Farm House Lembang, Tempat Rekreasi Nyaman yang Ramah Anak

Pagi yang cerah cenderung gerah, cuaca Bandung pagi itu. Meski mendung sempat menggumpal di atas langit Kota Kembang, perlahan tersapu angin, menyingkir entah kemana. Sinar mentari bebas menghujam ke sela-sela jendela dan pintu kamar Villa, seolah mengingatkan kami, segera bangun dan bangkit dari kamar tidur. 

Sejuknya suhu ruangan tempat kami menginap, sedikit membuat berat untuk beranjak dari ranjang. Bocil juga tampak lelap dengan tidurnya. Berbeda dengan emaknya, yang memang tak cukup bersahabat dengan suhu pendingin ruangan, bahkan sebelum adzan Subuh berkumandang, matanya sudah terbuka lebar. 

Padahal selimut tebal semalaman sudah membalut tubuhnya, tetap saja dengan settingan suhu normal ruangan, matanya enggan terpejam. Sempat terlelap meskipun sebentar. Begitu ucapnya. Bisa jadi ada sesuatu yang dia rasakan, tapi memilih untuk diam membisu. Beruntung ada Uti, setidaknya sedari pagi, nyonya ada teman ngobrol, sembari menunggu sang surya menyapa. 

Seusai Subuh-an, kami berdua pamit untuk hunting sarapan. Maunya ya, siomay Hoki yang populer itu. Kami memilih berjalan kaki, sambil olahraga, dan tentu saja mengamati setiap detail jalan dan perumahan di sekitar. Kondisi di seputar lingkungan villa masih cukup lengang, tak ada aktivitas berarti, kecuali sekuriti sebelah yang ngedumel sendiri. Selintas mirip orang edan, begitu mendekat, eh headset nirkabel menutup kedua daun telinganya, pemandangan yang mudah dijumpai di es ce be de hehehe

Bangunan megah nan mewah di sepanjang jalan blok kami menginap, tak hanya menjadi rumah tinggal, bahkan kebanyakan dikomersialkan. Mungkin perumahan ini strategis untuk dijadikan kawasan bisnis, termasuk villa dan rumah kost. Namun tak satu pun kios kami jumpai, kalau pun ada itu hanya “sisa sejarah”. Termasuk warung makan yang persis berada di ujung gang, tusuk sate. Warung Barokah. 

Kondisi banner nya tampak lusuh, sobek di sana sini, meskipun masih cukup jelas untuk di baca. Daftar menunya juga masih menempel di tembok, di belakangnya ada rumah tinggal yang tampak sudah tak berpenghuni. Bahkan, promo Ramadan yang di print pakai kertas ukuran A4, berwarna, masih tampak jelas, dilaminating, meski mulai pudar. “Dapatkan promo berbuka dan sahur setiap hari, selamat menunaikan ibadah puasa 1443 Hijriah”, artinya tiga tahun yang lalu, warung menu rumahan ini masih berjualan. 

Persis di pintu harmonika warung, terpampang poster yang tak kalah besar dengan warna kuning mencolok, “DI JUAL CEPAT TANPA PERANTARA, HUBUNGI HAJI XXXXX”, dari bangunan masih standar perumahan pada umumnya, pemandangan yang kontras dengan gang yang tepat berada di seberangnya. Rumah besar nan mewah mirip istana. Andai saja warung ini masih buka, mungkin rombongan kami bisa sarapan di sini. Aku berkhayal. 

Minggu Pagi di Jalanan Dago

Aku masih terus mengamati setiap pengendara roda dua yang keluar masuk perumahan, tampak diantaranya membawa bungkusan, sepertinya sedang membeli sarapan. Artinya, tak jauh dari sini, tempat kami menginap, ada warung yang sudah menjajakan dagangannya sepagi ini. 

Sesampainya di raya H. Juanda, suasana lalin masih lengang. Hanya beberapa pedagang yang tampak mulai menggelar lapak, dan sebagian lagi masih bersiap. Bubur ayam berada persis di sebelah kanan di bibir pintu masuk perumahan. Bakul gorengan juga tampak sudah siap menyambut pembeli. 

Berseliweran warga yang sedang berolahraga, pesepeda, pelari hingga jalan santai lumayan ramai. Jalanan yang menanjak membuat goweser terlihat lambat dan ngos-ngosan. Sesekali penunggang kuda juga melintas, sepertinya tak jauh dari sini ada car free day, namun itu selintas di pikiran, karena tujuan pagi ini, beli sarapan hmmmm

Sesuai pesanan dari eyangnya bocil, menu makannya jangan yang aneh-aneh, jauh ke Kota Bandung, ya tetep makannya pecel sayur hehehehe

Warung sederhana yang lokasinya berseberangan dengan Bappeda Kota Bandung itu tampak ramai jika dibanding lapak lainnya. Meskipun sebenarnya ada warung permanen, si Budhe, memilih membuka tenda di pelatarannya. Usut punya usut yang jualan ibu-ibu asli Semarang, dan kebetulan sekali, pagi hari pertama buka, setelah pulang kampung seminggu lamanya. Memulai kembali aktivitas yang lama terhenti, membuat Budhe kelabakan kebanjiran pembeli. Terbukti dari sayuran yang belum lengkap, hanya ada taoge atau kecambah dan kacang panjang. 

Tak jadi masalah, yang terpenting ada nasi, lauk, sambal pecel dan sayuran sudah cukup. Rempeyek rebon tampak menggoda, sudah sembilan purnama belum mencicipi kerupuk pendamping pecel itu. Mau dine in juga bisa, tempatnya nyaman, wastafel dan toilet juga di sediakan di sini. Mau bayar dengan uang digital, bisa, tinggal scan barcode nya, transaksi pembayaran pun selesai. 

Kami berdua menyusuri jalan sepanjang raya H. Juanda, masih banyak toko yang tutup. Catatan kecil yang membuat kami sedikit kurang nyaman, sepanjang kanan dan kiri jalan, sampah plastik dan dedaunan masih berserak, terkesan kumuh. Gelas plastik, kemasan snack berhamburan di sisi jalan. Beterbangan ketika mobil atau motor melaju kendaraannya. Sempadan dan median jalan juga tampak bopeng di sana sini, seperti tak terurus, sangat disayangkan sih.

Meluncur ke Farm House

Meskipun pagi ini tak berhasil mendapati pedagang siomay, setidaknya perut tak kosong, nasi pecel dan nasi kuning mengisi ruang kosong lambung kami hehehe

Tepat pukul sepuluh pagi, kami check out untuk melanjutkan wisata di Kota Paris van Java. Kali ini tujuan kami adalah meluncur ke Lembang, tepatnya ke Eco Wisata Farm House. Dari pantauan Google maps sih jaraknya kurang lebih sepuluh kilometer, dengan waktu tempuh sekitar empat puluh lima menit. 

Kami memilih jalur shortcut untuk menghindari macet di jalur utama menuju kawasan Lembang. Tersadar bahwa nyatanya penginapan kami termasuk berada di atas perbukitan. Begitu belok kiri dari arah Dago Elos, jalan terjal menyapa kami. Melewati Dago Elos, teringat peristiwa demonstrasi warga sekitar yang mempertahankan hak untuk tinggal dan bermukim di sana. “Anda memasuki wilayah perjuangan pembebasan Dago Elos dari mafia tanah” bunyi salah satu poster yang cukup besar di sisi kanan jalan. 

Mendapati jalan yang lumayan terjal, AC mobil pun dimatikan, jendela kami buka lebar, sembari menikmati udara segar khas perbukitan. Pepohonan masih terjaga dengan baik, hijau di sepanjang jalan. Tanjakan tajam dan menukik membuat bibir ini komat-kamit membaca do’a. Maklum, bukan jalan yang familiar bagi kami. Di balik perbukitan nan rimbun, ada perumahan yang cukup megah. Pintu masuknya saja di jaga dua petugas security. 

Kami tak menyangka bahwa jalur yang kami lalui bukan jalan umum, walhasil, agar bisa terus lanjut, uang portal pun disawerkan. “Maaf ini buka jalan umum, jalan ditutup setiap hari Sabtu dan Minggu” petugas keamanan menunjukkan banner berwarna kuning dengan ukuran raksasa. Namun yang aneh, plat D alias Bandung, bisa lenggang kangkung menerobos pos penjagaan hahaha

Uang lima ribu tak sebanding dengan BBM yang harus kami bayar, jika melintas di jalur utama. Dari aplikasi Waze, jalur Lembang terlihat memerah, maklum hari Minggu. Menjauh dari pos penjagaan, ada beberapa titik di pinggir jalan dimanfaatkan warga untuk berjualan, tentunya di antara rerimbunan pohon. Semakin menjauhi, perumahan, ternyata ada pos jaga lagi. Kali ini, dari dua pintu, dibuka hanya satu pintu saja, lengkap dengan “sekuriti” tak berseragam. Kardus mie instan menggantikan batok kelapa. Pungli lagi!

Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan pemandangan khas pegunungan. Tanaman petani juga terlihat segar, tomat, kol, cabe mewarnai lukisan alam pagi ini. Di sisi jalan pun mudah dijumpai depot pengisi perut alias warung. Akses potong kompas ini terbilang manjur, setidaknya bisa menghindar dari titik macet. Namun yang perlu disiapkan, uang receh! Karena setiap simpangan, ada polisi cepek. 

Pungli ternyata wajar adanya, apalagi memasuki akhir pekan. Kehadiran mereka mirip siluman, tetiba ada dan bergerombol pula. Ini pengalaman yang kami alami. Memasuki jalanan yang lumayan lega, tidak serta merta terbebas dari Pak Ogah, justru semakin “banyak” anggotanya! 

Jalanan lebar tak menyurutkan niat mereka, untuk menengadah tangan, mengharap uluran pengguna jalan. Lalin yang seharusnya lancar, bisa tersendat karena ulah mereka. Mobil yang kami tumpangi ban depannya terperosok ke parit, setelah sebelumnya mereka sengaja “menghalangi “ laju kendaraan. Dari gesture tangannya, dia memberi kode “dua”! Klakson yang kami bunyikan tak di hiraukan, malah semakin mendekati moncong mobil! Padahal, tanpa ada dia, kita bisa melaju leluasa. Parah! 

Tak pelak duo bocil kami panik ketakutan, menangis sejadinya, khawatir terjadi sesuatu dengan mobil yang kami tumpangi. Jalanan cukup padat, cuacanya juga cukup cetar, sangat terik! Rombongan pun harus turun, agar mempermudah evakuasi. “Oknum” polisi cepek pun berbondong membantu, tapi dengan syarat, rogoh kocek dua puluh ribu! Rupanya “pungli” di sini sangat parah, modus operandinya beragam dan rapi. Beruntung tak mengapa dengan roda depan sebelah kiri kami, sehingga bisa melanjutkan perjalanan.

Butuh sekitar hampir sejam, akhirnya kami sampai di tujuan. Meskipun ada sedikit insiden, setidaknya kami semua aman. Memasuki kawasan Farm House, udaranya terasa berbeda, adem. Tiket per kepala tiga puluh lima ribu, dengan retribusi parkir lima belas ribu rupiah. Menariknya, tiket masuk ini bisa ditukar dengan susu atau potongan harga untuk makan di restoran, sebesar dua puluh lima ribu per tiket! 

Tiket masuk pun sudah ada di tangan, tinggal check in di entrance. Sejenak suara air terjun mini menyambut kedatangan kami, “Dilarang bermain di air terjun ini”, begitu pesan singkat yang dipasang di sudut gerojogan mungil itu. Semakin ke masuk ke taman, semakin asyik pula pemandangan yang ditawarkan. Beraneka ragam hewan dan bunga terawat cukup baik di sini. 

Bangunan utamanya mirip rumah di Eropa. Kios pedagang tertata rapi. Aneka olahan makanan dan minuman yang berbahan dasar susu, ada di sini. Spot foto pun cukup memadai, ada yang gratis dan ada juga yang berbayar. Kalaupun berbayar, hanya untuk sewa kostum ya! Anda bisa berdandan ala noni Belanda. Foto langsung cetak juga tersedia di Farm House. 

Berfoto-foto dengan binatang liar pun bisa, namun jangan lupa untuk beramal ya! Konsep berwisata sambil beramal ini pertama kali, aku temui, ketika berkunjung ke Predator Fun Park, Kota Batu. Awal pandemi menjadi kejutan, ketika itu semua kegiatan yang berpotensi mengumpulkan massa, harus ditiadakan sementara waktu, untuk menghindari penyebaran virus Covid-19. Jika terpaksa tetap buka, harus dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. 

Untuk menutupi operasional pakan hewan, pengunjung dengan sukarela berwisata sambil bersedekah, caranya membeli makanan untuk satwa yang ada. Pun di Farm House ini. Satu buah wortel dihargai lima belas ribu, dipotong memanjang menjadi empat bagian. Putra putri Anda bebas memberikan makan pada satwa yang ada. Kelinci, kambing, kura-kura siap melahap sayuran di tangan buah hati Anda. Jangan lupa di dampingi ya! 

Bagaimana dengan playground? Ada dong, mau gratis? Bisa, syaratnya Anda harus mendampingi si Kecil ya. Anda wajib memakai kaos kaki, ketika memasuki area ini, mirip dengan peraturan di playground pada umumnya. Poster “jutek” sengaja diletakkan di pintu masuk, “Pastikan Anda mendampingi buah hati Anda, karena arena ini BUKAN PENITIPAN ANAK”, aku pun tersenyum simpul membacanya! Hahaha.. Aya-aya wae! 

Akhirnya bisa menikmati suasana Kota Bandung, meskipun insiden mobil Minggu pagi itu, akan abadi di ingatan! Terus berbenah Kota Kembang, agar wisatawan tak kapok berkunjung kemari! (Tamat) 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?