Pandu
“Kenapa matamu terlihat seperti baru selesai menangis?” tanyaku.
“Peduli amat dengan mata ku” jawabnya dengan nada ketus
“Aku masih tak paham dengan jawabanmu, jawaban atas pertanyaanku hanya ada dua, ya atau tidak”
“Seharusnya kamu tak perlu terlalu ketus dan serius, karena aku hanya ingin tau sebab musabab matamu terlihat merah dan sembab” jelas ku
“Mata, mata ku sendiri, nangis, nangis ku sendiri, kenapa kau harus turut campur urusanku?” kembali dia menyanggah ku
“Aku tak mau terlarut dengan urusan pribadimu, kamu saja yang terlalu baper dan sensi” aku menjawabnya dengan nada santai
Obrolan malam itu yang bisa jadi tak penting, tapi sebagai seorang teman, setidaknya menyapa dengan basa-basi bisa membuka pembicaraan selanjutnya. Nyatanya Pandu tak menaruh respek padaku. Aku kenal dia sejak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi alias kuliah. Sudah terbiasa menghadapi sikap juteknya yang tiada duanya. Meskipun kami tak pernah tergabung satu kelas, aku dan Pandu masuk dalam satu wadah organisasi, Badan Eksekutif Mahasiswa (akr: BEM).
Jabatannya tak tanggung-tanggung, dia terpilih secara aklamasi sebagai wakil ketua BEM. Selain keberanian dan ketegasannya, dia dikenal sebagai cewek yang cukup moncer di kelas. Tak ayal, dia sangat mudah menduduki jabatan tertentu di organisasi, termasuk wakil ketua BEM. Prestasi demi prestasi dia ukir semasa berkuliah, Pekan Ilmiah Nasional (akr: PIMNAS) sudah seperti teman akrab, saban tahun pasti karya ilmiahnya lolos uji di Dikti.
Kini kami tergabung dalam satu lembaga, Non Government Organization (akr: NGO) alias Lembaga Swadaya Masyarakat yang berfokus pada permasalahan perburuhan dan pengentasan kemiskinan. Organisasi nirlaba ini, ia dirikan sebagai bentuk “panggilan hati”. Tampaknya nilai-nilai Tri Dharma perguruan tinggi telah melekat dan terpatri di hati sanubarinya. Pandu merupakan salah satu dari tiga pendiri LSM ini.
LSM baginya mirip kaki dalam anggota tubuh. Dia sadar, tak akan bisa menggapai nilai-nilai luhur kemanusiaan jika berjalan sendiri, alias individu. Berbekal ilmu dan koneksi saat aktif di kampus sebagai mahasiswi sekaligus wakil ketua BEM, dia memutuskan untuk berjuang melalui NGO ini. Cita-cita yang mulia.
“Kenapa kamu tiba-tiba diam membisu sih Ndu?” aku mencoba kembali membuka pembicaraan.
“Aku masih butuh sendiri, tak usah banyak tanya padaku” sambil berlalu dia berpindah ke selasar basecamp.
“Tak seperti biasanya kamu seperti ini, ada yang beda. Makanya aku akan terus menanyai mu, sampai aku mendapatkan jawaban darimu” aku terus mendesaknya sembari menguntitnya.
Sesekali Pandu tampak mengusap dahinya, sembari merapikan rambut panjangnya yang terurai. Es coklat kesukaannya pun sedikit di seruput olehnya. Selebihnya, gelas minumnya itu tergeletak begitu saja, sampai-sampai uap es-nya luber, membasahi taplak meja.
“Aku masih tak habis pikir, Vid, aku masih bingung dengan segala realitas hidup” jawab Pandu sambil menghela nafas.
