Di Jakarta, Taman adalah Barang Mewah (selain Mall)

Jakarta, 16 September 2024


Menulis itu ibarat mengabadikan kejadian yang kita alami sehari-hari, bisa senang, susah, komedi, lelucon, tragedi, drama dan masih banyak lagi. Ada yang perlu ditulis karena menarik, dan juga ada ditulis sebab takut lupa, lupa dengan momen yang “spesial”, ya spesial dari sudut pandang penulis. 


Aku memang bukan ayah muda atau papa muda, namun putra dan putriku masing-masing berusia hampir enam tahun, putriku empat tahun kurang dua bulan lagi. Bukan telat nikah, namun amanahnya saja baru kami terima dari-Nya. 


Sampai detik ini pun, kami terus belajar, belajar menjadi orang tua yang bijak dan menjadi teman yang asyik buat mereka berdua, bermain, bercanda, bercengkrama, dan belajar mengerti satu sama lain. 


Dua hari ini, ada hal menarik dari kedua raja dan ratu kami, apalagi kalau bukan tingkah polahnya. 


Hari Sabtu, menjelang senja terbenam, aku mengajak duo krucil ke RPTRA Gajah, tempat favorit mereka untuk hang out. Seusianya, mereka akan butuh cemilan atau susu untuk menemani petualangan mereka di taman. Namun apa boleh buat, stok cemilan dan susu di rumah sedang kosong. 


Mereka tampak tak sabar melihatku untuk segera ganti baju dan meluncur ke taman. Aku membiasakan keduanya mengenal waktu, bukan tentang angka di jam saja, tapi mengenalkan mereka tentang waktu sholat juga. Sedari siang sudah merengek agar bergegas berangkat ke taman, ya sejak aku janji pada mereka, selepas Dzuhur. “Kita nanti berangkat setelah sholat Ashar, ya?” keduanya mengangguk bersamaan. 


Tujuan ku sederhana, mengajak mereka untuk segera tidur siang, reward-nya? Ya berangkat ke RPTRA Gajah menjelang senja. Duo bocil akan mendengarkan dan mengikuti permintaan kita (red: orang tua) dengan persyaratan! Apalagi, mereka sudah paham nama hari. Bukan namanya saja, tapi “makna” nya juga. 


Keduanya tahu, bahwa sekolah mereka libur memasuki hari Sabtu dan Minggu, pun begitu dengan Bapak dan Emaknya. Tidak setiap hari mereka memasang “target” untuk kami, orang tua-nya. Mereka paham dengan kondisi yang sudah “terbiasa” ini. Akhir pekan berarti bermain dan bermanja! 


“Kita gowes atau naik motor ke taman?” tanyaku. “Gowes saja, Pak” kompak mereka menjawab. Hanya berbekal dua botol tupperware, kami pun menuju ke RPTRA Gajah. Tak perlu ribet bawa tas ekstra, karena Genio kami sudah dilengkapi tas barang, letaknya di depan. Menggantikan model keranjang sepeda jaman dulu. 


Untuk mencapai tujuan, kami harus menempuh jarak sekitar tiga kilometer, dengan medan yang lumayan naik turun. Dengan bronpit mode lengkap, boncengan depan belakang, aku harus bekerja ekstra keras! Tujuan semula beli sepeda angin ini untuk antar jemput kedua buah hati, namun apa daya, ibunya anak-anak tak sanggup, maklum memang kontur tanah Jaksel bisa dikategorikan naik-turun, tak selandai jalur Sudirman-Monas.


Sekitar dua puluh menit berlalu, selama itu pula Adik bersenandung, bernyanyi, dan sesekali menunjuk apapun yang dia lihat. Paling senang ya menghitung kucing di sepanjang perjalanan. Ya, kebiasaan itu muncul dari ayahnya, tujuanku sederhana, putra-putri ku mampu berhitung sederhana, konsentrasi dengan target dan paling tidak peduli terhadap apa yang mereka lihat. 


