Pitulasan di Besongol
(Sambungan)
Dibalik nama domain www.besongol.xyz
Apa yang bisa kami lakukan di usia kanak-kanak tinggal di dusun yang kaya dengan sumber alam? Jawabnya singkat, bermain dengan mereka (red: alam). Sumber air yang melimpah, persawahan yang ijo royo-royo, dua sungai yang mengalir deras dan bening, kebun dan pekarangan yang luas, berikut dengan berbagai macam buah dan sayur mayurnya.
Sebelum teknologi dan internet menguasai dunia, termasuk perkampungan, banyak aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Sosialisasi dengan tetangga dan warga sekitar, menjadi aktivitas yang lumrah dan biasa. Tepa selira dan gotong-royong sangat sering dilakukan, apalagi ada peringatan hari besar atau agenda kampung, pastilah semua warga akan berpartisipasi. Guyub rukun
Glidikan atau Gotong-royong
Glidikan merupakan salah satu adat atau kebiasaan tak tertulis di kampung, untuk melakukan kegiatan seperti bersih desa, membangun fasum, atau memperbaiki rumah warga secara bersama-sama. Bagaimana cara menginformasikan bahwa akan ada glidikan, sedangkan grup WhatsApp belum ada saat itu?
Informasi biasanya disebar pada saat acara rutinan, seperti ngaji atau tahlilan. Penyampaian nya secara lisan, setelah acara pengajian selesai. Kemudian secara gethok tular, tersebarlah berita itu dari mulut ke mulut. Atau kalau memang acaranya dadakan, kentongan yang berada di balai dusun atau pos kamling, akan di pukul dengan sekencang-kencangnya!
Kentongan atau orang kampung menyebutnya titir adalah salah satu alat komunikasi dijamannya. Efektif untuk memberitahu kepada warga, bahwa ada kejadian tertentu, bisa darurat atau tidak. Uniknya, titir ini memiliki nada ketukan yang berbeda di setiap kejadian. Beberapa yang ku ingat kejadian-kejadian yang ada di papan "nada" diantaranya kobongan (kebakaran), pagebluk (wabah penyakit), rojo pati (orang meninggal), maling (pencurian) dan pertemuan.
Ada sekitar empat sampai lima kejadian yang tertulis di papan kecil, warna hitam yang dipasang di dinding pendopo (red: balai pertemuan warga atau balai dusun) dengan tulisan warna putih. Di papan itulah "tangga nada" setiap kejadian dituliskan. Sedangkan titir diletakkan persis di bawahnya.
Titir atau kentongan itu ukurannya cukup jumbo. Saat aku masih seusia SD, tingginya sama denganku. Terbuat dari gelondongan kayu besar, dengan diameter mungkin lebih dari sepuluh centimeter. Lebih mirip sasak tinju, menggantung, kanan dan kirinya terbuat dari bambu, tertanam di tanah. Titir itu berkelir putih mencolok, agar mudah ditemukan. Saking seringnya digunakan, sampai-sampai satu titiknya lubang cukup dalam, bisa dibayangkan kan?
Pitulasan
Pitulasan atau tujuh belasan atau tujuh belas Agustus, menjadi hajatan "terbesar" kedua setelah momen lebaran. Ada yang menarik setiap perayaan hari kemerdekaan, terutama di kampung atau desa. Hal yang paling ku ingat, ya lomba bersih desa, pesertanya adalah seluruh dusun yang masuk dalam satu desa. Desa Sumberejo ini memiliki delapan dusun, salah satunya, Besongol.
Sejarah tentang Besongol tak banyak yang tahu. Namun satu yang pasti, ada makam punden atau tetua yang ada di kompleks makam padukuhan atau dusun. Makam kuno itu, dulunya "dilindungi" oleh pohon beringin yang cukup besar. Konon katanya, usianya ratusan tahun. Letaknya persis dibawah pepohonan yang rimbun itu.
Istilah kerennya sing mbabat alas (yang buka area desa). Nama tetua di dusun ku dikenal dengan Mbah Suro. Seiring perkembangan jaman, pusara yang dulu terkenal angker dan dimanfaatkan orang untuk "cari wangsit", sekarang mulai diperbaiki dan dipercantik. Mulai dari jalan makam, lampu penerangan, hingga beberapa pohon dirapikan, agar kesan horornya berkurang.