Rupanya ada permasalahan serius yang belum diungkapkannya padaku, aku David. Muramnya wajah dan kerut di dahinya tampak jelas. Namun apa gerangan yang membuat Pandu bungkam padaku. Memang dia baru saja dinas ke ibukota untuk menjalankan tugas kantor selama satu pekan lamanya. Selama itu pula, dia seperti orang asing yang lupa dengan rumahnya sendiri. Tak ada kabar berita darinya, bahkan di Grup WhatsApp, tak sekalipun dia meninggalkan pesan. Bak menghilang tanpa jejak.
Hari ini pun aku berjumpa dengannya tanpa janjian, alias kebetulan. Pertemuan tak disengaja ini adalah kesempatan buatku untuk mengulik informasi darinya. Termasuk rasa penasaran ku, Pandu berubah sejak dia pergi ke Ibukota. Bahkan lepas dinas di tempatnya bekerja, ia tak pernah muncul saat rapat rutin anggota di kantor LSM. Teman-teman seperjuangan di kantor lembaga swadaya pun bingung dengan sikap Pandu sebulan terakhir.
Ya, kami biasa berkumpul di “markas” minimal seminggu tiga kali. Memang tak ada agenda rutin yang digelar, tapi biasanya kami saling bertukar pendapat dan berdiskusi, membahas issue yang sedang hangat, tentunya seputar perburuhan dan program sosial masyarakat.
“Semakin hari, aku semakin paham, bahwa idealisme itu ternyata omong kosong” dia mulai membuka dengan bahasa yang sulit diterjemahkan.
Seorang Pandu yang begitu tegas dan cerdas pemikirannya, tiba-tiba seperti orang yang sedang “mengigau”. Aku hanya termangu dan terdiam ketika Pandu melontarkan kalimat itu. Entah apakah dia kesambet setan di Ibukota, aku tak tau. Selama berteman bertahun-tahun dengannya, tak sekalipun dia menyanggah kata idealisme yang selalu di gaungkan.
“Emmm maksudmu Pandu? Aku masih tak paham dengan omonganmu” sembari ku keluarkan rokok di saku baju
“Idealisme itu ibarat bunga yang merekah kemudian rontok dan layu, indahnya sesaat” Pandu menambahkan
Sesekali aku menghisap rokok yang mulai penuh asap sambil mendengarkan curhatan sahabat lamaku. Aku menyorot tajam mata Pandu. Pandu yang ku kenal selama ini, beda dengan Pandu yang ada di hadapanku saat ini.
Pertemuan yang tak kebetulan
“Aku masih ingat setiap kejadian yang ku alami selama di Ibukota” perlahan Pandu mulai membuka pembicaraan. Seraya menenggak minuman kemasan botol kesukaannya, yoghurt.
“Secara tak sengaja, aku menemui bapak tua penjual minuman keliling saat kita melakukan demo di depan gedung perwakilan rakyat”
“Kamu juga pastinya masih ingat dengan beliau, bapak yang mulai renta itu rela berpanas-panasan, menjajakan air mineral”
“Tubuhnya yang ringkih itu seolah melawan rumus dunia, bahwa kemauan yang keras akan mengalahkan asumsi bahwa tubuh yang kekar itu lebih kuat” Pandu terus nyerocos melanjutkan ceritanya. Aku sudah terbiasa menjadi pendengar setianya. Setidaknya keluh kesah nya bisa di “release”, sehingga akal pikirannya kembali fresh.
“Teriknya matahari bagi beliau adalah vitamin alami yang mahal, yang jarang didapatkan oleh pejabat tinggi negara atau pekerja elit kantoran”
“Kepalanya seolah sudah terbiasa dengan beban berat yang saban hari harus menyunggi puluhan liter air, ditambah dagangan lainnya yang beliau tenteng di tangan” sembari menghela nafas panjang, Pandu menyandarkan kepalanya di kursi.
“Perkenalan yang tak terduga, membuat hati ku terenyuh, hingga lupa cara melupakan beliau di setiap aktivitas ku”
“Benar kata orang, bahwa hidup adalah perjuangan, tak seperti dongeng atau cerita sinetron yang selalu indah ending-nya”
“Orang yang terlahir dengan “privilege” kaya secara turun temurun, kecil kemungkinan untuk jatuh miskin, apalagi kalau sudah terlanjur menjadi konglomerat, mereka akan semakin kaya lagi raya. Semakin bebas untuk “mempengaruhi”, bahkan level negara sekalipun”
“Setiap orang memang berbeda satu sama lain, ya, aku sepakat, tapi, kenapa di ibukota jurang itu semakin tajam dan nyata jurang pemisahnya?” kali ini nadanya sedikit meninggi.
“Asal kamu tau Vid, selama aku berdinas di ibukota, selepas tugas profesional ku, aku menyempatkan untuk berkeliling ibukota, itupun karena bantuan Pak Darip” ucapnya
“Aku bertemu beliau setelah hampir sepuluh tahun lamanya. Pak Darip, kakek dengan lima cucu itu masih terus bekerja hingga usia senja”
“Aku jadi berpikir, kapan negara hadir untuk rakyatnya? Sampai di usianya yang tak muda lagi, beliau masih harus berjuang untuk menafkahi keluarga”
“Aku tak mau bertanya terlalu dalam mengenai motif Pak Darip yang terus berkarya di usia tua. Ideal nya memang di usia yang mulai menginjak hampir tujuh puluh tahun, seluruh waktunya untuk beristirahat dan menikmati hidup bersama cucu dan keluarga, tapi faktanya peluh masih saja membasahi wajah dan sekujur tubuhnya” tambahnya lagi
“Bahkan aku bertemu dengan beliau ketika malam menjelang, sekira pukul sembilan, bedanya saat itu beliau sudah tak menjajakan air minum dalam kemasan, tapi makanan ringan, kacang, permen dan aneka cemilan. Tak banyak yang beliau bawa. Keterbatasan fisik yang mulai renta, memaksa beliau tak mampu lagi membawa beban yang berat. Layaknya sepuluh tahun yang lalu, setia “mengawal” mahasiswa yang sedang demonstrasi” aku Pandu.
Aku selama ini menilai Pandu yang berhati baja, ternyata salah. Bagaimanapun, dia adalah seorang manusia yang juga punya hati nurani. Rasa dan karsa. Saat menceritakan semua itu, air matanya mengalir tak terbendung, deras. Semakin dalam menceritakan kondisi Pak Darip, selama itu pula dia kesulitan mengeluarkan kata-kata, terbata. Bahkan, beberapa kali harus berdiam sejenak, menumpahkan emosinya, nangis sejadi-jadinya.
“Asal kau tau Vid, kondisi Ibukota tak seindah yang ada di layar kaca dan berita. Ketimpangan ekonomi sangat nyata di sana. Dibalik bangunan yang megah, ada perkampungan kumuh yang mengelilinginya. Ter-kamuflase sempurna!”
“Gang sempit nan semrawut adalah pemandangan biasa. Memasak diantara lalu lalang orang dan motor di gang juga hal yang lumrah. Masa bodoh dengan sanitasi, ventilasi dan privasi. Bahkan aku menemui dalam satu rumah petak, berjubel penghuninya, entah itu satu keluarga atau pekerja bangunan yang sedang kontrak di rumah itu. Semuanya jauh dari kata layak”
“Ibukota juga tempat berkumpulnya orang-orang kaya. Rumah bak istana mudah di jumpai. Bahkan, parkir mobilnya mirip showroom, lengkap dengan berbagai merk ternama dan mewah. Satu rumah dengan puluhan mobil, tentu ada juga penjaga alias satpam. Ya, satpam di mini cluster atau rumah pribadi bertebaran di sana. Kondisi yang cukup kontradiktif” Pandu terus bercerita tanpa aku bisa menyela.
Perpisahan tanpa pamit
“Aku berkelana hampir setiap sore menjelang malam, didampingi Pak Darip. Motor aku sewa dari tetangga beliau yang punya usaha rental motor. Tujuanku hanya ingin melihat hitam putih ibukota. Tak seperti yang diberitakan, cerita kalangan seperti artis dan pejabat mendominasi. Seolah tak ada masalah serius di negeri ini. Berita yang tak berimbang ini disuguhkan hampir setiap hari. Kemewahan dan ke-glamour-an adalah barang yang paling menarik untuk dijual”
“Arogansi pejabat dan konglomerat dijalanan ya begitulah, dalihnya prioritas, karena waktu mereka lebih penting daripada masyarakat umum pengguna jalan. Lampu strobo dan klakson mirip mobil polisi adalah aksesoris wajib ada, tujuannya satu, meminta jalan karena mereka harus diutamakan, lantas mereka lupa, bahwa ada potongan pajak dari rakyat untuk negara. Sayangnya, pejabat sekarang itu mirip profesional, bukan abdi negara” jelasnya.
“Setelah menemaniku berkeliling ibukota selama tiga hari berturut, aku mendengar kabar dari tetangganya, Pak Darip sedang di rawat di rumah sakit, tepat di hari terakhir aku berdinas. Aku sengaja ingin berpamitan ke rumah kontrakan beliau dan ingin mengucapkan terima kasih karena telah membersamai selama di ibukota. Aku yang khawatir dengan kondisi beliau, memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, entah dua atau tiga hari ke depan”
“Sampai di hari ke sembilan, Pak Darip menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit saat perawatan. Meskipun aku tak sempat mengobrol dengan beliau di saat terakhir, namun kekuatan cinta dan tanggung jawab beliau tampak dari wajahnya. Beliau meninggal dengan kondisi tersenyum, layaknya seseorang yang tidur dengan mimpi yang indah. Untuk berjumpa dengan Yang Maha Segala-Nya”
“Selama itu pula aku tak sedikitpun menggubris obrolan di WA Grup. Entah itu grup LSM dan komunitas lainnya. Aku hanya merenung sepanjang hari, sembari mendo’akan almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya”
“Meskipun bersedih, aku tetap bangga kepada beliau. Tanggung jawab sebagai orang tua dan kakek bagi cucu-cucunya, layak mengantarkan ke luasnya samudera pengampunan dan surga-Nya”
“Aku sempat mengabadikan momen dengan beliau selama di ibukota. Sesekali aku memandangi fotonya. Guratan yang tajam di wajah, bertarung dengan keriput kulitnya yang menua. Tatapan matanya tajam, seolah hidup ini bukan sekadar meminta dan mengharap belas kasih”
“Bapak nggak mau menyusahkan orang lain, apalagi anak sendiri, untuk itu bapak terus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Selama diberikan kesehatan dan kesempatan, Bapak akan terus berusaha. Perjalananmu masih panjang Nduk, berkaryalah dengan baik. Maksimalkan kemampuanmu. Tuhan akan membayarnya dengan setimpal” Itulah kata-kata terakhir yang terlontar dari mulut beliau, menutup kebersamaan kami di hari ketiga selama berkeliling di ibukota.
“Bapak yang bersahaja itu berpulang dengan gelar pahlawan bagi keluarga dan orang tercinta, lantas apa yang aku bisa ku perbuat Vid?” tanyanya dengan mata masih sembab. Aku hanya mampu menelan ludah tanpa berkata sepatah kata pun.
Malam semakin temaram, sunyi. Angin pun semakin kencang berhembus. Bintang tersenyum memandang bulan, namun rembulan tak juga menampakkan sinarnya yang terang. Purnama itu masih menyimpan sejuta kisah.
RPTRA Gajah,
Jakarta, 01 Februari 2025
#cerpen #cerita #kumcer #ceritapendek #besongol #jakarta #indonesia #pandu #indonesia
Diunduh dari aplikasi Canva |
Secangkir kopi inspirasi, 01 Februari 2025 |
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah mengunjungi www.besongol.xyz
Untuk saran dan kritik perbaikan sangat terbuka. Silahkan tinggalkan komentar