Kami pun tiba di taman, pengunjung nya lumayan ramai, jika dibanding Sabtu biasanya. Malahan Minggu cenderung padat. Karena area publik, untuk bermain pun harus mengantri. Tempat kesukaan mereka apalagi kalau bukan area jungkat-jungkit dan kolam ikan. Perbekalan tak lupa aku bawa, dua botol air minum. 


“Minum dulu Kak, Dek” Anakku

“Usai perjalanan, pasti haus” Tambah ku

“Iya mimik, Pak” Si Kecil menyahut


Sejurus kemudian mereka mengambil tas bekal yang ada di tentengan ku. Dibukanya tas gambar Dinosaurus itu. 


Yaaaahh, kok cuma botol minum Pak” kakak protes dengan nada kecewa


“Adek mau cemilan sama susu” Si Adek mulai merengek


Tanpa pikir panjang, sesuai “perjanjian” di awal, kami bersepakat beli makanan ringan dan susu di taman. Bergegaslah kami ke kantin taman, sayangnya toko swadaya ibu-ibu PKK itu sudah tutup. 


“Heeemmmm, adek ngga jadi minum susu dong, Pak” tukas Adik sembari kaki dan tangannya kompak menghentak. 


Si Sulung hanya mengamati si Adik yang terlihat sedih dan kecewa. 


“Ayo kita beli jajanan di minimarket, Pak” kakak memberikan alternatif. 


“Oke, ayo kita cari minimarket atau Alfamart terdekat” sambil ku gandeng keduanya, berangkat lah kami jalan kaki. 


Dengan duo bocil dan padat nya jalan raya, tak mungkin aku menggandengnya, kanan dan kiri.


Aku pun berinisiatif, 

“Kakak dan Adik bergandengan yuk”


“Jangan lupa tengok kanan kiri dan depan, kondisi jalannya juga diperhatikan” pintaku lagi


Mereka berdua pun menikmati jalan-jalan sore. Jarak antara Taman dan minimarket itu hanya sekitar seratus lima puluh meteran, tak terlalu jauh. Melewati rumah makan Padang yang tak pernah sepi, kami harus melipir hati-hati. Gendhuk yang memang ceriwis, cukup mencuri perhatian sekitar


“Dedek mau kemana?” tanya bapak-bapak parkir dengan senyum ramah


“Adek mau beli susu sama roti” dengan lantang menjawab


Tukang parkir itu tertawa gemas mendengar jawaban putriku, sambil berlalu aku menoleh dan membalas senyum bapak parkir. Sore itu lalu lintas sedikit lengang, jadi mudah saja bagi kami untuk ke seberang jalan. Minimarket itu juga tampak sepi. 


Deretan rumah makan satu per satu dibaca anak lanang, sedikit demi sedikit dia mulai pandai membaca. Ke mana pun kami bersepeda, si Dedek menghitung kucing, si Mas-nya membaca setiap tulisan yang ada di tepi jalan. Keduanya memiliki kebiasaan yang berbeda hehehe


Hampir sepuluh menit, sampai juga di minimarket. Keduanya langsung paham, diambilnya keranjang biru di sisi kiri pintu masuk, ada dua macam, satu model tentengan dengan gagang kuning, satunya lagi ukurannya agak besar, beroda dan pegangannya cukup panjang. 


“Pakai yang mana, Pak?” tanya putriku

“Yang kecil saja, Dek, kan hanya beli roti dan susu” jawabku


Sambil mengangguk keduanya buru-buru mencari etalase susu. Aku lihat duo bocil itu berembug, mencari jajanan yang mereka incar. Dari belakang aku hanya mengamati keduanya, tanpa sedikitpun menginterupsi. 


Terhenti di salah satu etalase, persis di sebelah rak display buah, ya roti. Mereka mengambil satu bungkus roti yang familiar dengan keluarga kecil kami, roti sendawa, kesukaan bundanya. 


“Bapak ini roti untuk bunda ya” Gendhuk meminta


“Ambil, Dek” aku menimpali


Tampaknya mereka berdua bersekongkol sedari awal. Terlihat dari komentar kakak menambahkan


“Iya, ini roti kesukaannya Bunda” kakak menjelaskan


“Kok tahu sih Dek, Kak?” tanyaku


“Kan bunda sering beli kalau mampir ke minimarket” kompak mereka menjawab. 


Aku hanya bisa tersenyum dan patut ku acungi jempol perhatian mereka ke emaknya. Keduanya paham betul merk nya, padahal di rak, ada dua roti yang serupa, namun satu saja yang dipilih, dan itu memang “cemilan” favorit bundanya. 


Melalui pesan singkat, aku mengirimkan pesan dan tentunya gambar rotinya


“Bun, dua bocil belikan ini untuk Bunda”


“Siapa yang berkemauan ini?” balasnya


“Anak wedok sih” jawabku singkat


“😍😍😍😍😍😍, gak kayak bapaknya, egois” jawabnya ketus


Wanita memang aneh dan misterius, berkabar ada kejutan, eh malah pewartanya yang salah, sungguh terlalu! Aku hanya mesem membaca pesannya, wes biasa (red: sudah biasa) ungkapan dalam hati. 


Roti dapat, target berikutnya susu! Gendhuk dan Tole pun beranjak dari rak roti, dari arahnya, dia mencari lemari es. Berjajar di ujung, menempel pada tembok, deretan minuman lengkap di sana. Susu andalan mereka ternyata kosong alias habis, yang tersisa hanya ukuran besar, tanpa pikir panjang, dua kotak ditata rapi di keranjang belanja.


“Satu buat Adik, satu buat kakak” tegas Gendhuk. 

“Boleh, ambil saja Dek” lugas ku menjawab


Roti dan susu sudah, permen yang belum masuk keranjang! hehehe


“Permennya sama dengan di rumah, Pak” Dedek menjelaskan

“Terus?” tanyaku

“Kakak mau ya, Pak” pintanya

“Silahkan diambil, Le” aku menyahut


Keduanya memang akur kalau urusan cemilan, tak pernah ribut. Kalau mainan? Jangan ditanya, mereka tak pernah tenang, selalu berebut, padahal pilihan mainannya banyak, per tema, begitu Bunda-nya menyimpan. Kotak kontainer bekas es krim warna putih itu disusun mirip tembok. Dipilah berdasarkan jenis permainannya. Ada memasak, lego, mobil-mobilan, dokter, kebun binatang, salon dll.


Bapaknya tentunya haus, setelah mengayuh sepeda hampir tiga kilometer. Senja di Jakarta, tak sama dengan senja di Malang, jam setengah empat disini, suasananya mirip jam setengah tiga di Kota Dingin, Malang. Matahari masih gagah, sinarnya pun masih menyengat. Minuman ber-ion+ jadi andalan, apalagi yang berkeringat (red: dingin) keluar dari kulkas. hehehe


Aku pun numpang mengambil sebotol minuman, kemasan imut, 750 ml. Si Bontot yang sedari awal menenteng keranjang belanjaan terlihat mulai kerepotan, berat. Si Kakak yang merasa iba, mengambil kendali. Diambilnya keranjang warna biru itu dari tangan adiknya. 


“Sini Dek, kakak yang bawa, berat ya Dek?” kakak meyakinkan


“Iya Kak, banyak minumannya sih” Adik berkilah


“Ayo bayar dulu ke kasir” pintaku


Bergegas kami bertiga ke kasir, menyelesaikan pembayaran dan segera meluncur kembali ke taman. 


Perlahan dari masjid seputar taman mengumandangkan sholawat, artinya kami harus buru-buru pulang, sebelum adzan Magrib di per dengarkan. Sore itu bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SWA.


Do'i menyapu lantai aula taman, kebersihan sebagian dari iman, kata Bunda gurunya. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?