Empat puluh lima menit di Lebak Bulus
Jam menunjukkan pukul 20:53, tapi suasana masih saja meriah, Jakarta. Apalagi malam minggu, malam yang panjang yang asyik buat nongkrong, katanya. Tanggal muda, masih belum masuk dua digit angka di kalender, “amunisi” masih cukup untuk ngopi dan nge-mall. Namun, tak semua orang bisa menikmati momen yang sama, momen terima gaji dan bersenang-senang bersama keluarga, meskipun sekali atau dua kali, makan di luar.
Jakarta mulai masuk musim penghujan, tak terkecuali Sabtu pagi. Mungkin diantara warga juga ogah untuk keluar rumah, macet. Saat itulah menjadi berkah bagi pekerja informal, seperti tukang sekoteng keliling, cuanki, nasi goreng, ketoprak, mie ayam, siomay dan masih banyak lagi pedagang “offline” yang menjajakan dagangannya ke gang-gang sempit.
Bagaimana dengan green jacket atau jaket hijau? Sama! Mereka juga mengais rejeki di tengah cuaca yang sedang sejuk-sejuknya. Setelah sempat indeks udara di Jakarta, merah merona di hari Jum'at, bahkan ada wilayah statusnya hitam alias berbahaya! Dua hari, Rabu dan Kamis, hujan turun tak begitu deras, hanya tetesan lembut ditambah angin yang cukup kencang, cuaca di kota “mantan” ibukota ini langsung gerah.
Ojol memang mudah dijumpai, bahkan sudah mirip Opang alias Ojek Pangkalan, bedanya, mereka tersebar di banyak titik, entah di keramaian sekitaran pusat perbelanjaan, rumah sakit, atau terminal dan pemberhentian bus. Satu titik yang coba saya amati, lumayanlah sekitar empat puluh lima menitan. Hanya mengamati, tak ada perbincangan dengan beliau-beliau yang begitu menikmati malam dan sembari menunggu orderan datang.
Jalanan Fatmawati macet menjelang perempatan TB Simatupang. Di beberapa titik, masih ada genangan air, sisa hujan tadi siang. Lalu lintas tak terlalu padat, namun U-Turn lah biang kerok kemacetan! Ya, memang, penyebab simpul macet di putaran balik, belum lagi pengendara di sini juga tak sabaran, saling serobot, tak mau mengalah.
Antri sejenak di perempatan, menikmati seniman jalanan menggubah musik dari biolanya. Lirih terdengar, sayup-sayup, lagu kebanggaan TIMNAS Indonesia seusai laga, Tanah Airku. Sebuah kantong plastik, tergantung di ujung biolanya, untuk menerima bunga sosial pengguna jalan. “Target”nya, pengendara bermotor, bukan mobil-mobil mewah! Alunannya bertarung dengan bising knalpot kendaraan, ah sayangnya.
Di jalanan yang keras, justru jadi ladang rezeki bagi mereka pekerja informal. Melewati perempatan Fatmawati, lalu lintas mancarli, aman, lancar dan terkendali! Titik tujuan saya jelas, penurunan penumpang bus, AKAP (akr: Antar Kota Antar Provinsi). Meskipun tak pernah ada plang deklarasi resminya, setiap penumpang mesti turun di situ, persis di pintu keluar masuk mall di pojok persimpangan Lebak Bulus.
Melihat motor parkir di depan pintu loading dock mall, saya juga mengikutinya, ada empat kendaraan roda dua terparkir di sana, semuanya milik bapak ojol yang sedang “mangkal”. Hanya lima puluh meter dari titik turunnya penumpang, strategis, pikirku. Awalnya mereka asyik ngobrol, sambil merokok. Botol minuman kemasan mineral persis diletakkan di tengah, setengah melingkar posisinya. Semuanya ahli sebat.
Tak lama berselang, satu lagi “anggota” nya datang, bersamaan dengan tukang cilok yang juga sedang melintas. Belum juga kelar memarkir motornya, “Bang, cilok dong” panggil bapak ojol. Dalam hati saya menggumam, dari sinilah perputaran ekonomi dimulai. Sesama pekerja informal, mereka saling mendukung dan menguatkan. Meskipun mencari rezeki di jalan bukan perkara yang mudah.
Selesai pesan, bapak ojol yang baru tiba itu bergabung ke kawan-kawannya. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi tak satupun dari kelima orang ini bergegas. Bahkan, dua diantaranya mulai tiduran di trotoar. Sembari mengamati, ternyata mereka tidur beralaskan jas hujan. Tak muda lagi, namun jalanan adalah pilihan “terbaik” saat ini. Banyak pertanyaan dalam hati kecil, termasuk apakah beliau-beliau ini perantau tanpa keluarga di sini? Jadi begitu all out mengais rezeki, siang malam.
Sejurus kemudian dari arah loading dock, muncul rekan kerja lainnya, sambil menenteng dua tas kresek, isinya gorengan. Hanya menyodorkan satu kantong tanpa turun dari motor, dan berbincang sesaat, lalu meluncur. Setengah jam saya dimari, terdengar suara “sirine” pesanan masuk di handphone bapak pembeli cilok. Baru juga mangkal, orderan sudah masuk, rejeki.
Sampailah bus pembawa neneknya anak-anak datang, tapi tak satupun dari keempatnya berpindah tempat. Masih tetap di titik yang sama. Dua diantaranya masih leyeh-leyeh di trotoar, sambil asyik bermain handphone, tanpa berbincang.
Setiap orang berhak memilih
Pagi ini meneruskan membaca buku karya Mark Manson, masuk bab kelima, “Anda selalu memilih”, begitu sub judul bukunya. Kalimat pembukanya cukup liar, dan menarik bagi saya.
“Bayangkan seseorang meletakkan ujung pistol di kepala Anda, dan menyuruh Anda lari sejauh 26,2 mil dalam waktu kurang dari 5 jam, atau dia akan menghabisi Anda dan keluarga Anda–rasanya sungguh keparat. Berikutnya bayangkan Anda membeli sepatu baru yang bagus dan perlengkapan lari, berlatih dengan tekun selama berbulan-bulan, lalu menyelesaikan maraton pertama Anda, disambut sorak sorai keluarga dan teman dekat Anda saat mencapai garis finis.”
“Jaraknya sama 26,2 mil, pelarinya sama, rasa sakit yang dirasakan juga sama di kedua kaki, namun ketika Anda memilihnya dengan bebas dan siap menghadapinya, itu menjadi batu loncatan yang gemilang dan penting dalam hidup Anda. Tapi, ketika Anda dipaksa melawan kehendak Anda, itu menjadi pengalaman yang paling mengerikan dan menyakitkan dalam hidup Anda.”
Seringkali kita sedih dan merasa menjadi korban, ketika pilihan itu dipaksakan. Rasa sakit yang diderita akan terasa sulit untuk dilupakan, karena tak sesuai kemauan dan keinginan kita. Sesuatu yang terjadi diluar kendali, dan mungkin menemukan jalan buntu untuk menyelesaikannya. Berbeda dengan pilihan yang secara sadar kita memilihnya, tanpa ada paksaan dari luar diri kita. Secara emosional dan mental, mungkin kita lebih siap menghadapi kegagalan yang bisa saja terjadi di tengah jalan. Lebih legowo, begitu kata orang kebanyakan.
Memilih profesi apapun dengan segala resiko, adalah hal yang lumrah, termasuk ojol dan profesi lainnya. Menunggu order masuk, menerobos hujan, berkawan dengan debu polusi, kemacetan dan terik panas, tentu sudah dihitung dengan matang bagi pelaku ojek online. Tak dapat dipungkiri, kehadiran aplikasi berbasis online ini sedikit banyak, membantu menciptakan lapangan kerja baru, meskipun sistemnya kemitraan.
Menjamurnya aplikasi transportasi online menjadi tantangan tersendiri. Dengan pangsa pasar yang tetap dan terukur, pemainnya bertambah, akan mengurangi pendapatan para mitranya. Belum lagi transportasi offline lainnya yang jumlahnya tidak sedikit, sebut saja bajaj dan taksi yang mangkal, antre di exit gate hotel, mall dan tempat strategis lainnya.
Platform transportasi online yang beragam, bersaing dan berkompetisi merebut hati para mitranya. Tentunya dengan iming-iming “bagi hasil” yang menggiurkan. Bahkan, ada yang berani “bernegosiasi” tarif dengan calon penggunanya, keren bukan?! Persaingan sengit ini tentu akan menjadi boomerang, entah penyedia jasanya, atau mitra kerjanya. Perang harga dan promosi masif terjadi, lalu siapa yang diuntungkan? Customer atau pelanggan akan jeli memilih, apalagi kalau bukan harga. Mana yang lebih murah, dengan performa yang prima.
Setiap pilihan akan menimbulkan konsekuensi, dan setiap konsekuensi akan ada tanggung jawab moral di dalamnya. Menjalani hidup bukan berbicara tentang siapa yang lebih hebat, tapi siapa yang lebih bermanfaat bagi sesama. Hidup tak melulu tentang kompetisi dan adu gengsi, tapi semangat saling memberi dan mengasihi.
Selamat berakhir pekan, semoga pikiran kembali fresh mengawali Senin pagi.
Tulisan ini saya buat di pinggir Jalan Cipete Raya. di tengah suasana sendu Jakarta, mendung dan penuh sepoi angin. Nyeruput kopi JAGO yang dingin, selepas jogging jam sepuluh pagi. Entah sudah berapa orang berlalu lalang, tapi saya tetap terus senam jari untuk menyelesaikan tulisan ringan ini. Disclaimer on!
Jakarta, 08 Desember 2024
#Jakarta #JakartaSejuk #JakartaSegar #JakartaSelatan #JakartaAdem
Sudut kota yang masih hijau, bonus kabel karut marut |
Mengais rezeki ditengah ruwetnya perkotaan |
Tangkapan layar, kondisi polusi Jakarta, dua hari tak diguyur hujan |
Komentar
Posting Komentar
Besongol.xyz