah). Ya, sarangnya memang teronggok di antara ranting dedaunan. Letaknya cukup sulit dijangkau, itulah yang menyebabkan perkembangbiakan burung sangat cepat. 

Menurutku, sarang burung yang paling unik dari yang terunik jatuh pada burung Manyar. Beruntungnya aku, masih bisa menyaksikan sendiri bagaimana bentuk dan cara membuat sarang burung Manyar ini. Mirip sarang burung kebanyakan, bahan utama "rumah" Manyar ini ya dari sisa ranting dan rumput yang mengering, hanya saja, bedanya sarangnya bergelantungan. 

Sepintas mirip gentong. Pintu masuknya sempit, sedangkan di bagian bawah cukup untuk menampung 3-4 ekor burung, keren bukan! Pun dengan jumlahnya, dalam satu pohon bambu, mereka bisa membuat 2-3 sarang, letaknya pun tak berjauhan. Mirip kebanyakan burung, mereka berkoloni dengan jumlah yang besar. 

Arsitek terbaik, ya sarang Manyar! Mau sekencang apapun angin, dia tak kan pernah jatuh. 

Masih segar di ingatan, bagaimana aku dan bapak menangkap burung dengan cara yang cukup sederhana. Hanya butuh pisang dan kurungan, jebakan pun siap. Targetnya jelas, burung yang kelaparan! Pintu kurungan kami tali di bagian atas dengan senar layangan. Dari kejauhan kami pantau dengan seksama, setidaknya setelah burung mendekati kurungan. Waktu yang pas ya siang hari, ketika mereka aktif mencari makanan. "taaaaakkk.." Burung pun kami dapatkan. Ya semudah itu! 

Ada banyak metode untuk mendapatkan burung buruan, tentunya ramah lingkungan, karena kami mengambil hanya seperlunya. 

Ketapel, targetnya biasa burung "hama" kala itu, emprit atau pipit. Musim ketapel biasanya beriringan menjelang panen tiba. Hitung-hitung bantu orang tua menjaga sawah dari serangan burung pipit. Sekali datang, jumlahnya bisa ratusan! Kami menyebut hama karena tak ada yang spesial dari burung pipit ini, ngoceh tidak, warna pun sama, bulir padi akan dibabat habis jika tak dijaga. 

Pikat, metode ini dipakai untuk jenis burung tertentu, biasanya ocehan. Seperti prenjak atau Sogon. Trucukan jarang memakai cara pikat ini. Modalnya ya burung "umpan" yang gacor, ranting pohon dan pulut (lem yang terbuat dari getah pohon). Semakin jago umpan, semakin gampang untuk dapat burung target. Sekali pikat, kami bisa bawa pulang maksimal lima ekor, bisa lebih? Tidak, kami hanya butuh untuk seleksi, itupun untuk betina kami lepas liar kembali. 

Nyuluh, cara ini paling unik diantara dua metode lainnya. Metode nyuluh ini menggunakan gala, dengan ujung yang sudah dipersenjatai pulut. Biasanya kami berombongan untuk sekali berangkat, bisa sampai lima orang. Areanya ya seputaran dusun, mungkin ya agak ke pinggiran. Sentolop atau senter, udud, sarung dan kerpus adalah senjata untuk nyuluh. Target kami adalah burung-burung setengah tanggung seperti kutilang, trucukan dan cendet. Untuk lampu sorot, jangan berpikir menggunakan LED (akr: Light Emitting Diode) ya, saat itu belum ditemukan. 

Lampu sorot yang kami gunakan bertenaga karbit! Lampunya juga jadul, dop atau bohlam kekuningan, agar cahayanya bisa terang, kami menggunakan bagian leher air kemasan membungkus area moncongnya dengan aluminium foil. Gas dari karbit itu kami manfaatkan untuk menjaga nyala api. Jika tak mau ribet, cukup lepas lampu di sepeda onthel, dan sedikit modifikasi, jadi deh lampu penerangan perjalanan kami. 

Mini survey kami lakukan sebelum malam eksekusi. Setidaknya, kami dapat menemukan jejak sarang mereka. Caranya juga mudah, cari saja gerombolan pepohonan besar, dan amati di bawah, apakah ada rontokan bulu atau kotoran? Jika iya, maka itu adalah sarangnya. Mengamati medan juga perlu, karena diantara pepohonan besar, biasanya ada semak belukar yang tumbuh subur, ya waspada ular!

Gedhang goreng (sin: pisang goreng), kopi dan ngobrol ngalor ngidul adalah cara terbaik kami bersosialisasi. Oh ya, kebanyakan dari masyarakat dusun ku bermatapencaharian sebagai petani atau buruh tani, sedikit sekali yang merangkap sebagai buruh pabrik. Ronda atau pos kamling akan ramai setelah masa panen dan tanam telah lewat. Dan waktu itulah terbaik untuk nyuluh manuk (sin: burung) . 

Nyanyian alam itu setidaknya pernah terjadi dan abadi dalam ingatan. Merawat dan memelihara burung hanya sekedar hobby, bukan untuk lomba, apalagi jual beli dan eksploitasi, karena dari hasil panen padi, sudah lebih dari cukup buat kami. 

#Besongol #Nostalgia #Desa #Pedesaan #CahNdeso

Foto Istimewa: Lukisan Alam Pedesaan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?