Pocari oh Pocari!
(Sambungan) Di Jakarta, Taman adalah Barang Mewah (selain Mall)
Minuman ion plus itu sepintas tak ada yang aneh. Tampilannya wajar, tak satupun yang kurang. Stiker label masih rapih, tutupnya juga aman, hanya memang sudah tak tersegel, alias sudah aku seruput! hehehe
Pocari yang kami beli di minimarket itu memang tak sampai habis, hanya seperempat botol saja yang aku tenggak, hanya membasahi tenggorokan, tak lebih. Ya, kami hanya punya waktu sekira lima belas menit saja, duduk sejenak di RPTRA Gajah. Petugas taman “mengusir” kami karena taman akan di gembok.
Di Jakarta, seluruh taman ada jam operasionalnya, buka dari jam tujuh pagi, dan tutup ketika fajar telah tergelincir, pukul lima sore. Kalau pun dapat “bonus” atau extra time, paling lama setengah jam, seperti senja itu. Berhamburan pengunjung taman meninggalkan area aula dan lapangan olahraga.
Tak terkecuali remaja yang sedang seru-seru nya main bola, mereka masih penuh peluh, ngos-ngosan, dan kostum yang sudah basah kuyup. Meskipun “diusir “, tak ada diantara mereka ngedumel atau protes, mereka sudah paham dengan kebiasaan petugas taman, malah mereka asyikin aja ngobrol bareng gardener itu. Caranya yang santun, membuat pengunjung juga bersikap woles!
Kerja saja ada durasinya, pun begitu dengan PPSU (akr: Penanganan Sarana dan Prasarana Umum). Oia, jumlah petugas PPSU, terutama seputar Jaksel (pengamatan ku ya) cukup banyak lho! Hampir setiap gang sempit pun, mereka siaga. Bersih dan rapi! Tak hanya jalanan, selokan juga menjadi target mereka.
Seringkali aku dapati, mereka selfie bergantian, tentu dengan pose sedang bekerja. Uniknya, petugas-petugas ini akan mendokumentasikan area kerja dengan cara memotret “sebelum” dan “sesudah” dilakukan pembersihan. Finalnya, foto sampah yang terkumpul tak lupa diabadikan. hehehe
Kami bertiga dalam sekejap telah siap meluncur, pulang ke rumah. Adik yang kurang puas hanya berkeluh kesah, mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada taman
“Dadah taman, terima kasih telah menemani kami ya, sampai jumpa lagi, Adik nanti ke sini lagi ya, tunggu kami” sambil melambaikan tangan ke arah aula.
Sepeda lipat terparkir di sisi kiri aula pun sudah siap. Tole dan Genduk dengan cekatan mengenakan masker dan memakai topi, demikian juga aku.
“Ayo kita meluncur, Pak” ajak tole yang sudah duduk di boncengan belakang
“Adek gak bisa naik sendiri, Pak, tolong dong” pintanya sambil mengulurkan kedua tangannya
Aku yang sudah duduk di sadel, menyambut tangan mungil putriku. “Ayo Dik”
Boncengan depan adalah extra, bukan bawaan dari pabrik. Memang agak ribet untuk bisa naik di kursi depan, ada semacam seat belt atau sabuk pengamannya. Ada juga postep nya, tapi agak tinggi, belum terjangkau si Dedek. Alhasil, pembonceng “wajib” menggendong penumpang depan hehehe
Tas bagasi depan pun penuh, beruntung ukurannya cukup besar, lega. Seluruh barang bawaan kami muat dalam satu tas itu. Susu, permen, roti, crackers dan Pocari aman di dalam tas, karena ada pengunci dan penutup anti hujannya, cukup rapat!
Sholawatan terdengar semakin kencang, artinya kami mendekati sumber suara, dan sesuai perkiraan, pujian itu berasal dari masjid Jami’. Menariknya, letak masjid itu berseberangan dengan gereja! Mirip di alun-alun, bedanya di Cipete, tidak ada lapangannya. Pedagang kaki lima nya juga ramai, berjajar di depan masjid dan gereja, gayeng!
Adik terus bernyanyi, meskipun aku tak paham betul apa yang sedang dinyanyikannya. Enjoy aja, kurang lebih seperti itu mungkin di benak adik. Kucing pun masih dihitungnya. Bernyanyi hanya selingan, terpenting menghitung si Meow yang dilihatnya. hahaha
Kakak yang ada di belakang, tampaknya mulai mengantuk. Kantuknya beralasan, semilir angin dan panasnya sinar mentari yang mulai hilang. Berdiam juga menjadi faktor pemicu. Tole lebih pendiam dibanding adiknya yang ceriwis nya tak terkira! Bawel dan ketua, khas cewek kebanyakan. Wajar lah!
Lalu lintas mulai meriah, jangan ditanya kondisi jalan di Ibukota saat malam minggu, ramai. Termasuk jalan sudetan Antasari dan Fatmawati yang kami lalui. Pengunjung mall sudah pasti berjubel, kuliner kaki lima? Lihat areanya, Gultik (akr: Gulai Tikungan) di Bulungan, so pasti padat! Harganya yang terjangkau dan tempatnya yang strategis, membuat kawasan ini tak luput dari pantauan warga, atau wisatawan domestik.
Dua puluh menit berlalu, kami sampai di rumah. Buru-buru membongkar isi tas, agar selesai sebelum adzan Magrib berkumandang. Duo bocil langsung menuju ke kamar mandi, bersih badan, alias adus.
Haus pun melanda, Pocari sekali lagi aku sruput. Mantab rasanya, mengurangi dahaga setelah perjalan dari barat, eh dari taman. hehehe
Tak berselang, kumandang adzan Magrib melantun.
Adik masih saja membahas Pocari, dia bilang rasanya sama dengan soda. Ya, sepintas memang mirip, ada trecep-trecep! Menggetarkan lidah. Sekali nyruput, dia bisa menyimpulkan, ya itulah Adik, handal. Beberapa kali meminta, sebanyak itu pula aku menolaknya. Hanya sekali kesempatan, namanya juga ngincipi.
Roti sendawa masih rapi di tas, belum sempat kami keluarkan. Si Adik ingat dengan pesanan untuk bundanya itu. Selepas mandi dan ganti baju, Adik menagih ku
“Mana rotinya Bunda, Pak” dia bertanya padaku
“Oh iya, Bapak lupa, masih di tas Dik, sebentar, diambil dulu ya” jawabku
“Ini Dik, roti buat Bunda” ku serahkan roti isi coklat dan meses itu.
“Bunda, coba lihat, adik punya apa? “ dia berjalan menuju bundanya, dengan posisi kedua tangannya di belakang.
Bundanya yang sudah tahu dari “bocoran intelijen” memasang raut wajah yang penuh penasaran, seperti tak tau apa-apa.
“Bunda ngga tahu, memangnya adik bawa apaan sih? Emaknya balik bertanya
“Tadaaaaaa.. Adik bawa roti kesukaan Bunda” dengan nada sumringah
Bunda pun terkejut, dan langsung memeluk anak wedok. Kakak yang menyaksikan ekspresi keduanya turut senang. Dia bertepuk tangan dan berucap, “yeay, Bunda dan Adik berpelukan “
Seolah tak ingin ketinggalan momen, kakak pun mendatangi keduanya. Di kecup kening adik dan bundanya. Bagi mereka, ini adalah surprise pertama untuk bunda, membelikan makanan kesukaan.
Botol Pocari yang tersimpan di lemari pendingin, sudah berpindah posisi. Tergeletak di meja ruang tamu. Dari isinya sih tak berkurang, coba ku pegang, juga masih dingin dan berembun. Tapi, siapa gerangan yang mengeluarkannya?
Adik yang sedang serius menatap layar kaca, tampak kalut, melihat aku memegang botol. Adik sih memang jago merayu dan nyelimur. Belum juga ku tanya, dia berusaha “membelokkan” arah pembicaraan, sekali lagi, dia cerdik! Meskipun triknya sudah ku pelajari hehehe
“Pak, lihat, Upin sedang dikejar buaya!” adik dengan suara lantang membuka omongan.
“Wah, kok bisa, Dik? Apakah dia memelihara buaya di rumahnya?” aku bertanya
“Bukan, dia sedang berpetualang di hutan, dan tersesat” dengan mimik serius dia menjawab. Matanya tampak fokus, dengan kedua alisnya yang sedikit lagi “gandeng”. Seserius itu dia mengikuti alur ceritanya.
Aku tak mau mengganggu konsentrasinya, sejurus kemudian kumasukkan kembali Pocari itu ke kulkas. Namun, sebelumnya, ku minum dulu, mengurangi dahaga. Tapi, rasanya sungguh aneh, seperti ada campurannya. Tak ada sedikitpun rasa trecep-nya. Apa efek makan kerupuk ya? Jadi lidahku butuh waktu mengenali rasa. Kerupuknya dominan asin!
Untuk mem-validasi-nya, ku sodorkan botol Pocari itu.
“Nda, coba cicipi, rasanya kok aneh ya?” kataku
“Memangnya kenapa?” dia balik nanya
“Rasanya jadi hambar, sampean tambah air tawar kah?” tanyaku
“Keplaur men (red: nganggur banget)” jawabnya singkat.
“Tapi memang rasanya beda sih” dia menegaskan
Adik yang mendengar percakapan kami, dia mendekat, sambil ngguya-ngguyu (red: senyam-senyum), lengkap dengan dimple-nya yang dalam. Pipinya mirip buah kenitu yang hampir masak, ada gurat-gurat merah di kedua pipinya. Sejalan dengan hobi ngemil nya.
“Adik yang menambahkan airnya” dia mengaku
“Adik tambahkan dari botol minum ini” dengan nada memelas, wajahnya tampak menyesal dan takut.
Aku dan emaknya hanya tersenyum simpul, banyak akal!
Kreatif dan solutif, bravo anak wedok!
Jakarta, 16 September 2024
12 Rabiul Awal 1446 H
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz