Pawon

Kuruyuk ayam bersahutan, burung trucukan juga tak kalah seru, bersiul, bersorak, seolah kegirangan menyambut hari. Tak sedikit pun mentari surya terlihat, namun karena insting alamnya sudah terasah, “hewan pagi” itu seolah telah siap menjalani takdir, apapun yang terjadi. 

Wecker alam itu menjadi sahabatnya menjelang pagi, setia. Tak sekalipun luput dari pendengarannya, kokok ayam dan nyanyian burung, baginya adalah berkah. Setidaknya masih menghirup udara segar, menikmati drama hidup yang telah menantinya. 

Kepulan asap dapur begitu tebal, kayu bakar untuk memanasi kemaron pagi ini sedikit basah karena cipratan hujan semalam. Meskipun tak parah, lembab juga ikut berperan, kayu-kayu yang sedianya kering, sedikit melempem. Bagus harus bekerja extra, agar bibit api terjaga, membakar ranting-ranting yang disusun di antara dua apitan batu bata merah. 

“Gus, tolong ambilkan air di gentong ya” pinta perempuan lansia itu

“Baik Budhe” Bagus bergegas

Tangannya masih basah, bukan karena air, panas dari bara api dan asap yang berasal dari pawonan, membuat sekujur tubuhnya penuh keringat, ditambah lagi, dia harus bekerja keras untuk meniup bibit api hingga membesar dan siap untuk digunakan memasak. Wajahnya penuh peluh, tapi tak sedikitpun ia mengeluh. 

Bergumul dengan asap dan api memang bukan perkara mudah, sejak masuk SMP, dia sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Membantu bapaknya di dapur dan menyiapkan keperluan untuk memasak adalah agenda saban harinya. 

“Ini Budhe” dengan langkah yang cepat, ia menyodorkan air di panci

“Taruh diatas tungku satu ya, buat mandi si Gio, kalau sudah, kamu siapkan satu lagi di ember besar, untuk keperluan dapur” perintahnya

“Iya Budhe.” 

Rutinitas yang ia lakukan setiap pagi, dia sudah terbiasa dengan aktivitas berat semacam ini. Tak lain, dia harus bertahan hidup dalam kemandirian. Marsih, adalah kakak dari bapaknya, yang tak lain adalah budenya. Satu-satunya dari keluarga almarhum bapaknya yang terhitung mampu secara ekonomi, sehingga sejak ditinggal kedua orangtuanya, Bagus ngenger disitu. 

“Gus, ambilkan panci yang ada di gudang belakang ya, Le!” suara lirih terdengar. 

Bagus yang sedang menyiapkan air untuk keperluan dapur pun buru-buru menuruti permintaan si Bude. Bagus begitu cekatan, tubuh kecilnya tak menjadi halangan untuk beraktivitas, justru bagi dia, dengan postur tubuhnya yang kurus, membantu dia lebih lincah bergerak. Ada saja mulut tetangga yang spontan memanggilnya keceng, kerempeng, bahkan tak segan menjulukinya ringkih. 

“Silahkan Bude, ini pancinya” dengan sopan Bagus menyodorkan pancinya

“Panci ini terlalu kecil Gus, ambilkan panci yang biasa buat masak sayur lodeh, yang agak gede” pinta budenya tanpa menatap Bagus sedikitpun. Hanya sepintas lalu melihat panci yang dibawa keponakannya itu tak cocok dengan kemauannya. 

Mau sekali perintah, atau seribu permintaan, Bagus tidak pernah berpikir sedikitpun untuk ngelunjak atau “memberontak” Budenya. Dia sadar, meskipun secara garis keturunan dari bapaknya, bude adalah sosok yang sangat dekat dengannya, namun akan tetap ada “beda” perlakuan. Satu cita-citanya saat ini, bertahan hidup. 

Panci enamel motif blirik, dia tau maksud budenya. Sepintas lalu dia mengambilnya, sejurus kemudian memori masa lalu menyelinap di pikirannya. Panci spesial yang gemar dibuat masak mendiang ibunya, mirip. Masakan istimewa untuknya dan keluarga akan tersaji jika kuali ukuran tanggung itu keluar. 

Entah itu rawon, soto atau gudeg. Ibunya paling suka masak-masakan itu. Kesukaan Bagus sendiri sih rawon. Dia masih ingat dengan rengekannya, meminta malaikat penjaganya itu mengolah kluwek dan daging, karena tak kebagian makan saat perayaan khitanan Gio, kakak keponakan yang seusianya. 

Dia terisak, menangis dan merengek, memohon kepada ibunya untuk memasak rawon untuknya. Baginya, kuah hitam itu seolah menjadi menu wajib, setidaknya sebulan sekali. Tak hanya sekedar menikmati hasil, dia juga ikut mengupas kluwek, keterampilan yang didapatkan dari wanita yang melahirkannya itu. 

“Bagus….lama sekali kamu di gudang” teriak Marsih, budenya. 

“Iya Bude, Bagus kesulitan mengambil pancinya” Bagus beralasan, padahal sedari tadi panci itu sudah di pelukannya. 

Diusap air matanya dengan kaos lusuh, warna hijau, kaos “dinas” yang entah sudah berapa tahun menemaninya. Kaos oblong itu hadiah dari orang tercintanya ketika kenaikan kelas. Baju itu menjadi motivasinya untuk mendapatkan ranking tiga besar, saat masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Kini, warnanya mulai memudar, namun tak sekalipun absen menemaninya berjuang di dapur. Cuci, kering, pakai. 

Setidaknya tetesan air matanya bisa sedikit mengurangi rasa rindunya dengan sang Ibu. Apapun yang melekat di tubuhnya, adalah bagian dari kasih sayang yang tak mungkin terulang. Topi, kaos, celana dan sandal, adalah sebagian kecil “harta” peninggalan kedua orang tuanya. Sandang yang akan selalu ia kenang seiring bertambahnya hari dan usianya. 

“Ini bude pancinya” sambil berlalu tanpa berkata-kata lagi. 

“Tungkunya tolong dilihat Gus, sepertinya mau padam, tambahkan kayunya” Bude Marsih memerintah. 

“Kalau sudah selesai, tungku sebelahnya kamu siapkan juga ya”

“Ba.. Baik Bude” jawabnya dengan nada bergetar. 

Sejak pagi beraktivitas, tak sekalipun budenya menawarkan dia, makan atau minum, setidaknya untuk mengisi tenaganya. Dua tungku sudah menyala sempurna, meskipun energinya mulai purna. 

“Gus, air gentong dan bak mandinya jangan lupa di isi ya. Sewaktu-waktu aku butuh soalnya” kali ini dengan sedikit intonasinya meninggi. 

Budenya berhak memerintah dia sepenuhnya, namun tak seimbang dengan kompensasi yang Bagus terima. Menahan lapar dan dahaga sudah biasa baginya. Bahkan, kalau sudah terpaksa, tak jarang dia langsung menenggak air sumur ketika dahaga melanda. Tak terhitung, namun sejauh ini baik-baik saja. 

Luka kecil di wajah dan lengan, tak dihiraukannya. Itu semua terjadi karena letupan kecil yang biasa terjadi ketika dia mengurus perapian di tungku. Kayu bakar kadang memang tak “berpihak” padanya, apalagi kalau kondisinya ayem atau melempem. Butir air itu akan otomatis “meledak-ledak” ketika panas mendidih tiba. 

Lubang kecil yang ada di bajunya adalah saksi perjuangannya di dapur. Namun, itulah yang bisa membuatnya bertahan hidup hingga hampir ke jenjang pendidikan SMA. Mengatur waktu dan tenaga, adalah dua hal yang harus bisa dia maksimalkan. Tak seperti usia remaja kebanyakan, di usianya belum genap lima belas tahun, dia bekerja keras untuk menghadapi takdir menjadi anak yatim piatu. Ngenger

Dapur baginya adalah bagian pendewasaan. Sepanas-panasnya dan se-engap-engapnya—asap dapur—dari situlah masakan pengisi perut di hasilkan. Dari situlah pertama kali rasa itu ada. Manis, asin, asam, pahit bertemu dalam satu ruangan, dapur. Dapur baginya, bukan hanya sekedar tempat memasak dan mengolah makanan, tapi juga mempertemukan setiap perbedaan. Bukan saling mengalahkan, tapi saling mengisi dan melengkapi, di sinilah kata sedap, enak dan nikmat juga muncul. 

Romantisme, nostalgia, kenangan, cinta, kasih sayang, harapan dan mimpi, baginya bermula dari sini, pawon! 

#Bagus #CahBagus #Pawon #Dapur #Ce®ita #Ce®pen #Cerpen

Credit picture by rebowagen.com





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Abadi, tapi (tak) Dapat Ditinggali

Ranting Pena

[2nd Day] SILO Mentality, Growth or Fixed?