Warga akan bergotong royong untuk memoles setiap sudut kampung. Kebiasaannya adalah rapat warga terpusat di padukuhan, dan untuk pemantapannya akan dilakukan per masing-masing RW dan RT. Hasil rapat biasanya akan ditindak lanjuti oleh ketua RT untuk proses eksekusinya. RT adalah koordinator di tingkat paling bawah setelah RW.
Hal remeh temen seperti pemangkasan ranting atau dahan pohon yang menjulur ke jalan desa, tak luput dari pantauan. Bahkan, dulu sebelum mengenal aspal, jalanan dusun ku sangat mulus ketika memasuki bulan Agustus. Meskipun dengan keterbatasan, tak ada kata menyerah, semua mengerahkan kemampuan dan kekuatannya dengan maksimal.
Batu atau kerikil akan sulit dijumpai dijalanan ketika masuk bulan kemerdekaan. Hal unik lainnya, pagar jadoel tempo dulu di setiap rumah itu sama! Di sisi kiri masuk pagar, terpahat tulisan angka sembilan belas, dan sisi kanan, tentu saja angka empat puluh lima! Pagar tembok tanpa acian itu, setiap tahun adalah target empuk bagi warga, apalagi kalau bukan untuk di cat ulang! Tulisan tahun kemerdekaan biasanya dicat dengan warna merah, jadi terlihat mencolok, dengan dasar temboknya semua berwarna putih.
Nyaput begitu istilahnya. Pengecatan pagar rumah menggunakan media sisa batang padi yang telah dipanen, dirangkai sedemikian rupa, seukuran genggaman orang dewasa. Diikat menggunakan gedebok (kulit ari pohon pisang yang sudah menua), panjang saput ini kurang lebih lima belas sampai dua puluh centimeter. Kuas alami yang mungkin sudah jarang dijumpai. Kreativitas itu bisa muncul dari keterbatasan.
Catnya menggunakan apa? Yap, gamping atau batu kapur. Setiap RT akan punya satu tempat mirip kolam ikan, seukuran empat meter persegi, dengan kedalaman satu meter. Tempat inilah yang menjadi pusat "produksi" cat gamping. Cat-cat itu akan di distribusikan ke setiap rumah warga. Bagaimana jika tidak mempunyai pagar tembok?
Beberapa warga ada yang memiliki ide membuat pagar dari bambu. Pagar sederhana yang munculnya dadakan dan rutin setiap tahun. Untuk mengamuflase warna hijau bambu yang masih segar, warga menyamarkannya dengan cat kapur atau gamping. Serba putih, terlihat bersih.
Agar terkesan sejuk, warga menanam tanaman rambat, yang bisa dipanen, seperti timun, atau labu. Sambil menyelam, minum kopi, eh minum air! Kanopi alami, begitulah kira-kira. Jalanan akan tampak "basah" ketika waktu penjurian itu tiba. Debu dijamin tak ada yang berkeliaran, meskipun jalanan desa masih berupa tanah.
Properti untuk membuat gapura pun sangat sederhana, memanfaatkan bambu yang memang keberadaannya sangat melimpah. Tempeh atau tampah, menjadi ornamen unik, untuk dipasang di sisi kanan dan kiri, berikut dengan tanggal bulan dan tahun kemerdekaan. Setidaknya butuh tiga tampah untuk satu gapura hehehe
Salah satu yang menarik perhatian ketika penjurian adalah bazar, atau pasar rakyat. Untuk memeriahkan dirgahayu Republik Indonesia, panitia juga menggelar lomba bazar, kategori pemenangnya adalah regu yang memiliki kreweng (pecahan genteng) terbanyak, kok bisa?
Agar bisa beli jajan dan penganan di bazar desa, warga harus menukarkan uangnya dengan kreweng. Ada panitia yang ditunjuk sebagai "money changer"nya. Uang ditukar dengan kreweng. Harga setiap makanan di banderol sama, untuk mempermudah konversi. Keren bukan??!!
Sayangnya, semuanya tak bisa terdokumentasikan dengan baik. Keterbatasan teknologi pemicunya. Dulu, untuk foto saja harus panggil tukang foto, dan antri lagi! Jadinya sebulan, tunggu cuci cetak filmnya. Jika Anda familiar dengan merk Kodak dan Fuji Film, sungguh indah dan nikmatnya masa lalu. Jiwa-jiwa petualang, ditengah keterbatasan!
Kisah ini saya tulis, untuk merawat ingatan. Jasmerah!
#Besongol #DusunBesongol #DesaAsri #Pandaan #Sumberejo #Pasuruan
Lab imajinasi by Canva |
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz