Parfum Sujali

Sore baru saja berganti malam, adzan Magrib masih berkumandang. Gerah, sudah lebih dari sebulan, kampung Tutur tak turun hujan. Mendung hanya menyapa sejenak, setelah itu pergi tanpa pamit. Pun kalau turun, hanya butir air mirip semprotan parfum, tambah sumuk, begitu kata orang kebanyakan. Beruntungnya mata air terpelihara baik di sini. 

Denok baru selesai mencuci baju, di bilik sumber air yang tak jauh dari rumahnya. Namun, bukan berarti tak butuh “perjuangan” untuk menjangkaunya. Jalannya naik turun, berundak dan cukup terjal. Aksesnya berupa jalan setapak, dengan anak tangga tanah liat yang terekspos sempurna, kemerahan. Di kedua sisinya terpasang bambu, dengan kemiringan empat puluh lima derajat, menurun, untuk berpegangan. 

Jum'at adalah hari yang paling dinanti Denok, hari dimana arjunanya pulang dari peraduan, Sujali. Pantas saja dia selalu antusias menyambut hari spesial itu. Dibereskan semua olehnya pekerjaan rumah, agar ketika suaminya datang, dia bisa duduk leha-leha (red: bersantai), dan tentu saja berbincang manja. 

Mulai dari memasak, mencuci baju, setrika hingga bersih-bersih rumah, dia kerjakan sendiri. Sejak remaja, Denok adalah seorang perempuan mandiri dan strong. Tak sedikit pun dia mengeluh. Aktivitas ini ia lakukan tanpa suami disisinya. Sudah tiga bulan terakhir, sejak suaminya harus bekerja di luar kota alias Long Distance Marriage (akr: LDM). 

Berjauhan dengan sang pasangan dalam tali pernikahan memang bukan perkara mudah, termasuk Denok dan Sujali. Mereka baru satu tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Sejak pacaran LDR-an, memasuki babak baru, mereka terpaksa menjalani hal yang sama. Keduanya telah “lulus” melewati ujian pertama. 

Raut muka Denok tiba-tiba berubah. Bibirnya manyun, kedua alisnya hampir saja menyentuh satu sama lain. Bedak yang dipakai sejak matahari tergelincir mulai pudar. Wanita bahenol, pujaan Sujali itu harap-harap cemas, terus memandangi layar handphone-nya. Rindunya sudah renjana, namun sang pasangan tak kunjung tiba. Biasanya, selepas Magrib, pujaan hatinya sudah nyata di depan mata. Kali ini tidak. 

Kebiasaan mereka chattingan untuk saling berkabar tak mereka lakukan sore itu. Denok terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah, apalagi seharian ini dia ada ekstra pekerjaan, menyiapkan masakan permintaan suami tercinta. Masakannya sih biasa, tapi dia kehabisan semua bahan untuk dimasak di kulkas. Jadilah dia pergi ke pasar untuk berbelanja. Dua jam lamanya harus berjibaku, membeli sayur mayur dan lauk pauk. Kebiasaan yang seharusnya tak dilakukan di hari Jum'at. 

Kopi hitam yang sudah siap di meja makan itu mulai dingin. Satu jam berlalu, suaminya tak kunjung datang. Masakan yang sudah di siapkannya juga tak lagi mengeluarkan asap. Harum sedap makanan itu berangsur hilang. 

Pesan yang dikirim melalui WhatsApp pun hanya centang satu, tak terkirim. Mencoba menghubungi lewat telepon pun sama, sia-sia. Suara yang diharapkannya muncul dibalik telepon tak berhasil didengarkannya. Denok mulai cemas, perasaan kalut mulai menghinggapi pikirannya. Antara marah dan rindu jadi satu, campur aduk. Adzan Isya berkumandang dari toa masjid, disaat itu pula tiba-tiba suara motor berhenti persis di sebelah rumahnya. 

Denok yang sedari sore celingukan, langsung gelagapan dan bergegas mengintip dari balik tirai, sang suami datang! Melihat situasi itu, dia mencoba tenang, menyimpan semua pikiran yang amburadul berkecamuk, menunggu sang pangeran pulang. Tiga puluh menit, baginya adalah sesuatu yang mahal dan harus dibayar. Maklum, tak bersua dan bersanding dengan separuh jiwanya adalah hal yang berat. 

“Assalamu'alaikum, aku datang” Sujali membuka pintu

Sayangnya pintu rumahnya tampak seperti dikunci. Kelambu tertutup rapat, hingga tak sedikit pun Sujali bisa mengintip situasi dalam rumahnya

“Ayang, tolong bukain pintu dong” pinta Sujali. 

Tak mendapatkan jawaban dari istrinya, dia mencoba ke arah belakang rumah, mencoba mengetuk pintu dan jendela. Tapi hal yang sama dia dapat, tak ada respon. Lampu menyala sempurna. Neon warna jingga itu menerangi setiap sudut rumahnya. Dia berpikir mungkin sang istri tertidur. Berangkatlah Sujali ke masjid. 

Denok tak menggubris panggilan suaminya, perlahan turun dari tempat tidur. Wajahnya sembab, hampir setengah jam, dia menuangkan seluruh emosinya menjadi air mata. Tak menjawab salam, bukan berarti dia marah, dia malu kalau sesenggukan sambil menjawab salam suaminya. Dia mendengar semuanya, tapi tak sanggup untuk menjawab. Tak lagi mendapati suaminya mengetuk pintu dan memanggilnya, dia membuka pintu depan. 

Dua kardus coklat dan tas punggung tergeletak di sisi pintu. Diraihnya ketiga barang bawaan suaminya. Denok sudah tau kalau Sujali sedang ke masjid. Kebiasaan yang dilakukan suaminya ketika pulang kampung, bedanya, malam ini sang suami ke masjid mengenakan seragam pabrik. 

“Assalamu'alaikum, Denok deblong sayang, kamu di sana” mendapati pintu rumah terbuka, Sujali nyelonong masuk rumah. 

Sementara Denok sudah di ruang makan, menunggu cintanya pulang dari masjid. 

“Kamu kemana? Di WA centang satu, di telpon pun tak tersambung?” dengan nada ketus Denok melempar pertanyaan ke Sujali

“Akuuu.. “belum sampai Sujali menjawab, Denok memotong

“Kamu mampir ke mana saja, sampai telat pulang?” selidik Denok

Sujali sudah paham betul dengan karakter Denok yang kaku dan keras kepala, namun meski begitu, dia sangat tulus menerima kekurangan itu. 

“Aku tadi sempat ada masalah di jalan” jawab Sujali

“Masalah apa? Kenapa dengan handphone mu?” dengan nada tak kalah ketus, cenderung meninggi. 

“Ban motorku bocor, beruntung sudah dekat dengan stasiun” Sujali menjelaskan, sembari mengelus rambut hitam lurus istrinya

“Kamu belum menjawab, handphone mu kenapa Mas?” sembari menangkis tangan suaminya yang sedang mengelus rambutnya. Tak sedikit pun menoleh, padahal Sujali persis di sampingnya, hanya melirik. 

Sujali terus mencoba mendinginkan suasana, tetiba Denok sedikit menghentakkan piring di atas meja kaca ketika akan mengambil nasi. Sujali terkaget, reflek mendorong punggung istrinya, hingga dada sang istri terdesak, Denok semakin naik pitam. Nangis sejadi-jadinya. 

*****Denok bertengkar hebat dengan Sujali******

Hal kecil menjadi semakin membesar. Sujali hanya terdiam, walaupun dia sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya, Denok takkan menerima apapun alasan Sujali. Dilempar piring yang sudah di genggaman, namun Sujali dengan cekatan menahan tangan istrinya. Dia berusaha terus mendekap istrinya, sembari menenangkan. 

“Aku minta maaf, bahkan aku tak punya sedikit pun pikiran kalau akan jadi seperti ini”

“Dengarkan aku dulu, aku ingin menceritakan semuanya, kenapa aku pulang terlambat” Sujali berbisik di telinga ayangnya. 

“Denok, istriku, aku lupa untuk nge-charge handphone ku semalam, chatting terakhir denganmu siang tadi, baterai ku hanya sisa lima persen” Sujali mulai membuka ikhwal dia tak menggubris pesan dan panggilan suara istrinya

“Lepas istirahat, aku lanjut di workshop, kamu tahu kan? Aku gak bisa main handphone pas lagi kerja?”

“Gawai di pabrik juga sedang sibuk-sibuknya, mesin cetak banyak yang bermasalah, aku harus meluangkan waktu lebih untuk membereskannya” tambah Sujali

“Ditambah lagi, ban motorku bocor pas jalan ke stasiun, mana jalanan juga macet parah. Mau berkabar, tapi apa daya handphone ku mati”

“Aku lebih memilih bergegas, daripada hanya isi ulang daya baterai HP, berharap, sampai rumah tepat pada waktunya, meskipun aku paham, takkan terjadi, karena memang dari pabrik, aku jalan pulang sudah terlambat” pungkasnya. 

“Tapi, kenapa Mas, tak berpesan siang tadi, bisa kan mengabariku kalau baterainya tinggal lima persen?” sanggah Denok

“Aku tak kepikiran sama sekali Nok, maafkan aku ya?” dengan nada yang sedikit merendah

“Benar juga kata Denok tapi kenapa aku tak melakukannya ya? Tapi sudah terlanjur, toh Denok marahnya telah memuncak” Sujali membatin. 

Dekapan Sujali semakin erat, tubuh Denok yang sintal itu terus dipeluknya dari belakang. Denok, yang sesenggukan, masih terus ia rayu. Hanya kesalahpahaman kecil yang membuat istrinya bete malam ini. Sentuhan kecil itu membuat Denok nyaman, inilah yang dia nantikan setiap minggu, kehadiran suami tercinta di sisinya. Mendapati kemarahan sang istri mereda, Sujali melepaskan pelukannya. 

Dengan langkah seribu, ia buru-buru ke dapur, mengambil barang bawaannya. Tas punggung warna hitam itu mulai memudar warnanya, keabu-abuan. Tas dengan beribu cerita itu menemaninya ke mana-mana, termasuk saat bekerja. Sudah beberapa kali masuk “bengkel” reparasi tas dan koper. Entah itu ganti resleting, atau di wenter, agar warnanya tetap terjaga. Tas punggung itu kado dari pacarnya saat kuliah, tepatnya menjelang wisuda sarjananya. Pacar yang kini telah janji setia bersamanya, Denok. 

Tak berselang lama, Sujali kembali ke ruang makan. 

“Nok, lihat apa yang kubawa untukmu” ujar Sujali sambil tersenyum

Denok pun menoleh, mengarah ke suaminya “Hmmmmm..Ayang, sejak kapan kau bisa seromantis ini” Denok menyahut boneka kucing dari tangan suaminya, suaranya semakin manja

“Tak biasanya kamu perhatian sama aku, jangan-jangan ada udang dibalik batu, nih?” Denok kembali melempar tanya. Kali ini nadanya riang, rasa sedih itu hilang bersama angin dan keheningan malam. 

Peluk dan cium Denok menyasar kening, pipi dan bibir Sujali. Dilemparnya boneka itu ke ranjang. 

“Hanya boneka Nok, aku hanya ingin bernostalgia” jawab Sujali sambil menyeruput kopi yang mulai dingin

Denok berusaha meraih kembali boneka yang dilemparkannya ke ranjang, sambil menggeret mesrah suaminya, Sujali. 

Maksud hati, Denok ingin “memancing” sang suami untuk menikmati malam berdua bersamanya. Tetiba aroma parfum dari bulu kucing merusak mood-nya. Wangi yang baginya mirip bau busuk itu muncul kembali, tepat di hidungnya. 

Ilustrasi menggunakan aplikasi Canva


Komentar

Posting Komentar

Besongol.xyz

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?