Gimbal Tempe
Srintil sengaja menenteng tempe yang ia beli dari pasar, namun kali ini agak beda. Dia membawanya tanpa kantong plastik, ada lima biji. Tangan kanan kirinya pun penuh tempe di genggaman. Semuanya dibungkus daun pisang, mirip klepon bulang tanpa kotaknya. Ke pasar sendiri, hanya untuk membeli tempe.
Pasar yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalnya itu, sudah ramai, bahkan sebelum Subuh, geliat pasar rakyat mulai terlihat. Dari puluhan pedagang tempe yang tersebar di pasar itu, Srintil telah menjatuhkan pilihan alias berlangganan ke salah satu lapak, Tempe Ngisi Roso. Bukan tak beralasan, Srintil kerap membeli tempe di TNR, karena mengikuti jejak mendiang ibunya.
Tempe Ngisi Roso ini memang berhasil bertahan sampai ke generasi ketiga, setara dengan cucu hingga kini. Rasanya pun cukup terjaga, hanya saja mereka mulai sedikit mengikuti trend masa kini, tempe kemasan plastik! Selain lebih praktis dan efisien, tentu harganya lebih murah jika dibandingkan daun pisang atau jati.
Dulunya selain dikenal karena gurih dan enak, TNR ini mempertahankan kekhasannya dengan tempe berbalut daun pisang. Lambat laun, ketersediaan daun pisang yang mulai jarang ditemui, kalau pun ada, harganya pasti sudah melambung tinggi.
Srintil adalah pelanggan yang paling depan untuk mengkritik TNR. Pertama kali mengetahui TNR menggelar lapak dengan beberapa tumpukan tempe dibungkus plastik, dia langsung nyolot, “Ini jualan tempe atau jualan plastik, Mas?”. Mas-mas yang berjaga hanya melempar senyum. Mereka sepertinya sudah hafal dengan perangai Srintil yang ceplas-ceplos.
Baginya tempe bungkus daun pisang nikmatnya tiada tanding. Selain aroma dari tempe yang alami, tambahan wangi daun pisang bisa menggugah selera. Tempe tak sekedar pembusukan kedelai, lebih dari itu. Proses pembuatannya pun agak rumit dan memerlukan waktu yang tak singkat.
Ada faktor yang membuat Srintil betah berlangganan hingga kini, produksi tempe di TNR ini masih sama, mempertahankan cara konvensional. Dalihnya adalah agar rasa dan aroma yang keluar ketika menjadi tempe, tak banyak berubah dari resep leluhur.
Bahkan gara-gara tempe, Srintil pernah bertengkar dengan Ningsih, tetangganya. Gegaranya simpel, Srintil tak terima ketika Ningsih nyacat (sin: menghina) tempe hidangan arisan di rumah Pak RT.
“Tempe darimana ini? Rasanya kok aneh” Ningsih nyeletuk ke ibu-ibu arisan
“Ada aroma yang menyengat” sambung Ningsih, sambil membau tempe yang sedang di tangannya. Sembari mengernyitkan dahi.
“Enggak ada yang aneh kok Bu, namanya tempe ya seperti itu” sahut salah seorang ibu-ibu sambil tertawa.
Tempe gimbal atau lebih dikenal tempe mendoan adalah salah satu hidangan saat bersantai. Termasuk disajikan ketika ada acara tertentu, seperti arisan, hajatan atau bersih desa/gotong royong.
Mendengar percakapan seperti itu, Srintil hanya terdiam. Jari-jari nya bertemu satu sama lain dan saling melumat. Menahan emosi, karena tempe yang dia bawa untuk acara kali ini, jadi bahan cemoohan. Dia berusaha tak menggubris setiap perbincangan mengenai tempenya. Namun, karena tak ada bahan untuk ngobrol, akhirnya dia hanya bisa pasrah.
“Rasanya sih enak, tapi bau tempe ini yang membuat selera jadi berkurang” nyinyir Ningsih.
“Kalau nggak enak, ya sudah jangan diteruskan, buang saja, daripada muntah, malah ke rumah sakit nanti” ujar ibu-ibu berjilbab hijau lumut, sembari tertawa lepas.
Sejurus kemudian, Ningsih tanpa ragu melempar sisa tempe gimbal itu ke tempat sampah. Bahkan, dia enggan berjalan. Dasar Ningsih tak tau sopan santun. Perangainya mirip dengan Srintil, ceplas ceplos dan spontan.
Dengan muka yang merah padam dan nafas mendengus, Srintil langsung berdiri ditengah kerumunan peserta ibu-ibu arisan. Posisinya berkacak pinggang, sudah seperti Janoko dalam lakon pewayangan.
“Hai Ningsih, jadi orang punya etika sedikit dong!!!” sentak Ningsih dengan nada gemetar. Sontak ibu-ibu yang hadir di acara itu diam membisu, suasana tiba-tiba menjadi hening.
