[Jumpa lagi] Taman Bendi!

Berkunjung ke taman hijau nan asri ini, terakhir ketika matahari cukup menyengat, debu bertebaran, rumput kecoklatan, ranting dan daun tak saling sapa. Ah, ambyar, gersang! Sejauh mata memandang, hanya fatamorgana yang tampak di sepanjang rel kereta. Saking panasnya! 

Bahkan di taman ini juga menyimpan cerita, es teh solo nan segar ditengah terik siang, membuat bencana. Minum es, di tengah cuaca panas menyerang, memang nikmat. Selain segar, sensasi dingin ketika lewat tenggorokan dan masuk kerongkongan, puasnya tiada tara. Namun siapa sangka, sore harinya, si bungsu muntah berak dan demam. Rupanya teh yang kubeli di pinggiran jalan itu tak sepenuhnya “aman” untuk bocil. Aku sendiri tak ada masalah setelah mengonsumsi teh yang sama. 

Belajar dari pengalaman, pagi menjelang siang ini, paling aman ya isi perut dulu, baru lanjut ngemil dan tentu saja, minum susu kemasan yang lebih “higienis” dan sebotol air mineral ukuran jumbo, kiranya sudah cukup. Tak perlu dingin, cukup dengan suhu ruangan, yang sudah tentu dingin karena AC nya memang yahuuutt! Dinginnya maknyus! 

Tampak taman begitu hijau, rerumputan yang kami jumpai tiga bulanan lalu itu, jauh terlihat lebih segar, sedap dipandang mata. Pepohonan yang meranggas ketika kemarau melanda pun, mulai terpantau begitu rimbun. Daun muda yang baru tumbuh pun cukup mencolok warnanya, dibanding dedaunan yang bertahan saat musim panas. 

Tak banyak berubah dengan kondisi taman ini, hanya saja di beberapa titik, tanaman daun ungu yang mirip bayam itu lenyap alias diganti. Entah apa nama tanaman penggantinya, yang jelas bentuknya mirip kembang anting putri, rajin disiram siang dan malam, indah di mata, tapi tak bisa tumbuh menjadi besar. 

Satu yang pasti, lapangan bola yang ada di tengah-tengah taman, sudah mirip sawah setelah panen, becek! Tanah liat terpampang nyata, lengkap dengan bekas kaki pemain bolanya, seperti selesai dibajak. Kalau mau tetap bersih, saran saja, jangan melintas di atas tanah taman secara langsung, dijamin sepatu dan sandal anda akan terasa berat. Tanah liat akan menempel di sol sandal atau sepatu, kalau sudah seperti itu, butuh ketelatenan tingkat tinggi untuk bisa melepaskannya!

Selain “lepas kangen”, tujuan kami kemari tak lain ya cari udara segar. Tak terlalu ramai, bahkan cenderung sepi, meskipun sudah memasuki akhir pekan. Asongan penjual makanan dan minuman berjajar di sepanjang pintu masuk perumahan yang juga sejajar dengan taman. Siang dan malam, taman ini memang tak pernah sepi dari pedagang, bahkan ketika petang menjelang, jumlahnya semakin bertambah, tak hanya di sisi selatan, Taman Bendi sisi utara juga meriah. 

Taman yang “terbelah” menjadi empat bagian ini terhitung cukup luas. Sisi utara dan selatan, “dibelah” oleh rel perlintasan kereta, sedangkan sisi barat dan timur, “dipisahkan” oleh jalan Raya Bendi Utama. Uniknya, taman di sisi timur, berbatasan langsung dengan Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, nah loh! Bahkan, kantor petugas taman kotanya berada menjorok ke area makam. 

Mirip tempat workshop, para pekerja taman absen dan berkumpul disini, ada pembibitan tanaman. Tanaman-tanaman kecil ini ditanam di media polybag. Bisa jadi untuk menggantikan tanaman yang sudah mati atau memang untuk penyegaran. Beberapa truk tangki air dinas pertamanan juga terpantau terparkir di sini. 

Learning by doing

Kereta melintas setiap sepuluh menit sekali, dan karena rell ganda, adakalanya gerbong kereta ini saling berpapasan. Duo bocil berdiri tak jauh dari rel kereta. Sembari melambaikan tangan ke arah kereta, berharap klakson nan berisik itu berbunyi. Betapa kegirangannya mereka, jika masinis berbalas melambaikan tangan dan membunyikan klakson. Jingkrak-jingkrak si adek sambil berucap “Pak, sopirnya dadah-dadah.” Kami berdua hanya tersenyum simpul, saat itulah kami “masuk”.

“Adek dan Kakak, orang yang mengemudikan kereta itu namanya masinis” enaknya menjelaskan

“Kalau sopir itu yang mengendarai itu yang di jalan” jelas ku sambil menuding mobil yang sedang melintas

Tetiba ada pesawat melintas, “Kalau yang mengemudikan pesawat, siapa namanya, Kak?” tanyaku

“Kakak nggak kenal namanya, Pak” jawabnya polos

Kami terkekeh mendengar jawaban si Kakak. Mungkin dia tak bermaksud menjawab nama dengan makna denotasi hehehe

“Pengemudi pesawat itu namanya pilot Kak, Dek” emaknya menjawab sambil tersenyum. 

“Kalau yang mengemudikan kapal siapa, Bun? Kaya yang di Goa China itu?” rupanya adik masih ingat betul dengan replika kapal yang ada di atas bukit Goa China.

“Orang yang bertugas nyetir kapal itu namanya Nahkoda, Dik” ujarku sambil mengelus rambutnya. 

Mereka hanya mengangguk, meng-iya-kan jawabanku. 

Percakapan itu usai ketika si Kakak mengambil batu dan melempar pohon tepat di batang pokoknya. Getah berwarna putih mirip susu itu pun mengucur deras. 

“Bapak, ini keluar apanya?” tanya Kakak heboh. Maklum, sebelumnya dia belum pernah melihatnya. Dia sangat seksama memperhatikannya. Sekali lagi dia ambil batu, dan melemparkannya di bagian lain, lagi-lagi getah mengalir. 

“Itu namanya getah, Kak” sahutku

“Apa itu getah?” timpalnya penasaran

“Getah itu mirip darah pada manusia, kalau manusia itu kan darahnya warnanya merah, seperti adik terjatuh kapan hari, keluar darah kan?”

“Ya sama seperti itu. Kalau kakak melempar pohon ini, dia terluka, makanya keluar getahnya. Jangan lagi dilempar ya, kasihan pohonnya” panjang lebar aku menjelaskan

Terlihat kakak dan adiknya berpikir, mencoba mencerna jawabanku. Pertanyaan sederhana pun, emak dan bapaknya “wajib” menjawab dengan analogi yang tepat, agar tidak “tersesat”.

Seperti beberapa hari yang lalu, ketika haul akungnya yang kedua, tetiba kakak bertanya padaku, “kenapa sih harus berdo'a buat Kung, Pak?”

“Kung itu kan pulang ke Allah, jadi makanannya sekarang bukan nasi”

“Kung itu makan dan minumnya dari doa nya Kakak, Adik, Bapak, Uti, Ante, Bunda dan saudara lainnya”

“Kalau tidak dikirim doa, kasihan Kung, ga ada makanan, nanti lapar, Le” pungkas ku. 

“Oh, begitu ya Pak. Berarti kucing itu juga harus di doakan juga ya, kan blacky juga pulang ke Allah” tanyanya lagi

Duo bocil benar-benar memperhatikan kejadian sekitar. Kurang lebih sebulan yang lalu, memang ada kucing mati persis di depan pagar rumah kami. Kondisinya sudah kaku, dengan kaki yang terluka parah. Sepertinya ada motor yang tak sengaja menabrak kucing warna hitam putih itu. Sontak mereka berdua bersimpati “Kasihan Bunda, blacky mati, dia pulang ke rumah Allah ya?”

Dasar bocil memang gampang bosan, mereka mengajakku untuk mencari ranting. Cukup mudah menjumpai ranting yang rontok di sini, maklum jumlah pohonnya cukup banyak. Dalam waktu singkat kami mengumpulkan ranting-ranting kecil. Disaat itu pula, kreativitas mereka muncul. 

Kakak mengambil ranting yang cukup panjang berimajinasi sedang memancing. Joran lengkap dengan reel-nya. Seolah sedang mendapatkan ikan target, posisinya sama persis dengan pemancing profesional, menarik joran dan memutar reel-nya. Kali ini mancingnya di pinggir rel yang penuh batu tanpa air!hehehe

Berbeda dengan adiknya, ranting pohon ukuran kecil di genggamnya, sejurus kemudian dia membungkuk sambil mengorek sampah yang ada di sekitar alas yang kami gelar. Menyapu halaman, katanya. Melihat tingkah pola mereka, membuat kami berdua gemassss. Mereka menyimpan dan mengingat setiap apa yang kami lihat, kami dengar, kami ucapkan dan kami lakukan. 

Tak salah jika kita sering mendengar pernyataan, “cermin terbaik adalah anak”


#BerceritaTaman #Taman #Jaksel #Jakarta #Besongol #BesongolNongolLagi #Pandaan #CeritaDariTaman #CDT



[Pura-pura] Sedang pasang umpan

Berburu klanting, eh, ranting, ding!!! 

Bukan Persaming, tapi per ranting


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?