Kota Bandung, Bantalan Gunung

Bandung, 28 September 2024


12.53 Rest Area Bakaheuni KM 88


Meluncur dari ibukota sekitar pukul sepuluh pagi, sampai di rest area KM 88 tepat pukul 12.10. Cuaca sangat cerah hari ini. Lalu lintas terpantau lancar jaya! Kalau pun padat, ya di pintu toll saja, antre tapping. 

Perut yang keroncongan dan sudah masuk waktu sholat Dzuhur, kami melipir ke rest area. Bagiku, rest area ini sangat lengkap. Fasumnya cukup memadai, mulai dari masjid, SPBU, kios makan, restoran terkemuka, hingga arena bermain anak, ada di sini! Satu yang istimewa, toiletnya! Patut diacungi jempol, selain gratis, kamar mandinya sangat bersih dan wangi, dan asal kalian tahu, full AC pula, jadi betah nggak tuh berlama-lama di situ? Hehehe

Tempatnya lumayan adem, beberapa tenda lengkap dengan meja kursi di tata sedemikian rapi, tentunya diantara pepohonan yang rindang, cukup membantu ditengah udara Purwakarta yang terik. Di sisi kirinya berjajar aneka booth, mulai dari kopi, minimarket, hingga warung makan besar. Mau numpang makan juga bisa, tinggal pilih suasananya saja. 

Berangkat rombongan bersama keluarga, membuat perjalanan kami menyenangkan, santuy. Bisa dibilang, rest area ini ramah anak, karena masih mau menyediakan space untuk playground, meskipun hanya berupa perosotan, setidaknya duo bocil ku dan keponakan cakep, senang. Tak jauh dari arena bermain anak, ada tower tinggi menjulang, yang ternyata di pucuknya dipasang kincir angin. Sepintas bukan kincir angin biasa, rupanya baling-baling itu dimanfaatkan sebagai sumber listrik, terlihat dari instalasi kabel yang cukup rumit terpasang di sisi kincir. Maklum, memang rest area ini berada di ketinggian! 

Ini pengalaman pertama kami melancong ke kota Bandung. Lepas layang MBZ dan lanjut ke tol Cipularang, adalah hal yang paling menarik perhatianku. Tol yang terkenal dengan aroma mistisnya ini ternyata cukup keren, mirip tol di Semarang. Kontur tanahnya naik turun, membelah bukit. Bahkan di beberapa titik menanjak, selalu ada antrian. Kendaraan yang melintas, banyak kendaraan besar. Truck kontainer, dump truck tambang, dan kendaraan berat lainnya salah satu penyebab arus tersendat. 

Uniknya, di setiap jembatan yang membentang di toll, ada rambu lalin yang baru ku jumpai. “Truk berada di jalur ini” lengkap dengan gambar truk long bak. Lajur kanan khusus untuk kendaraan kecil atau mobil pribadi. Menjelang tanjakan, ada rambu perintah untuk truk muatan kembali ke lajur kiri. Ilmu yang baru kami tahu! 

Bonus pagi ini saat melintas di jalan berbayar adalah hujan! Udara sejuk pun sangat terasa. Syukurlah! Pemandangan yang cukup ya pada saat melintas di bukit yang bertuliskan Kabupaten Bandung Barat, dari kejauhan cukup jelas, berada di antara rerimbunan pepohonan. Tak jauh dari situ, ada juga iklan komersial yang juga teronggok di atas bukit, mbois gess! Bahkan, ternyata jalur kereta cepat Woosh, juga melintang di atas toll Cipularang, double kerennya! 

Jalur cepat menuju Bandung ini terbilang sempit, hanya dua lajur utama, dan jalur darurat. Meskipun begitu, weekend ini termasuk lancar, hanya tersendat di pintu toll Pasteur. Kendaraan mengular, ditambah lagi traffic light yang berada tak jauh dari gate keluar toll Pasteur. Lepas dari layang Pasupati, padat lancar. 

Pemandangan mirip hutan langsung tersaji di area Bandung Zoo. Kanan dan kirinya “dipadati” tumbuhan nan hijau. Ranting dan daunnya menutupi jalan, mirip kanopi. Terik yang kami nikmati sepanjang jalan, tak kami jumpai di sini, yang ada hanya rasa sejuk di antara lebatnya daun dan ranting yang saling silang. Sayangnya panorama ini tak berlangsung lama, selang beberapa meter, sengkarut lalu lintas dan sempitnya jalan seketika merusak mood. Hmmm..

Kotanya terbilang padat, dengan lanskap yang naik turun khas kota pegunungan. Pantas saja, banyak pelancong domestik, seperti Jakarta, doyan main ke kota ini. Panasnya tak sepanas Jakarta, masih ada sejuk dan semilir angin (meskipun ya ga dingin-dingin amat hehehe). Dari tata kota, terutama di daerah Dago, masih cukup semrawut. Bahkan beberapa titik sempadan jalan terlihat rusak, dan belum dirapikan kembali. 

