Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Dibalik nama domain www.besongol.xyz

Dusunku memang tak mentereng, tak juga banyak dikenal, namun bagiku, pesonanya luar biasa dan menyimpan berjuta kisah. Ada yang spesial di sini! 

Kalau kamu ingin googling silahkan saja, ketik Dusun Besongol, mungkin akan muncul di laman utama dengan lapak jualan, entah itu bakso, seblak atau jajanan lainnya. Jauh sebelum internet merajalela, dusunku jauh dari hiruk pikuk ala perkotaan. Meskipun pabrik juga sudah kokoh berdiri, persis membelakangi kampung. 

Ijo royo-royo, begitu kesanku. Pohon randu tumbuh dengan subur, berjajar sepanjang aliran sungai, yang juga beriringan dengan jalan utama menuju kampung. Pohon penghasil kapuk ini entah dari mana asal muasalnya, siapa yang menanam, tak jelas. Bahkan istilah bediding pertama kali aku dengar gegara rontoknya karuk (red:bunga randu) dari tangkainya. 

Titen atau niteni,  salah satu cabang ilmu yang tak pernah tertulis di adat jawa. Leluhur hanya mengamati setiap fenomena alam dan menghubungkannya dengan suatu kejadian, entah cuaca atau bahkan tanda-tanda akan ada bencana. Ada sebagian menyebutnya mitos, tapi tak jarang yang bilang ilmu titen ini adalah fakta.

Randu menjadi pohon favorit karena manfaat dari buahnya, kapuk. Ya, kapuk menjadi "pengisi" utama bantal dan kasur di jamannya, jauh sebelum mengenal dakron atau bahan sintetis lainnya. Pemandangan tak biasa akan tersaji, ketika musim memasuki kemarau. Buah randu yang lebat, akan menua dan matang kecoklatan. Jika tak langsung dipanen, buahnya akan pecah, dan isinya pun beterbangan. Mirip hujan salju! 

Aura randu begitu kentara memasuki musim panas. Meranggas, begitu istilah biologinya. Daunnya akan rontok dan hanya menyisakan buah randu yang bergelantungan dan batang pokok, eksotis! Pemanisnya ya sarang burung, apalagi kalau bukan burung pipit. Mirip rumah tanpa pagar, sosoan (red: sarang burung) begitu tampak nyata, teronggok diantara rerantingan randu. 

Namun itu tak sedikitpun mengganggu eksistensi sarang burung pipit. Selain letaknya di ujung dahan, batang utama randu terkenal sangat lapuk, mudah patah, meskipun secara kasat mata terlihat kuat dan kokoh. Itulah sebabnya, ketika panen kapuk, warga hanya mengandalkan galah yang sangat panjang, tak memanjat. 

Klenteng (baca huruf E-nya mirip pelafalan hari Senin) atau biji randu juga memiliki manfaat loh! Asal kalian ketahui, biji randu yang kehitaman itu bisa menghasilkan minyak goreng, keren bukan? Mirip ayam, tak ada yang dibuang, setiap bagian tubuh bisa dimanfaatkan, termasuk bulu ayam, di jaman baheula dimanfaatkan untuk campuran isi bantal bersama kapuk! 

Informasi tentang manfaat klenteng ini aku dapat dari Bapakku, yang bekerja di salah satu perusahaan pengolahan minyak. Mercu Buana, begitu nama perusahaannya, milik pesohor jaman Orde Baru, Probo Sutedjo. Tak jauh dari dusun ku, baunya sangat menyengat ketika sedang "menggoreng" klenteng. Namun, dibalik bau itu, ada berkah buat pekerjanya yang mayoritas dari desa sekitar. 

Rembesan Songo

Menurut cerita pendahulu, nama Besongol berasal dari dua suku kata, Mbes-mbesan (rembesan) dan Songo (sembilan). Mbes-mbesan atau rembesan identik dengan sumber air atau mata air. Songo dalam bahasa Indonesia, sama dengan sembilan. Di kampung, konon katanya ada sembilan mata air, itulah yang membuat nama kampungku Besongol. 

Sumber air tersebar di beberapa titik, sayangnya sampai saat ini hanya tersisa empat sumber mata air. Sisanya hilang tergerus zaman. Dari sisa empat sumber mata air ini, satu diantaranya masih dibiarkan alami, sedangkan tiga sisanya sudah dikelola oleh perusahaan daerah air minum. 

Sumber air ditampung dalam kolam yang cukup besar. Mirip kolam renang, namun dibagian atasnya ditutup rapat, hanya menyisakan besi mirip kepala roket yang menyembul beberapa centimeter dari permukaan tanah dan rerumputan, sebagai penanda. 

Mirip bak penampungan air, disekelilingnya ada aliran air, mirip selokan, tapi airnya sangat jernih, melingkar di atas bak penampungan. Jika tidak berubah, hingga saat ini, pohon mangga, jambu, ketapang, clumprit dan sukun, seharusnya masih berdiri tegak di sana. Sudah sejak lama aku tak berkunjung ke Brak Wetan, sibuk dirantau orang. 

Brak Wetan begitu kami menyebutnya. Arena favorit kami menghabiskan hari. Suasananya asri nan teduh. Tempat ini akan ramai dikunjungi ketika musim buah mangga dan jambu tiba. Kami bisa mengambilnya secara gratis! Terpenting, jangan merusak fasilitas di sekitar area sumber.

Ada tiga sumber yang terhubung satu sama lain. Sumber Kidul, Sumber Kalong dan Brak Wetan, adalah gugusan sumber yang sudah di pipanisasi. Pipa-pipa raksasa ini untuk mengalirkan sumber air ke wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya. Entahlah, apakah ada retribusi yang masuk ke kas dusun atau tidak, yang jelas hingga sekarang, sumber-sumber itu masih terus memancarkan air. 

Sumber Kidul

Salah satu sumber yang dikenal "angker" ini memiliki cerita mistis tersendiri. Letaknya di ujung selatan dusun. Ada pohon jambu yang usianya sudah tua, tak pernah berbuah, namun tingginya menjulang dan daunnya sangat lebat. Di lokasi ini, juga menjadi tempat sembahyang sedulur Hindu. 

Di momen tertentu, akan banyak sesajen dan aroma dupa yang menyengat. Memang, di seputaran sumber ini, ada situs Hindu yang terpendam. Salah satu area yang membuat bulu kuduk merinding, karena harus mengucap nuwun sewu ketika melintas di sini. Air sumbernya sangat jernih, ikan wader pari pun sangat melimpah, akan tetapi tak ada seorang pun yang berani mengambilnya. 

Mitos yang beredar di masyarakat saat itu adalah tentang Gending atau Gamelan yang sewaktu-waktu bisa berbunyi, tanpa ada penabuh dan alat gamelannya, hanya suara. Bahkan, masih dari cerita tetua kami, ada istilah nyuguh atau memberikan persembahan/ sesajen/ sesaji untuk bisa meminjam "gamelan" gaib itu. 

Entah benar atau tidak, namun mitos yang berkembang seperti itu, deras dan kompak (red: sama). Versinya sama dari tahun ke tahun, dan hilang tak terdengar, sejalan dengan situs candi yang telah muspra

Sayangnya edukasi tentang benda dan situs purbakala tidak tersosialisasi dengan baik ketika itu. Situs candi itu perlahan lenyap dan hilang. Kabarnya sih direlokasi ke museum salah satu universitas negeri di Surabaya. Aku masih ingat betul, candi berukuran mini itu, letaknya persis di tengah persawahan warga. Di sekitarnya ada kolam kecil, mengelilingi situs candi utama, banyak ikan wader. 

Bonus demografi, kata yang tepat untuk Besongol. Letaknya diapit diantara pegunungan suci, Penanggungan dan Gunung Welirang. Mengalir hingga saat ini, irigasi peninggalan Belanda dan Kali Bangkok (red: Sungai Bangkok) yang menjadi andalan pertanian. Sayangnya, generasi kampung ku sekarang enggan untuk menginjakkan kakinya ke lumpur, alhasil, sawah pun berubah menjadi beton berjajar alias perumahan. Sedih! 

Kalau pun ada yang bertahan, petani di kampungku bisa dihitung dengan jari. Itupun generasi baby boomers alias usia kakek nenek yang masih sehat dan kukuh dalam mempertahankan adat istiadat dan asetnya. Generasi tak neko-neko. Ditengah mahalnya pupuk dan gempuran beras import (oleh pemerintah), petani kampungku tetap bertahan! 

Besongol, dipimpin oleh seorang kepala dusun atau Kasun, dulu istilahnya kamituwo. Masa jabatan tak menjadi perdebatan kala itu, sampai seumur hidup pun tak jadi masalah. Ada pejabat non formal lainnya, seperti kepetengan dan ulu-ulu. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab. 

Kepetengan ini mirip dengan hansip atau pertahanan sipil. Dulu, jika ada tamu yang singgah, harus melapor ke kepetengan. Jangan dibayangkan moda transportasi modern seperti sekarang, bisa jadi berjalan puluhan kilometer untuk mencapai tujuan tertentu. Bermalam di rumah kepetengan menjadi hal lumrah. Tak ada hitungan rupiah, semua bersaudara, ayem tentrem! 

Ulu-ulu merupakan pejabat irigasi. Tugasnya sederhana, polisinya air, atau membagi aliran air irigasi untuk keperluan pertanian, entah itu sawah atau kolam. Segala hal yang menyangkut perairan, ulu-ulu jagonya! 

Seiring perkembangan zaman, istilah tersebut semakin asing ditelinga, namun, tak kan mengurangi khasanah perbendaharaan istilah dan kata. 

RPTRA Gajah, 14 September 2024.

(Bersambung)

Foto istimewa: Brak Wetan








Komentar

  1. Wuidihhhhh kerennn....bener bener baru tau ada daerah namanya besongol

    BalasHapus
  2. manntab,,,,, terus dikembangkan ceritanya pak bos,,,,,, kita tunggu karya2 selanjutnya,,,,,

    BalasHapus

Posting Komentar

Besongol.xyz

Postingan populer dari blog ini

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?