Nestapa Tinggal di Tepi Jalan Susun

Jalan layang atau jalan bertingkat sudah lumrah adanya di kota besar seperti Jakarta. Banyaknya kendaraan yang beredar, tak sebanding dengan ketersediaan jalan, hasilnya? Macet dimana-mana. Apalagi kalau pas rush hour atau jam sibuk, macetnya bakal mengular dan membuat setengah putus asa. Dulu, berita seperti ini, bagiku hanya selintas lalu, maklum tak merasakan langsung perjuangan menembus kemacetan. 

Takdir berkata lain, aku harus “hijrah” alias pindah dinas ke kota yang mungkin bagi sebagian orang, adalah mimpi untuk berkarir dan meraih sukses. Namun, tidak semua itu benar adanya. Di sini, semuanya terasa tergesa-gesa, grusa-grusu, begitu orang Jawa bilang. Waktu adalah uang, ya di sini tempatnya, kota yang digadang-gadang menjadi kota global mendunia. 

Kota se-kaya dan se-modern Jakarta, cukup mudah untuk membangun infrastruktur publik, entah itu taman, jalan, jembatan, terowongan (red: MRT) , angkutan umum dan sebagainya. Bukan tanpa alasan, selain menjadi ibukota negara, Jakarta juga mampu mengelola potensi daerahnya secara maksimal. Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya bisa diandalkan! 

Sarana dan prasarana publik cukup mumpuni di sini. Salah satunya angkutan “desa” dengan tarif nol alias gratis. Moda transportasi ini menyasar gang-gang kecil untuk mengangkut penumpang, cukup tapping sekali, Anda sudah berhak naik mikro trans. Integrasi transportasi di sini, bisa menjadi rujukan bagi daerah lain, jika ingin memaksimalkan kendaraan publik sebagai transportasi utama. Ada istilah kendaraan pengumpan, tujuannya ya mempermudah masyarakat untuk menjangkau tujuan di seputar Jakarta, tentunya ramah di kantong. 

Jalan layang alias jalan bertingkat, mudah ditemui di kota yang dulunya bernama Jayakarta ini. Sebut saja layang MBZ (Mohammed Bin Zayed toll road), Simpang Susun Semanggi, Layang Antasari, Jalur Trans Jakarta Kapten Tendean-Ciledug. Namun tentu saja yang sangat spesial adalah Layang Antasari, mengapa? 

Fakta Tentang Layang Antasari

Jalan sodetan yang menghubungkan TB Simatupang dan Blok M ini memiliki panjang hampir lima kilometer. Dibangun selama tahun 2010 hingga 2012. Dua tahun lamanya pembangunan jalan layang ini, diharapkan mampu mengurai kemacetan di Fatmawati Raya. Menariknya layang Antasari ini tidak berbayar alias Jalan Layang Non Tol (akr: JLNT). Jalur ini berlaku fungsional, tak hanya melayani Blok M-Pasar Cipete, namun juga sebaliknya. Ada kalanya jalan yang memiliki lebar hampir sembilan meter ini, berlaku one way ketika jam sibuk kantor. Senin-Jumat, dari jam enam hingga sepuluh, satu arah untuk kendaraan menuju Blok M. 

Ada satu titik yang menarik untuk dikulik, diantaranya, adanya makam yang terbelah! Letaknya persis di turunan, menjelang pertigaan RS Brawijaya. Dari sumber yang aku dapat, driver online yang asli Betawi, bahwa benar adanya saat itu, proyek raya Antasari ini, harus memindahkan beberapa makam karena dilintasi proyek jalan besar ini. Alhasil, TPU terbelah menjadi dua, di sisi kiri dan kanan jalan. Sekelumit cerita, namun mencerahkan dan menjawab penasaran. 

Fakta berikutnya yang tak kalah mengejutkan, layang Antasari ini membelah di antara perkampungan. Jarak antara rumah warga dan jalan layang ini sangat dekat. Bisa dibayangkan kan, bagaimana warga menghadapi polusi setiap harinya? 

Serba Ganda

Bagi masyarakat sekitar, sudah terbiasa dengan kondisi ini. Polusi yang ditimbulkan tak hanya debu, namun juga suara. Memasuki musim kemarau, polutan akan melayang dan menyusup ke dalam rumah warga sekitar. Dengan kondisi lalu lintas Jakarta yang tak pernah sepi, ini adalah pekerjaan rumah yang rutin tiap hari dihadapi! Loster rumah dan atap tak pernah bebas debu, jaraknya yang hanya sejengkal dari tempat tinggal warga adalah masalahnya. Cocoknya memang buat tempat usaha, syaratnya satu, harus rajin bersih-bersih. 

Sumber polusi berikutnya datang dari raungan mesin kendaraan. Menggeber knalpot motor seperti Harley, knalpot brong atau motor sport di sepanjang Layang Antasari mirip dentuman meriam. Coba Anda bayangkan, apakah masa kecil anda pernah berteriak di ruangan tertutup dan kosong? Apa yang terjadi? Gema suara! Ya, kira-kira gambaran realitanya seperti itu, suara yang juga dijumpai di sepanjang jalan Antasari. 

Sisi bawah jalan Antasari ini mirip lorong yang memanjang. Di atas ada jalan, sedangkan di sisi kanan dan kirinya dibatasi oleh rumah warga, ruko dan perkantoran. Suara itu tak kemana-mana, hanya memantul-mantul antara jalan dan rumah warga. Betapa “sabar”nya penduduk sekitar menghadapi ujian kemajuan kota. 

Suara bising ini terasa lebih “semarak” ketika malam datang, apalagi menjelang dan memasuki akhir pekan, Jumat dan Sabtu. Sudah terkenal sejak dulu, sepanjang jalan raya Pangeran Antasari ini, menjadi ajang balap liar. Geberan knalpotnya mirip di arena balap yang sesungguhnya, saling beradu, seolah sedang psywar sebelum benar-benar balapan. Tak ada warga yang berani menegur mereka, seolah dibiarkan begitu saja. Padahal sering juga memakan korban jiwa, tapi itu tak membuat mereka jera. 

Akan jadi masalah yang serius ketika ada tamu yang berkunjung dan menginap. Dijamin malam pertama akan gelisah dan tak betah. Riuh suara mesin akan menghiasi sepanjang siang dan malam. Dibutuhkan adaptasi yang luar biasa untuk tinggal di sini. Berdamai dengan keadaan adalah kuncinya! 

Aku bermimpi, suatu saat ada bahan bangunan yang ramah lingkungan. Bisa menyerap debu dan tentunya kedap suara. Tujuannya satu, agar tak ada beda, tinggal di desa dan di perkotaan. Kini aku mulai paham “derita” tinggal di tepi jalan raya. Satu ruas jalan saja sudah masalah, apalagi dua, atas dan bawah. Polusinya ganda!

#Jakarta #Jaksel #JLNT #JakartaSelatan #WonderfulJakarta #Antasari

Gambar Ilustrasi by Canva


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?