“Dari tadi ku perhatikan kau ngomel terus, ngomongin tempe gimbal, kamu tau siapa yang bawa? Aku!!!” sambil menuding ke arah Ningsih. Semua mata terbelalak ke arah Srintil.
“Kalau memang tak suka, tak enak, kenapa kau sengaja terus nyerocos ngomongin tempe, hah? Bisa kau tahan mulutmu sedikit, beretika dong!!!” setengah teriak Srintil berkata-kata.
“Dasar ibu-ibu Julid! Bilang kalau kau tak terima, sini kita selesaikan!” Tantang Srintil. Emosinya bertumpah ruah, setelah nyinyiran, sindiran dan makian gimbal tempe buatannya dibilang tak enak.
Ningsih yang tak terima dengan perkataan dan tantangan Srintil langsung kalap. Gimbal tempe yang sedari tadi ada di hadapannya langsung diraihnya. Jadilah tempe terbang! Satu per satu tempe sepiring itu dilemparkan ke arah Srintil.
“Bawa pulang nih, tempe udah bau ketek dihidangkan!” Ningsih tak kalah panas membalas
“Aku ngomong apa adanya Sri, kenapa kamu jadi tak terima? Hah!” raut muka Ningsih sama merahnya
Rombongan ibu-ibu arisan hanya bisa melongo melihat adegan keributan ini. Meskipun sempat dilerai, namun usaha mereka tak membuahkan hasil. Srintil semakin marah, kali ini dia benar-benar tak kuasa menahan emosinya. Dia berlari ke arah Ningsih yang hanya beberapa jengkal di depannya. Plak!! Tamparan pertama menyasar di muka Ningsih. Meskipun sempat menangkis, namun usahanya sia-sia, tenaga Srintil cukup kuat.
“Pergumulan “ khas emak-emak terjadi sore itu. Jeritan, lengkingan, jambakan, bertubi-tubi menghujam ke wajah dan sekujur tubuh dua ibu-ibu yang dikuasai emosi. Keadaan semakin serius ketika piring dan makanan sajian di piring porak poranda. Terpal dan karpet semburat tak karuan, karut-marut. Sementara Srintil dan Ningsih masih saling menjambak. Kata-kata tak pantas keluar dari dua mulut yang saling bertikai.
Tiba-tiba cucuran darah keluar! Emak-emak pun semakin panik, berteriak minta tolong. Namun, keduanya tak paham, tetiba ibu peserta arisan kompak meneriakkan hal yang sama. Keduanya pun menghentikan perkelahian. Kompak bertanya kepada peserta yang hadir,
“Ada apa, kok kalian minta tolong?” tanpa rasa berdosa, keduanya bertanya-tanya.
Pakaian serba putih yang mereka kenakan pun terlihat kucel, noda dimana-mana. Warna-warni mirip kampung pelangi. Entah sudah berapa piring makanan yang mereka “hancurkan”, yang paling jelas ya tumpukan semangka yang berserakan, karpet hijau pun berubah warna, merah, yang turut jadi pewarna baju keduanya.
Seketika pertarungan sengit itu terhenti, gegara tamu bulanan keduanya ternyata sama datangnya. Darah menstruasi membekas di antara pangkal paha. Mengucur deras. Keduanya kelimpungan, berlari menuju rumah masing-masing tanpa basa basi. Hanya mukanya saja pucat pasi, malu dengan kelakuan mereka sendiri.
Tampaknya emosi itu mereda karena rasa malu! Pertengkaran alias konflik tentang tempe pun resmi berakhir. Ibu-ibu yang hadir pun membereskan gelanggang pertikaian sengit sore itu. Pak RT yang datang terlambat pun hanya bisa memasang wajah kebingungan. Tak ada hujan badai, tapi selasar tempat berkumpul itu tampak amburadul. Setelah mendapat informasi dari ibu-ibu hal ihwal kejadian sore itu, Pak RT hanya berpesan:
“Emosi itu adalah hasil dari olah pikiran kita, alias akibat. Namun, itu bisa diolah terlebih dahulu, sebelum mengambil keputusan. Jadi, tidak semua emosi yang dihasilkan wajib untuk dituruti. Emosi hanyalah sinyal tubuh (red: biologis) yang dirancang untuk mengarahkan ibu-ibu sekalian ke perubahan yang bermanfaat, bukan mudharat, seperti yang terjadi sore ini.”
Ibu berjilbab hijau lumut yang sedari awal tegang, terlihat berubah, begitu sumringah setelah mendapat pencerahan dari Pak RT, spontan beliau nyeletuk
“Meskipun tak ada kata terlambat, sebaiknya wejangan ini disampaikan pada saat pembukaan Pak RT”
Suasana menjadi pecah dan disambut tawa hadirin yang hadir. Ningsih dan Srintil pun saling berpelukan dan tertawa terbahak-bahak mendengar kegayengan sore itu. Jleb! Gimbal tempe menancap di antara kedua mulutnya yang sedang terbuka lebar.
Credit photo by Cookpad.com |
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz