Hujan, Aku Belajar Mengenalmu
“Apa yang bisa kamu pelajari dari hujan, hah?“ Suara dengan nada keras melintas di kupingku
Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan yang terlontar dari suara Bapakku, nadanya yang meninggi, membuat aku berpikir dua kali untuk menjawab pertanyaan dengan nada emosi, pun kalau aku jawab, dia tidak akan menerima sepatah kata ku.
“Dasar anak aneh, diminta bantuin Bapaknya dorong gerobak, eh malah ngelunjak, sok-sokan belajar tentang hujan” mulut bapak terus mengomel
“Semoga kelak engkau mengerti, bahwa hidup tak hanya sekedar tentang senyuman dan pujian, kamu harus kerja keras, Nak” tegas kata-kata itu keluar dari bibirnya
Aku hanya mampu membisu, sembari menahan tangis, mau berontak? Menjawab setiap pertanyaan Bapak? Tak mungkin, bagaimanapun dia adalah ayah biologis ku, seorang lelaki yang dulunya ku kenal diam dan penyabar, tak pernah keluar kata-kata kasar dari mulutnya. Konflik batin ini aku rasakan semenjak Bapak resmi pensiun dari karyawan swasta, salah satu perusahaan terkemuka di negeri ini.
Awalnya kehidupan keluarga kami baik-baik saja, bahkan nyaris tak ada percekcokan berarti selama ini. Banyak faktor yang mengubah cara pandang dan berpikir dari Bapakku. Bahwa aku masih SMP, dan butuh banyak biaya, entah itu sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Ibuku telah meninggal tiga tahun yang lalu, persis sebulan sebelum Bapak resmi pensiun.
Sejak kepergian Ibu, Bapak memilih merawat ku sendiri. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk bertahan, mengurus dan menjaga ku sendirian. Apalagi, untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan sehari-hari, Bapak harus berdagang, dunia yang jauh berbeda dari sebelumnya.
Aku anak tunggal, anak yang dibesarkan dari dua hati yang saling menyatu, penuh kelembutan dan kasih sayang. Hari-hari ku sangat indah, bahkan aku tak mampu mengingatnya satu persatu. Kenangan indah jaman kecil. Apapun yang terucap dari mulutku, semuanya terpenuhi, kecuali satu, Adik yang ku harapkan hadir, tak kunjung datang hingga Ibu telah tiada.
“Bagus!!! ayo buruan!!” suara bak petir menyambar itu kembali aku dengar. Sekali lagi, suara yang tak biasa keluar dari mulut Bapak. Aku hanya terpaku, memandang Bapak, ternganga aku melihatnya, mulutnya terus saja naik turun melontarkan kata-kata, namun tak satupun aku mengerti. Telingaku nampaknya mulai menolak semua perkataan yang keluar darinya. Otakku berusaha mencerna, tapi sama, gagal.
Melihat aku yang mematung tak beranjak, Bapak dengan langkah gontai mendorong gerobak dagangannya, jas hujan plastik warna biru itu menempel di tubuhnya yang ringkih. Hujan deras menyambut, ketika langkahnya baru beberapa meter dari rumah. Kini hanya denting jam dinding dan suara gemericik air menemaniku.
Aku hanya bisa memeluk foto keluarga di dinding kamar. Foto yang sangat manis, penuh senyum. Foto yang menjadi identitas dan kebanggaan keluarga kecil kami. Foto yang diambil ketika aku masih TK. Wajah sumringah, wajah yang bahagia. Aku peluk erat bingkai foto itu, sembari mengingat setiap momen indah bersama Bapak dan Ibu.
****
Namaku, Bagus. Bapak dan Ibuku biasa memanggil Cah Bagus. Nama yang digadang-gadang menjadi penguat kelak ketika aku beranjak dewasa. Nama yang tersemat itu adalah do'a. Apakah setiap do'a akan diterima? Aku tak lantas berpikir ke sana. Kata Ibuku dulu, “Kamu harus jadi orang baik ya, Nak, sesuai namamu, Bagus” sambil menowel hidungku.
Air mataku mengalir sederas hujan yang turun sore ini. Awan mendung dari pagi menggelayut di atas langit, tak bergeser sedikitpun, meski angin bertiup cukup kencang.
“Nak, kenapa kamu sedih sih?” suara lirih itu tiba-tiba muncul, suara yang sangat aku kenal.
“Aku sedih karena Bapak marah-marah terus padaku” sesenggukan aku memeluknya
Didekap erat tubuhku, sambil mengelus kepalaku, “Bapakmu tidak marah, Bapak sayang sama kamu, Nak”
“Tapi kenapa nadanya seperti itu, Bagus takut”
“Bapak sedang mengajarimu untuk mandiri, nada keras itu bukan berarti marah, kan, Nak”
“Bapak berubah semenjak ditinggal Ibu, sering membentak dan memarahi ku”
Tersenyum wajah itu memandangku, “Bapak mungkin sedang lelah saat itu, jadi nada bicaranya tinggi”
Petir menyambar sangat kencang, gelagapan aku terbangun. Aku bermimpi. Mimpi cukup singkat untuk aku curhat ke Ibu. Setidaknya aku paham, bahwa Bapak tak mungkin jahat padaku. Semua demi kebaikanku. Ketakutan harus ku tanggalkan. Semua prasangka buruk ku tentang Bapak harus ku buang jauh-jauh. Aku bertekad.
Kaleng gelas ukur yang ku taruh sebelum hujan turun, di area jemuran hampir penuh. Gelas yang berfungsi untuk mengamati curah hujan, namun, aku tak hanya fokus pada tugas sekolah ku saat ini. Aku harus membantu Bapak berjualan, setidaknya, menemaninya untuk ngobrol, sudah lebih dari cukup. Semangatku tiba-tiba membara setelah “bertemu” Ibu sore ini.
Aku pun bergegas mendatangi lapak berjualan Bapak, meskipun hujan masih mengguyur dengan lebatnya. Dentuman petir kembali menyambar, kali ini lebih dahsyat, melebihi suara gelegar saat membangunkan ku tadi. Pepohonan nampak tersambar olehnya, kepulan asap sempat terlihat dari kejauhan. Aku risau, dan hanya bisa berdoa, semoga Bapak dan pedagang lainnya, aman dan baik-baik saja.
Aku mempercepat langkah, meskipun jalanan licin karena hujan. Dadaku berdecak kencang, antara kaget dan karena percepatan langkah kaki, lari-lari kecil. Payung yang kupakai beberapa kali tersingkap karena tiupan angin yang cukup kencang, basah kuyup. Aku putuskan mandi hujan. Payung itu hanya menjadi tongkat untuk membantuku berjalan, di jalan yang sedikit berlumpur dan menggenang. Menjaga keseimbangan badan.
Kian mendekat dengan lapak Bapak, jantungku semakin berdegup keras, dari kejauhan kerumunan orang terlihat jelas. Ada apa gerangan? Apakah pohon tumbang? Adakah yang tertimpa dahan? Semoga tidak ada apa-apa ya Tuhan. Mendadak, intensitas hujan berkurang, gerimis. Angin masih deras berhembus, menambah rasa dingin, membuat badan menggigil. Rasa dingin ku hilang. Namun tidak dengan kecemasan ku. Aku yang tadi membisu diajaknya mendorong gerobak, langsung terbelalak dengan pemandangan tak biasa di depanku.
Aku menerobos masuk diantara kerumunan orang, mencari tahu apa yang sedang terjadi, menjawab rasa penasaranku sedari tadi. Kedua tubuh itu sudah ditutupi daun pisang. Titik-titik hujan masih membasahi dedaunan, menghalangi dua tubuh yang sudah terbujur kaku.
Sekeliling orang yang mengerubungi sesuatu itu tak banyak kata, memandangku. Satu, dua, tiga orang nampak terisak, orang yang aku kenal sebagai saudara dekat Bapak ku. Berjongkok di antara dua jasad yang tak bernyawa. Perlahan aku menguatkan diri, membuka satu per satu tutup daun pisang itu.
Wajah pertama yang ku dapati “Pak Bejo, guru dan mentor Bapakku sebelum akhirnya yakin, bahwa berdagang adalah jalan hidup berikutnya”.
Sebelum membuka daun pisang yang kedua, tiba-tiba Pakde ku, Pujo, mendekap dari belakang, “Bapakmu Gus….” belum selesai pamanku bicara, aku bergegas membuka daun pisang itu, wajah tersenyum itu nampak bibirnya membiru, beberapa bagian wajahnya tampak melepuh, gosong. Bapakku, Suryo bin Pudjokusumo, berpulang bersama hujan yang membersamai ku sore ini, bertemu Ibu yang menguatkan ku, meski melalui mimpi.
Jakarta, 27 Oktober 2024
keren bos,,,,, merasa tersentuh di saat posisi seperti itu, gak kebayang, betapa sedihnya saat posis seperti itu,,, tks
BalasHapusTerima kasih komentarnya
BalasHapus