Trotoarnya juga terpantau dimanfaatkan pedagang untuk menggelar lapak, semi permanen. Jika ingin jalan kaki, ya harus mengalah turun ke badan jalan, beresiko. Apalagi jalanan cenderung menurun. Sampah dedaunan, ditambah plastik bertebaran, seperti tak ada yang membersihkan. Apakah karena sedang hari Minggu? Jadi petugas kebersihannya libur? Entahlah, faktanya ketika kami melintas, pemandangan itu yang sedang tersaji. 

Shakti Villa Dago

Setelah check in, rombongan kami memutuskan untuk rehat sejenak, membersihkan badan setelah hampir lima jam perjalanan. Ada yang menarik di lingkungan tempat kami menginap, di balik jalan nan sempit, ada gang dengan perumahan yang extra besar, kontradiksi. 

One gate system, begitu perumahan ini mengatur keluar masuk warganya. Berada di gang pertama, dekat dengan pintu pos pengamanan, membuat kami mudah mencari alamat tujuan, Shakti Villa Dago. Banyak diantara rumah mewah di sini dikomersilkan, meskipun beberapa diantaranya tak beralih fungsi, menjadi rumah tinggal. 

Dari pengamatan, ada yang dijadikan kantor hukum, sekolah exclusive, kost, hingga disewakan per unit. Lingkungan sekitar cukup ramai, mungkin karena kami berkunjung di akhir pekan. Banyak diantaranya ber plat B alias warga Jakarta Raya. Bahkan, di Villa tempat kami menginap, parkirannya luber hingga ke jalan perumahan. Lahan kosong pun tak luput untuk dimanfaatkan jadi kantong parkir. 

Kecepatan dan ketepatan dunia maya memang tak terbendung, termasuk cara kami mencari penginapan dan akhirnya memilih Shakti Villa Dago ini. Review nya cukup bagus dan worth it!! Dan benar saja, ulasannya bukan kaleng-kaleng, tapi murni dari penilaian pengunjung penginapan. Tak salah kami memilih. 

Parkir mobil lumayan luas, muat hingga 10 mobil, ada penjaga keamanannya juga, bahkan ada layanan parkir free valet. Tiket penginapan yang kami pesan melalui online seminggu sebelum hari H pun kami sodorkan. Hanya menunjukkan KTP untuk di copy, akses pintu kamar pun sudah di tangan, tak sampai sepuluh menit. 

Just info, untuk tipe kamar ada dua tipe ya Lurs, untuk family room dan single room. Kedua tipe kami pesan, satu untuk keluarga kecil Adikku (suami, istri, aunty dan satu anak bayi) dan satunya tipe family muat untuk duo bocil, bapak emaknya dan Ibu (nenek dari 3 bocil). 

Fasilitas yang bisa dinikmati tak kalah dengan hotel, ada kolam renang, free wifi, TV kabel, free WiFi, water heater lengkap dengan kopi dan teh serta air mineral. Mandi kapanpun bisa, karena sudah dilengkapi cool and hot water. Tipe famili ini dilengkapi dua fasilitas toilet dengan ruang terpisah. Jadi tak perlu antri jika tetiba kebelet nya bersamaan hehehe

Pendingin makanan alias kulkas mini juga tersedia di sini. Lemari untuk gantungan pakaian juga sudah disiapkan. Mau jalan-jalan khawatir dengan perhiasan dan benda berharga lainnya? Tenang, di villa ini juga disediakan safety box untuk tamu, agar tak was-was jika ingin berkeliling di seputaran Kota Bandung. 

Mau berenang bersama bocil? Bisa dong. Villa Shakti ini menyediakan kolam untuk anak-anak dan dewasa. Kolam anak kedalamannya sekitar 50 cm, sedangkan untuk dewasa, bervariasi. Mulai dari 120 cm, hingga 170 cm. Lapar dan haus selepas renang? Langsung saja ke resto yang persis berada di sisi kolam renang. Bisa buffet atau prasmanan, per orang hanya Rp.75.000,-

Menikmati Malam Mingguan di Kota Kembang

Puas berenang dan berkubang di kolam renang, kami lanjutkan perjalanan tamasya selepas Magrib. Selain sudah mulai gelap, udaranya makin adem, tak silau di mata. Tentu saja isi bahan bakar perut dulu Lurs! Jauh-jauh main dari Ibukota, melipirnya ke rumah makan sop Djakarta Soenda Cipaganti atau lebih dikenal Sop DjanDa hahaha

Maksud hati ingin merasakan langsung siomay Hoki di “rumah” nya yang berseliweran di Jakarta, namun apa daya, malam mulai menyelimuti Bandung dan sekitarnya. Daripada perut lapar tak ketulungan, mending diisi dulu dengan yang enyak-enyak hehehe

Nama sop DjanDa memang sudah lama terdengar, namun belum sekalipun mencobanya, beruntung di Bandung ada sop populer itu. Jalanan kota memang sempit, namun antusiasme warga dan pelancong tetap tinggi. Badan jalan penuh dengan mobil dan motor terparkir, ditambah lampu lalu lintas di setiap persimpangan membuat malam minggu kami berbeda dari biasanya, meskipun tak separah Jakarta ya! 

Kuliner di Kota Kembang sudah lama tersiar, surganya makanan unik dan enak, ya di Ibukota Provinsi Jawa Barat ini. Di sepanjang jalan protokol yang kami lalui, selalu penuh dengan penjual dan pembeli, meriah. Jalanan sempit, trotoar pun dimanfaatkan untuk parkir, lengkap deh! Namun satu yang ku amati berbeda dengan Jakarta, pengendara di sana sopan-sopan, tak ada klakson bersahutan, meskipun kondisinya sangat padat, top BGT! 

Lahan parkir yang terbatas, membuat kami harus “numpang” di halaman masjid tak jauh dari resto yang kami tuju. Melawan gelap dan berjubelnya kendaraan tak jadi masalah, yang penting raja naga di perut kami tak berontak! Khawatir main musik keroncongan hehehe

Sesampainya di resto, kami diarahkan ke lantai atas, maklum rombongan. Benar saja, tempatnya cozy banget, ada dua pilihan, duduk lesehan, atau makan di meja. Tentu saja lesehan lebih menggoda. Tak ada AC, ruangannya terbuka, hanya beberapa kipas gantung yang ada, tapi tak satupun dinyalakan, sudah terlanjur sejuk kawan! 

Dinding sekelilingnya mengandalkan ekspose batu bata merah, dengan sedikit sentuhan ornamen, membuat interior restoran kece. Kaca yang terpasang di wastafelnya juga oke, klasik-klasik gitu. Daun jendelanya juga unik, berbentuk setengah lingkaran, dibagi menjadi dua. Colokan untuk charger, ada kok, mungkin bisa dicoba untuk nongkrong, pesan kopi segelas, dan tunggu diusir kalau berlama-lama di sini, ingat, ini rumah makan Lurs, bukan kafe hehehe

Seperti namanya, menu andalannya ya sop. Kami memesan sop iga plus sate maranggi. Tentunya nasi putih ya lurs untuk penyokong utama energi kita. Dari rasa, bisa dinilai delapan lah kalau harus kasih skor sampai sepuluh. Paling nikmat ya sate maranggi nya. Dagingnya empuk, dan rasanya cukup nendang, pecah banget! Iga nya juga lunak, jadi mudah dikunyah. 

Kekurangan di RM ini, tidak ada pembayaran Qris, hanya menerima tunai dan transfer. Sayang kan kalau bayar makan masih dibebani biaya transfer (kalau beda bank sih), belum lagi bayar kang parkir, kan bisa beli buat kerupuk emping. Semoga semakin mengikuti perkembangan jaman ya! 

Yo ayo Monju! 

Setelah mengisi perut full tank, kami melanjutkan wisata malam, dan tentunya masih kulineran (yang ringan-ringan ya). Cemilan di sini memanjakan mata, sepanjang perjalanan, di titik tertentu cukup padat, aneka makanan dan minuman dijajakan, tak terkecuali di sekitaran Monju. 

Langit yang sejak sore mendung, akhirnya menitikkan air di Monju. Lapangan yang tepat berseberangan dengan Gedung Sate ini sedang ramai pengunjung. Tak pelak, beberapa wisatawan yang sedang asyik tiduran atau kongkow, seketika berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Rombongan kami aman, karena sedang antri di tenda nasi goreng hehehe

Tak lama berselang, gerimis pun redah. Kami yang sudah hampir setengah jam antri makan, dapat tempat strategis untuk lesehan. Beruntung. Banyak warga Bandung yang menghabiskan malam minggu di lapangan ini, selain tempatnya yang luas, aneka kuliner cukup terjangkau harganya. Ramah di kantong! 

Ada yang menarik perhatian ketika berkunjung di sini. Di pintu masuk, ada semacam “gerbang”. Diantara pengunjung, ada yang ber swafoto di pintu “gerbang”. Kami yang penasaran pun mendekat, ternyata itu adalah sebuah monumen! Banyak pesan moral yang ditulis di sekitarnya. Monumen COVID 19! Ada banyak nama tenaga kerja kesehatan yang namanya terpampang di dinding pintu gerbang. 

Secara simbol, memang ornamen yang ada di sini mirip visualisasi virus corona. Virus yang merenggut puluhan ribu nyawa masyarakat dan tenaga medis itu, diabadikan di satu sudut Monju. Pesan moral pun sangat menyentuh, heroik dan penuh optimisme. Bahwa virus ini akan minggat dari Bumi Pasundan! Orang boleh lupa dengan tragedi kemanusiaan ini, namun tidak dengan monumen yang berdiri gagah, mengabadikan nama-nama pahlawan kesehatan! 

Sayangnya ketika mencoba fasum di sini (red: toilet) pengunjung kurang menjaga kebersihan. Hasilnya? Bisa ditebak, bau dan kotornya menyebar satu ruangan. Sungguh disayangkan. Jika mereka sadar bahwa kebersihan adalah tanggung jawab bersama, otomatis sarana umumnya akan bertahan lama. Jika sudah awet, no ruwet-ruwet!  (Bersambung) 









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?